Kamis, 12 Oktober 2023

Tektok Gede-Pangrango-Gede via Putri Demi Mandalawangi Arasy Pangrango


Melanjutkan tradisi ritual pemberian nama anak, setelah sebelumnya dilakukan pada 2013 untuk anak pertama (Arjuna Restu Muhammad Tiwikrama) di Gunung Arjuno dan pada 2018 untuk anak kedua (Ksatria Mahameru Girijaladri) di Gunung Semeru. Hari ini, Sabtu, 9 September 2023 diri ini mendaki Gunung Gede-Pangrango via jalur Gunung Putri untuk mengesahkan nama anak ketiga, Madalawangi Arasy Pangrango yang telah lahir pada 27 Juli 2023 lalu.

Praktis terakhir mendaki gunung dengan ketinggian lebih dari 3000 mdpl adalah pada saat memberi nama anak kedua, yakni 5 tahun yang lalu (2018). Awalnya agak ragu apakah diri ini masih kuat karena usia menjelang 41 tahun dan pendakian kali ini konsepnya adalah tektok tanpa ng-camp atau bermalam. Selain itu, tantangan pendakian kali ini yang belum pernah dilakukan sebelumnya adalah menggapai 3 puncak dalam sehari karena pulang-pergi hanya dari satu jalur yakni Gunung Putri. Artinya setelah menggapai Puncak Gede dan Puncak Pangrango maka harus kembali mendaki Puncak Gede untuk turun di jalur Gunung Putri. 

Jumat, 8 September sepulang kerja dilakukan persiapan terutama packing. Gear utama yang dibawa kali ini begitu spesial. Backpack dengan Heug Bushcraft produk kebanggaan Bandung dengan desain vintage, bahan utama kanvas dan kulit sapi jadilah tas dengan gaya klasik. Backpack ini benar-benar menegaskan kegantengan dan kegagahan diri ini. Untuk baju dan celana masih terus setia dengan Eiger. Sedangkan sepatu dan trekkingpoll juga masih setia dengan Columbia. Untuk mengabadikan momen pendakian ini diri ini membawa Iphone 14 Pro Max. 

Jam 20.30 WIB perjalanan via motor Yamaha NMAX dimulai. Perjalanan panjang malam ini dikarenakan nyasar sehingga melewati jalur panjang yang sepi di tengah malam (jalur Gunung Batu) untuk sampai di Pasar Cipanas sebelum naik ke Basecamp GPO. Alhamdulillah tepat tengah malam akhirnya bisa sampai di Basecamp GPO dan bertemu dengan kawan lama Amir GPO setelah 8 tahun. 

Setelah  menyempatkan diri untuk istirahat dan persiapan pendakian, Minggu pagi, 9 September pukul 05.30 WIB dimulailah pendakian ini. Udara yang dingin menjadi teman perjalanan. Untuk menetralisir dingin diri ini mengurangi waktu dan jumlah istirahat. Bila harus istirahat tetap dalam posisi berdiri. Jalur Gunung Putri terkenal paling ramai jadi memilih mendaki lebih pagi adalah pilihan terbaik untuk menghindari macet atau antri panjang. Alhamdulillah ternyata fisik masih bagus. Jam 9 pagi sudah sampai di Surya Kencana dan jam 10 sudah sampai di Puncak Gede. Terima kasih untuk orang-orang yang baik hati bersedia motoin diri ini pas di Surya Kencana dan Puncak Gede sehingga punya dokumentasi yang memadai. 

Tidak berlama-lama di Puncak Gede, diri ini lanjut ke Pangrango. Jalur Pangrango lebih menantang karena banyak pohon tumbang dan celah-celah jalur yang sempit. Untung diri ini sudah turun BB dimana awal tahun sempat 86Kg dengan lingkar pinggang 98 cm dan dalam pendakian ini BB 78kg dengan lingkar pinggang 88 cm. Dengan langkah tertatih dan nafas terengah-engah serta menyempatkan diri untuk makan siang, pukul 14.00 WIB sampailah di Puncak Pangrango. Selanjutnya turun ke Lembang Mandalawangi dan terpenuhilah semua rukun dalam ritual pemberian nama ini. 


 

Tergapainya Puncak Pangrango dan Lembah Mandalawangi ternyata bukan menjadi puncak momen pendakian ini. Justru perjalanan turunlah yang menjadi ujian sesungguhnya seberapa kuat dan daya tahan tubuh dan jiwa ini dalam menghadapi mendan gunung dan hutan. Dengan tenaga yang tinggal separuh harus menuruni jalur terjal Pangrango dan menaiki tanjakan untuk kembali menuju Puncak Gede. Untuk menjaga semangat hidup diri ini terus berkomat-kamit membaca mantra-mantra, melantunkan doa-doa dan menggumamkan jampi-jampi sembari menikmati indahnya senja sandikala Gede-Pangrango yang tiada duanya. Pemandangan yang sempat menghipnotis diri untuk menetap disini selamanya. Untung suara tangis Mandalawangi Arasy Pangrango sampai di telinga ini, menyadarkan diri ini bahwa ini bukan tempat menetap selamanya.

Menjelang magrib sampai di Puncak Gede. Menyempatkan mengabadikan pemandangan keemasan dengan obyek Tugu Penanda Puncak Gunung Gede sebelum melanjutkan turun ke Surya Kencana. Sesuai dugaan, di puncak musim kemarau ini hawa dingin Surya Kencana begitu bengis menusuk kulit, sendi dan tulang. Diri ini tidak kuat berlama-lama istirahat di Surya Kencana. Dengan bibir bergetar, tubuh menggigil dan bayangan-banyangan masa lampau diri ini menyusuri jalur panjang ini. Kadang berjalan sempoyongan. Kadang berlari kecil. Seringnya dengan langkah tegap berharap segera sampai di Hutan Cantigi yang telah menunggu dengan udara yang lebih hangat. 

Perjalanan malam ini begitu melelahkan. Sempat pesimis bisa sampai Basecamp karena gelap dan sepinya malam membuat beberapa kali merasa salah jalur. Untuk mengatasi ini akhirnya diri ini mengeluarkan rapal mantra tertinggi para pendaki gunung dan penempuh rimba yang berbunyi, "Logika dan kekuatan adalah dasar kuberpijak dan melangkah". Serta menghadirkan separuh "Tiwikrama" agar daya jelajah tetap terjaga. Alhamdulillah pukul 23.00 WIB sampailah di Basecamp GPO.

Bravo Dunia Petualangan!!!

Selasa, 08 Mei 2018

KPG Menyapa Pengunjung Indofest 2018



Setiap bulan Mei sejak 2012 menjadi rutinitas untuk berpartisipasi dalam event yang ada di JCC Senayan Jakarta. Bila sebelumnya terkait dengan urusan industri hulu migas, maka hari ini benar-benar untuk urusan yang lebih hulu (atas) lagi, yakni gunung dan segala atribut-atribut positifnya: KPG Hadir di Indofest 2019!
Sabtu, 5 Mei 2018 Pukul 17.30 WIB KPG berkesempatan untuk menyapa dan memperkenalkan diri ke para hadirin Indofest 2018 di Hall B JCC Senayan, Jakarta dalam pameran perlengkapan alam bebas terbesar di Tanah Air. Momen ini layak untuk dijadikan sebagai satu milestone yang luar biasa terkait eksistensi KPG mewarnai dunia perkomunitasan di Indonesia sejak tahun 2008/2009 memulai di dunia maya melalui group facebook: Komunitas Pendaki Gunung.

Apa sih yang telah diperbuat oleh KPG? Naik gunung, masuk hutan, penggalangan dana untuk korban bencana, kampanye dan aksi untuk memulihkan kondisi lingkungan (konservasi) dan upaya meningkatkan sumber daya pendaki agar memiliki basic competency untuk berkegiata di gunung-hutan, menjadi fokus KPG beraksi dan bergerak.

Alhamdulillah saat ini KPG telah semakin luas menjangkau keberadaan para pendaki dengan lebih dari 33 regional di Jawa, Sumatera, Sulawesi dan lekas hadir di Kalimantan, Papua dan pulau-pulau besar Indonesia lainnya.


Di Leuseur Stage dipenuhi dengan member KPG dan pengunjung Indofest 2018. Saling sharing dan bercengkerama serta nuansa kekeluargaan begitu kental dalam sesi 40 menit yang terasa sangat singkat. Sampai jumpa di gelaran pameran Indofest 2019!




Kamis, 06 Juli 2017

Mudik Lebaran 2017 Masehi/ 1438 Hijriah

Momen yang penuh makna dan kegembiraan ini diawali dengan insiden diopnamenya diri ini di malam ke-20 Ramadhan selama 5 hari 5 malam dikarenakan pembengkakan ginjal dan infeksi lambung kronis. Pemulihan via rawat jalan juga ternyata tidak berjalan sesuai harapan. Menjelang mudik dan hari raya ‘Idul Fitri kebugaran tubuh yang diharapkan tak kunjung datang. Tak disangka treatment ESWL membuat badan cepat lelah dan limbung serta harus mengkonsumsi obat 8 ragam jenis. 



Kondisi ini membuat skenario lebaran menjadi berubah. Tidak ada acara mendaki gunung seperti yang direncanakan sebelumnya Termasuk keinginan untuk bisa menjangkau (silaturahim) ke banyak saudara-saudara baik saudara biologis maupun saudara ideologis. Semua serba tentatif menunggu perkembangan kebugaran tubuh dari hari ke hari. 

Namun, sebagai orang Jawa, apapun kondisinya selalu akan meluncur dari mulut ini ucapan hikmah dan syukur, “Untung saja cuma pembengkakan ginjal dan infeksi lambung kronis. Ginjal dan lambung masih berfungsi. Dan jangka panjang kegemaran mendaki dan menempuh rimba tidak akan terrganggu”. Atau kalimat ini, “Selamet langsung budal nang rumah sakit saknaliko ngerasakke loro. Cobo nek diempet terus kolaps ra iso obah, dewean nang omah, wayahe wong podo turu, lak seje ceritane (mungkin mati karena terlambat mendapatkan pertolongan).” Untung juga disampaikan pas ketemu keluarga di kampung karena berkat sakit maka bisa kembali memiliki postur tubuh yang ideal karena terlihat lebih kurus.

Beberapa hal yang menjadi catatan yang semoga bermanfaat untuk di-share ke lini media sosial ini adalah:
1. Terbuktinya adanya saudara ideologis selain saudara biologis. Selama menjalani opname diri ini jauh dari anak dan istri serta keluarga lainnya. Namun beruntung memiliki rekan kerja ERM yang sudah seperti keluarga dan saudara-saudara dari Komunitas Pendaki Gunung (KPG). Mereka membuat jadwal/shift untuk menunggui dan ketika malam pada pindah tempat tidur dari rumah/kos masing-masing ke rumah sakit. Menandatangani persetujuan-persetujuan untuk tindakan medis. Sungguh mengharukan dan menutup rapat rasa sakit akibat pembengkakan ginjal dan infeksi lambung kronis ini. Sulit untuk memilih kata dan kalimat yang tepat untuk mengekspresikan rasa terima kasih atas kehadiran mereka dalam kondisi sulit ini.
2. Pola hidup sehat yang kujalani saat ini terutama terkait hidup bebas dari alkohol, obat-obatan terlarang, nikotin dan meminimalkan konsumsi kafein dan gula ternyata menjadi kunci penting. Menurut dokter, pentingnya adalah tubuh bisa lekas memberitahukan via rasa sakit/nyeri luar biasa saat ada gangguan pada ginjal dan lambung. Banyak kasus seperti ini (gangguan ginjal dan lambung) baru dirasa/dibawa ke dokter ketika kondisi sudah parah karena tubuh kehilangan kemampuan untuk mengirim signal bahwa sedang ada sesuatu yang tidak beres baik berupa rasa sakit, panas tubuh dan kondisi lainnya. Jadi mari lanjutkan pola hidup sehat dengan menambah rutin olahraga dan istirahat cukup agar kita tercegah dari penyakit-penyakit kronis dan akut dengan stadium lanjut.
3. Lebih menghargai dan menikmati nikmat sehat. Saat sebelum sakit betapa diri ini seringkali tidak memenuhi hak tubuh dengan mengurangi jam istirahat (tidur), waktu berpikir dan memilih menu makanan yang baik dan makan tepat waktu. Dan lebih parahnya muncul anggapan diri (kesombongan) sebagai orang yang kuat dan tangguh padahal untuk menjadi kuat dan tangguh justru harusnya menjaga pola hidup sehat. 

Demikian sekelumit cerita, hikmah dan makna Lebaran 2017 Masehi/ 1438 Hijriah. Sekali lagi sebagai orang Jawa selalu bicara untung dan selamat. Tambahan untung lainnya adalah mudik Lebaran dapat tiket pesawat Garuda kelas Bisnis. Mungkin ini rejeki orang baik yang sedang tidak sehat karena bila mudik ditempuh dengan perjalanan darat tentunya tidak cocok dengan kondisi tubuh yang belum bugar. Dan menjelang balik pada akhirnya bisa sambang Jepara, Demak dan Semarang untuk terus memperkuat komunikasi, koordinasi dan tali persaudaraan sesama pendaki gunung dan penempuh rimba. 

Foto-foto terlampir sedikit menggambarkan suasana Lebaran kemarin. Baru berani foto ketika wajah pucat mulai berkurang dan bobot tubuh mulai bertambah (semula turun 7 kg dan lebaran bisa naik 3 kg). Dan pada akhirnya harus kembali dirunding sendu karena harus jauh-jauhan lagi dari si kecil Milo-Arjuna Tiwikrama yang sedang tumbuh pesat. Ya Allah, lekaskanlah beri rejeki yang lebih nambah dari sebelumnya agar bisa berkumpul dengan anak tercinta.


Jumat, 05 Mei 2017

KPG Tampil di Mall

Jakarta, 4 Mei 2017 KPG menjadi salah satu pengisi acara dalam event Jakarta Marketing Week (JMW) 2017 di Mall Kota Kasablanka dengan tema “Lifestyle & the City” yang diselenggarakan oleh MarkPlus, Inc. Silahkan lihat link di bawah ini yang memperlihatkan logo KPG sebagai salah satu pihak yang mendukung JMW.


Mengingat saat ini mendaki gunung dan merambah hutan belantara telah menjadi gaya hidup orang kota maka tidak dapat dipungkiri bahwa jumlah pertumbuhan pendaki mengikuti deret ukur sedangkan jumlah Mapala, OPA dan Komunitas Pendaki yang peduli dengan kompetensi dasar seorang pendaki hanya mengikuti deret hitung sehingga wajar pendaki-pendaki pemula mengalami banyak kesulitan saat melakukan pendakian dikarenakan kurangnya kemampuan dasar berkegiatan di alam bebas (gunung dan belantara). Baru-baru ini kita sering mendengar dan membaca berita adanya kecelakaan yang dialami pendaki di gunung yang tidak jarang menyebabkan kematian.

Berbekal fakta tersebut maka KPG menampilkan sharing dengan materi safety pendakian. Harapannya agar para pendaki baik pemula maupun yang sudah lama akan meningkat kesadarannya (awareness) terkait keselamatan di gunung.

Antusiasme besar nampak dalam sesi sharing tersebut. Selain pengunjung mall, terhitung lebih dari 35 anggota KPG yang hadir untuk meramaikan sesi ini. Mereka tidak hanya berasal dari Regional Jakarta Raya, namun juga dari Regional Tangerang Raya, Bekasi, Depok, Bogor dan Suci (Sukabumi dan Cianjur) serta tentunya hadir doa-doa dari anggota regional lain agar lancar dan sukses untuk penampilan KPG di event ini.
 

Mari budayakan safety first dalam pendakian sebelum mengejar selfie first!

Salam
Sadar, Ketua Umum KPG

Rabu, 19 April 2017

Apakah Pendaki penyembah pohon?

Pernahkan meluangkan waktu sejenak untuk menatap dan berpikir lama pada sebuah pemandangan, yakni pohon besar di pinggir jalan protokol ibukota? Sebuah pohon yang rindang, berdaun hijau kehitaman karena tempelan asap dan debu polusi. Batangnya terdapat tempelan tulisan dan gambar iklan dan bekas tancapan pakunya masih terlihat di bagian batang lain, namun tak mengurangi kekokohannya. Makhluk yang tangguh dan mengagumkan bagi yang mau berpikir. Tahan terik panas matahari dan baik hati meneduhkan jasad manusia dari panas.

Demikianlah kenapa banyak Pendaki yang mengagumi sebatang pohon. Setiap pohon hidup sendiri dan mengurusi dirinya sendiri. Mereka bahkan bermanfaat atau memberikan manfaat untuk menunjang kenyamanan manusia. Dari hasil tanaman dan seluruh bagian dari pohon bermanfaat bagi manusia. Pohon kelapa misalnya. Dari mulai batang, daun, dan buahnya dimanfaatkan oleh manusia. Ada sebagian Pendaki merasakan hal ini, dan sebagai ungkapan rasa syukurnya ia memberikan pakaian, sarung pada pohon ini. Dan kadang lama ia duduk, juga berdiri di bawah dan/atau berdiri di samping pohon. Bahkan saking besarnya ungkapan rasa terima kasihnya, ia sampai merendahkan kepalanya (bersujud) pada pohon tersebut.
Anehnya Pendaki lain yang tidak mengerti tentang apa yang ia rasakan menuduh bahwa ia menyembah pohon. Padahal ia tidak ‘bersujud’ kepada pohon karena meminta sesuatu. Ia merasakan manfaat besar dari pohon tersebut, oleh karenanya ia ‘bersujud’ syukur terhadap pohon tersebut.

Dahulu, leluhur Pendaki yang dituduh sebagai penganut animisme dikarenakan melakukan hal serupa. Menciptakan semacam peraturan yang tidak tertulis bahwa barang siapa akan menebang pohon mesti membuat sesajen. Terutama pohon-pohon besar. Kenapa? Karena para leluhur Pendaki merasakan manfaat adanya pohon-pohon rindang. Selain membuat udara tambah segar juga akar-akarnya mampu menyimpan air. Tidak heran di setiap pohon besar yang rindang sering ditemukan mata air. Banyak Pendaki lain yang memanfaatkan air dari mata air tersebut. Akarnya juga memeiliki kekuatan menahan tebing agar tidak longsor. Menyadari bahwa keberadaan pohon memberikan manfaat pada manusia dan juga membuat tanah tidak longsor, para leluhur Pendaki mempersulit orang untuk menebang pohon. Praktek demikian yang selama ini Pendaki lain anggap menyembah pohon. Betul jika dikatakan laku fisiknya menyembah, tetapi yang diminta adalah agar pohon dapat hidup dengan subur.
Kasih sayang Pendaki terhadap pohon dibuktikan oleh beberapa peneliti. Ada suatu penelitian yang menarik dilakukan penelti asal Jepang, Masaru Emoto. Memang tidak meneliti pohon secara langsung. Yang dilakukan oleh Masaru Emoto adalah meneliti tentang dampak doa, ucapan baik, dan ucapan buruk pada air. Perlu dicatat bahwa sebagian besar pohon terdiri dari air. Hasil penelitian terbukti bahwa molekul-molekul air dari sumber air yang diberikan doa dan ucapan terima kasih menghasilkan bentuk kristal yang indah.

Jadi air memiliki kekuatan merekam segala sesuatu yang dipikirkan manusia. Pikiran manusia bervibrasi dalam bentuk gelombang. Getaran ini tertangkap dan direkam oleh air. Pohon yang sebagian besar terdiri dari air sehingga tidak mengherankan ia mampu menangkap pikiran orang yang akan menyakitinya.

Suatu alat khusus ditemukan oleh seorang ahli untuk mendeteksi efek dari pikiran terhadap pohon. Dan ternyata dari hasil penelitian membuktikan bahwa sebatang pohon bisa merasakan niat orang. Suatu pohon didekati oleh orang yang tidak punya maksud apa-apa terhadap pohon. Sebutkan sebagai orang pertama. Orang kedua adalah yang sayang terhadap pohon tersebut. Terakhir adalah orang yang akan menebang pohon. Dari alat yang ditempelkan pada batang pohon tersebut, terlihat efek dari ketiga orang yang berbeda tujuannya. Yang paling ditakutkan pohon adalah efek dari orang yang akan menebang pohon tersebut. Jadi, bisa dikatakan bahwa pikiran adalah energi. Semua energi mengandung getaran yang bervibrasi. So, tolong jangan menyepelekan pikiran. Badan Pendaki 70 % terdiri dari air. Pikiran buruk Pendaki akan melukai diri sendiri sebelum merusak alam dan orang lain.

Deforestasi semena-mena terjadi ketika kearifan lokal tidak lagi dipahami. Nenek moyang Pendaki sadar dan tahu pesan semesta. Pohon adalah sumber kehidupan manusia. Tanpa pohon, dijamin manusia sengsara. Mulai tanaman musiman semacam padi saja-kemudian-kelapa (tanaman tahunan), dll. Ketika penghormatan terhadap pohon dianggap penyembahan terhadap berhala maka banyak pohon ditebang semena-mena. Akhirnya berbagai bencana seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan, serta yang paling mengerikan-climate change-tidak dapat dihindarkan.

Kearifan leluhur mengajarkan kehidupan yang selaras dengan alam. Saling memberi. Pendaki (manusia) memelihara pohon, dan pohon memberikan manfaat pada pendaki. Wahai Pendaki lain, masih ragu atau tidak percaya?

Cobalah berjalan di siang hari mengelilingi lautan pasir Bromo. Atau silahkan bertowaf (berkeliling dari puncak macan, glenmore dan sejati, juga puncak barat) di Kaldera Raung yang melingkupi 3 kabupaten (Banyuwangi, Jember dan Bondowoso). Rasakan betapa tiada pohon terasa panas membakar jasad. Setelah itu pasti semua akan sepakat untuk ‘menyembah’ pohon.
 

Sabtu, 15 April 2017

Idjen-Wurung Crater 8-9 July 2016



Hari ini akhirnya bisa juga mengawinkan Kawah Idjen dan Kawah Wurung. Sebelumnya selalu gagal, entah karena kecapekan, cuaca tidak mendukung seperti saat Juna usia 2 tahun 2 bulan dan tersesat (lokasi tidak ketemu) saat membawa Juna di usia 8 bulan.

Saat mudik lagi nanti sangat ingin camping di Kawah Wurung.

Perjalanan di mulai pada malam hari (8 Juli 2016) jam 21:30 WIB dari Srono-Banyuwangi. Sampai di Desa Tamansari Kecamatan Licin pukul 22.45 WIB. Di desa ini ada cegatan dengan membayar karcis untuk kas desa per motor Rp 5,000. Pada kesempatan ini kami manfaatkan istirahat, terutama Juna dan Mamanya yang didera kantuk berat. 

Pukul 23.15 WIB kami melanjutkan perjalanan dan tiba di Paltuding jam 12 kurang. Perjalanan kali ini lebih lancar dari biasanya karena sebelumnya menggunakan motor matic yang tidak sanggup untuk melewati tanjakan Erek-erek dan sekitarnya. Sehingga motor harus dituntun dan sempat mogok. Namun kali ini dengan motor baru Supra X 125 semua bablas termasuk perjalanan turun dengan memainkan gigi satu dan dua sangat membantu. Rasa was-was seperti saat perjalanan turun dengan matic seperti sebelumnya tidak lagi terasa.

Setelah bebersih dan membeli tiket masuk, pukul 00.30 kami memulai perjalanan ke Kawah Idjen dari Paltuding. Seperti yang sudah-sudah, Juna tidur dalam gendongan. 

Dengan tertatih-tatih pukul 3 dini hari sampailah kita bertiga di bibir kawah Idjen. Kami sempatkan turun setengah untuk mengabadikan blue fire. Selanjutnya naik lagi untuk mencari celah perlindungan dari dingin. Rasa dingin mendera kami sampai pukul 6.30. Maklum, sisi timur Kawah Idjen terhalang Gunung Merapi sehingga hangat mentari pagi baru dapat kami nikmati pukul 7 pagi.

Dua jam bersama mentari pagi kami nikmati dengan sarapan dan berfoto ria. Pukul 09.30 kami bergegas turun kembali ke Paltuding. Perjalanan jadi lebih ringan karena Milo telah terbangun sehingga bisa berjalan sendiri. Dasar anak kecil, gayanya ingin mandiri dengan tidak mau dipegangi dan berusaha mencari jalur sendiri.

Pukul 11:00 WIB kita bertiga tiba di Paltuding dan langsung melanjutkan perjalanan menuju ke Kawah Wurung setelah sebelumnya diwarnai perdebatan dan diskusi apakah akan langsung pulang atau mampir dulu ke Kawah Wurung.

Perjalanan ke Kawah Wurung dari Paltuding hanya memerlukan waktu 30 menit. Setelah mengisi perut dengan mie instan (warung belum menyediakan nasi) kita bertiga menuju puncak Wifi Kawah Wurung.

 
 

Kamis, 13 April 2017

Pulau Flores: Sang Nusa Giri

Pulau Flores merupakan salah satu pulau yang terletak di kawasan indonesia timur, tepatnya di propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Banyaknya turis asing yang datang menikmati eksotisme pulau Flores menandakan bahwa keindahan pulau Flores telah terkenal sampai ke seantero dunia. Sebagai informasi, pulau Flores berasal dari bahasa portugis “Flores“ yang berarti “bunga“. Nama ini diberikan karena keindahan pulau Flores yang sangat memukau bagaikan bunga yang baru mekar sehingga pulau Flores mendapatkan julukan “Nusa Bunga“. Adapun julukan lain dari pulau Flores yaitu “Nusa Nipa“, yang artinya “Nusa Ular“. Ini disebabkan karena bentuk pulau Flores yang panjang bagaikan ular.

Saya sendiri berkesempatan mengunjungi pulau Flores dengan menjelajahi hampir 400 km mulai dari Bandara Komodo di Labuan Bajo sampai dengan kota Ende (Bandara H. Hasan Aroeboesman). Kesan begitu mendalam dan memang tak terbantahkan bahwa pulau Flores memang pantas dijuluki Nusa Bunga dan Nusa Nipa karena begitu mempesonanya.

Namun sebagai pendaki gunung, tidak salah bila saya memberikan julukan tambahan pada pulau Flore, yakni "Nusa Giri" dikarenakan selama 4 hari menelusuri pulau Flores yang nampak adalah gunung-gunung dan bukit-bukitnya. Mata ini begitu dimanja dengan hampir semua penjuru mata angin menampilkan sosok yang begitu akrab: gunung.

Hutan-hutannya. Gas belerangnya. Jurang-jurangnya. Tebing-tebingnya. Terutama dinginnya kota Ruteng dan Bajawa begitu meninggalkan kesan yang dalam dan akan selalu memberikan panggilan khusus pada diri ini untuk segera kembali ke pulau Flores.

Dan tidak kalah penting adalah mempelajari kearifan lokalnya selama bertemu dengan warga dimana diantaranya adalah Tetua Suku/Adat. Bagaimana mereka mengambil keputusan. Cara mereka mengharmonisasikan diri dengan alam. Dan jalan yang mereka tempuh untuk selalu bisa memaknai segala kondisi dari sisi kemanusiaan.

Gunung dan kearifan lokal adalah dua hal yang akan selalu melekat dalam setiap perjalananan saya. Karena di gunung kualirkan air keringat untuk menyehatkan jasmani dan pada kearifan lokal kualirkan air mata untuk membugarkan hati dan nurani ini.
Keterangan: Selamat Pagi kawan-kawan semua. Mari kita Ngopi di Gunung Inerie (2,245 mdpl). Gunung ini merupakan salah satu gunung berapi yang ada di Pulau Flores. Terletak di Kabupaten Ngada dan di kaki bukitnya ada kampung adat yang terkenal bernama Kampung Bena. Namun spot terbaik untuk menyaksikan view gunung yang kelihatan tidak tinggi ini dibanding gunung-gunung yang ada di Jawa adalah di Manulalu Bed&Breakfast yang bisa ditempuh selama 40 menit kota Bajawa via kendaraan pribadi. Dari Manulalu Bed&Breakfast kita akan menyaksikan Gunung Inerie dengan begitu jelas. Nama gunung Inerie sendiri diambil dari kata "Ine" yang artinya ibu, dan "Rie" yang artinya cantik. Jadi Gunung Inerie berarti ibu yang cantik. Gunung ini masih aktif dan catatan terakhir meletus pada tahun 1970.
 
Keterangan: (Sumber: Wikipedia) Gunung Ebulobo, juga dikenal sebagai Emburombu atau Puncak Nage Keo, adalah gunung stratovolcano yang terletak bagian selatan dari Kabupaten Nagekeo di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Gunung Ebulobo menjulang di atas Kecamatan Boa Wae, yang terletak di bawah lereng barat laut gunung tersebut. Bentuk gunung simetris dengan ketinggian 2124 m, dengan bagian atas kubah lava berbentuk datar. Sejarah letusannya, yang tercatat sejak 1830, antara lain berupa lelehan lava di lereng utara serta letusan-letusan eksplosif pada puncak kawahnya.