Jumat, 30 Januari 2009

Kisah Pendakian Estafet 7 Gunung di Penghujung Tahun 2008 dan Awal Tahun 2009 Bersama LaPenDoS-LelakiPenuhDosananSunyi (Bagian 1)

Overview
Pendakian estafet ini menyuguhkan ragam rintangan dan variasi tantangan yang berbeda dari pendakian-pendakian sebelumnya. Persahabatan, derita, luka, semangat, kesabaran, dan makna hidup memenuhi dimensi ruang dan waktu petualangan ini.
Awal mula keinginan melakukan pendakian estafet ini adalah disebabkan aku ingin mengakhiri kegemaran mendaki gunung dengan sebuah petualangan yang mengesankan. Adalah kehendakNya aku bisa menyelesaikan petualangan ini dengan hasil yang sangat memuaskan dari sisi batiniahku serta kesehatan dan kelapangan ruang dan waktu dari sisi lahiriahku. Akhirnya apa yang kuperkirakan terjadi juga, yaitu pendakian estafet ini harus kulalui tanpa teman perjalanan di Gunung Lawu. Namun meski begitu tetap saja aku tiada merasa seorang diri karena ini adalah aktivitas pengkajianku terhadap makna pendakian sebagaimana hipokrisi (kemunafikan) dan hipotesisku bahwa hanya pada gunung dan belantara udara paling murni bersemayam dan segala definisi hidup terurai.
Petualangan ini mencapai puncak 1) Argopuro, 2) Slamet, 3) Merbabu, 4) Merapi, 5) Sumbing, 6) Sindoro, 7) Ungaran, dan 7) Lawu. Namun Puncak Ungaran tidak terhitung karena tidak termasuk target awal petualangan sehingga hanya dianggap sebagai bonus perjalanan saja. Sedangkan kawan-kawan yang menyertai petualangan ini adalah campuran dari berbagai kelompok pendaki/pecinta alam dan pendaki freelance baik yang sudah janjian dulu maupun yang bertemu di perjalanan yang selalu tergugah kalbunya setiap mendengar nama gunung disebut serta tersentuh nuraninya setiap kisah perjalanan pendakian gunung diceritakan oleh lidah-lidah dalam mulut yang pernah menebal oleh dingin yang membekukan cita-cita.
Atas nama saling memberi, saling berbagi dan saling menguatkan kuucapkan:
Terima kasih untuk kawan-kawan yang menyertaiku ke Argopuro: Gemblung, Indra, Hendy dan Jali Ulun. Pendakian 5 hari di Gunung Argopuro dengan logistik 3 hari mampu meneguhkan ketahanan tubuh dan kesabaranku. Ketenanganku dalam menyikapi situasi yang fluktuatif diuji dan akhirnya benar-benar teruji di gunung ini.
Dua saudaraku yang setia menemaniku ke Slamet setelah juga berpayah dan berkelaparan ria di Gunung Argopuro: Indra dan Hendy. Aku yakin dengan sedikit treatment dan tambahan beberapa ritual lagi (pendakian) kalian berdua akan melampauiku. Dan merupakan suatu kehormatan bagiku bisa disertai dan menyertai kalian mencapai masa on fire dalam kegemaran merambah belantara dan mendaki gunung.
Jagraweçya FE UNSOED yang telah menunjukkan arti persahabatan yang begitu memukauku sehingga berat dan sedih ketika harus berpisah untuk melanjutkan perjalanan ke gunung berikutnya. Konser Raggae-nya sungguh berkesan. Voucher yang kuperoleh dari konser anniversary anak Program Diploma Bahasa Inggris UNSOED akan terus kusimpan semampuku. Seremonial perayaan ulang tahunku juga tidak terbayangkan sebelumnya. Pertama kalinya aku mendapatkan perayaan ulang tahun yang semeriah itu. Aku benar-benar merasa sangat tersanjung dan terharu. Aku merasa hidupku tidak akan sempurna jika aku belum membalas kebaikan kalian. Oleh karena itu segeralah buat acara petualangan ke gunung Jawa Timur atau hanya sekedar mampir ke Surabaya/Lamongan. Semoga saat itu aku diberikan keluasaan ruang dan waktu sehingga aku menjadi manusia yang mengerti dan mampu membalas budi.
Mamira FMIPA UNSOED yang menyediakan tempat untuk kami numpang nimbrung dan mengekor di belakang perjalanan kalian serta akhirnya menjadi teman pengembaraan ke Gunung Slamet sehingga kami dapat mencapai Puncak Slamet untuk pertama kalinya. Tanpa Mamira kami yakin akan lambat di transportasi dan rute perjalanan. Cerianya kawan-kawan di sepanjang perjalanan menyemarakkan dan menculikku dari lamunan yang merupakan kebiasaanku melalui rute pendakian.
Kelompok Merbabu-Merapi. Om Jawul-guru sekaligus kawan pendakian-yang tiada habis dalam memberikan uraian hikmah pendakian gunung. Sulit bagiku menandingi luapan semangat Om Jawul dalam setiap pembicaraan dan kegiatan pendakian gunung. Sugiharto, Koko, Ayub, Mashudi, dan Erik yang menyemarakkan Merbabu-Merapiku.

Kawan baikku yang berdomisili di kaki Gunung Sumbing (Garung), Ghani. Meski baru kenal di suasana maghrib itu Anda sudah menyediakan dimensi ruang dan waktu serta komputer untukku mentransfer data dokumentasi sehingga ruang dokumentasi untuk gunung yang lain di memory card-ku menjadi lebih luas. Suatu bentuk pertolongan yang tiada terkira berartinya bagi kesuksesanku dalam mengabadikan perjalanan ini.
Saudara-saudaraku dari Semarang yang bertemu dalam pendakian Gunung Sumbing: P Kholid, P Lookman, P Mul, P Salim, Mas Gesang, Mas Wahab, Mas Malik, Mas Khafid, dan Mas Najik. Keakraban dan keramahan serta nuansa kekeluargaan yang sulit kutemukan tandingannya tersaji di sepanjang perjalanan dan sewaktu mampir ke Semarang. Betapa indahnya keseharian sebuah keluarga besar.
Teman-teman dari Solo ‘BTSLOPALA’ dan Pekalongan yang bertemu di pendakian Sindoro. Especially, Toni dan P Bambang ‘Tole’ yang menjadikan Solo begitu ramah dan serasa seperti di rumah sendiri. Tanpa kemurahan hati P Bambang ’Tole’ sulit rasanya mendapatkan malam tahun baru di Gunung Ungaran. Beragam kerepotan yang kutimbulkan tak sedikitpun mengurangi keramahan dan kesabaran Anda berdua. Bersahabat dengan Anda berdua serasa menembus batas/sekat dimensi ruang-waktu dan mencapai puncak-puncak pemahaman persahabatan dan persaudaraan.
Sahabat-sahabat dari Tawangmangu yang bersapa ria sewaktu di puncak Lawu ‘Argodumilah’ dan melewati malam dengan api unggun yang menghangatkan tubuh yang tinggal selongsong nafas ini. Fisik yang tinggal separuh tiba-tiba kembali utuh dalam menjalani turunan Cemoro Sewu yang angkuh. Joke khas Tawangmangu begitu me-refresh fisik dan mentalku yang sayah.
Pihak-pihak yang tidak dapat disebutkan secara detail dan formil seperti penguasa Base Camp di setiap gunung yang kudaki dan sapaan-sapaan pendaki lain baik yang naik maupun yang turun. Sukses pendakian estafet ini tentu tidak terlepas dari kontribusi semuanya.
NB: Urutan ucapan terima kasih ini hanya didasarkan pada waktu pertemuan bukan karena skala prioritas.
Kegiatan ini dimulai dari tanggal 12 Desember 2008 dan berakhir pada 6 Januari 2009 (26 hari). Lamanya waktu yang dihabiskan bukan karena medan pendakian gunung akan tetapi karena misi dibalik kegiatannya ini adalah menjalin persahabatan dan meneguhkan persaudaraan bagi teman-teman di Jawa Tengah yang telah bertemu sebelumnya maupun yang baru berjumpa dalam pendakian ini. Oleh karenanya hampir seperempat bagian waktu digunakan untuk tujuan tersebut berupa mampir ke Base Camp kawan-kawan. Berikut ini hasil tabulasi kegiatan.
Activity Tabulation Results
No
Nama Gunung
Waktu
Personil
Rute Transportasi (dari Surabaya)
1
Argopuro
(3.088 m dpl)
12 – 16/12/08
LaPenDoS-LelakiPenuhDosananSunyi, Gemblung, Jali-Ulun, Indra, Hendy
T Purabaya à Besuki à Baderan (Pos Perijinan) à Bremi à T Probolinggo à T Purabaya
2
Slamet
(3.432 m dpl)
20 – 23/12/08
LaPenDoS, Gemblung, Indra, Hendy, Mamira
St. Gubeng (SBY) à St. Purwokerto à T. Purbalingga à Serayu à Bambangan
3
Merbabu
(3.145 m dpl)
25 – 26/12/08
Om Jawul, LaPenDoS, Ayub, P Sugi, Koko, Mashudi n Erik
St. Gubeng (SBY) à St. Yogyakarta à Magelang à Kopeng à Thekelan
4
Merapi
(2.968 m dpl)
27/12/08
Om Jawul,LaPenDoS, Ayub, P Sugi, Koko, Mashudi n Erik
St. Gubeng (SBY) à St. Yogyakarta à Boyolali à Selo
5
Sumbing
(3.371 m dpl)
28 - 29/12/08
LaPenDoS, Kelompok Semarang
St. Gubeng (SBY) à St. Yogyakarta à Wonosobo à dsn Garung
6
Sindoro
(3.150 m dpl)
30 – 31/12/08
LaPenDoS, BTSLOPALA (Belakang Terminal Solo Pecinta Alam)
St. Gubeng (SBY) à St. Yogyakarta à Magelang à Temanggung à Kledung
7
Ungaran
(2.050 m dpl)
01/01/09
LaPenDoS, Mas Gesang dan Pak Bambang ‘Tole’
St. Gubeng (SBY) à St. Yogyakarta à Semarang à Ungaran à Pasar Jimbaran
7
Lawu
(3.265 m dpl)
04 – 06/01/09
LaPenDoS, Tawangmangu Genk
St. Gubeng (SBY) à St. Jebres Solo à Tawangmangu Cemorokandang


Activity Description
GUNUNG ARGOPUROGunung Argopuro adalah salah satu gunung yang memiliki rute pendakian yang cukup panjang. Diyakini merupakan rute terpanjang di Jawa (lebih dari 30 km). Gunung Argopuro juga menawarkan sisi entertainment bernilai tinggi. Skenario pendakian kali ini adalah start dari Baderan (Kab. Situbondo) dan finish di Bremi (Kab. Probolinggo). Secara umum rute pendakian yang dimiliki Gunung Argopuro penuh dengan bonus karena banyak jalan tolnya dengan ruas jalan beraspal padang rumput kering (savana rumput) dan rawa mati. Meskipun juga terkenal dengan 9 bukit penyiksaan.
KISAH PENDAKIAN GUNUNG ARGOPURO VIA BADERAN à BREMI
1.   Sebagai awal mula pendakian estafet ini dipilih Gunung Argopuro. Selain untuk pemanasan, domisili gunung ini berada di Jawa Timur jadi dekat dengan tempat tinggal kami. Jumat, 12 Desember 2008 pukul 00.30 WIB kami berlima meluncur dari Terminal Purabaya Surabaya dengan Bus Ekonomi Jurusan Surabaya-Probolinggo. Ternyata jam segitu Bus Jurusan Surabaya-Situbondo sudah tidak ada. Jam 03.00 WIB sampai di Terminal Probolinggo dan ganti Bus ke Besuki Situbondo. Pukul 05.00 WIB kami telah sampai dan menunggu angkutan pedesaan sampai jam 06.30 WIB untuk menuju Pos Perijinan Baderan. Setelah hampir 2 jam kami bergelut dengan aroma khas ikan yang dikeringkan (digerêh) tidak sempurna akibat musim hujan sampailah kami di Baderan. Ternyata Pak Sugiono (Polisi Hutan) tidak ditempat sehingga kami menulis daftar nama yang mendaki di selembar kertas dan menyelipkannya di bawah pintu kemudian terus cabut (mendaki).
2.  Pukul 08.30 WIB kami meluncur, berjalan melewati ladang-ladang yang segar dengan beragam tanaman. Musim penghujan ini benar-benar dimaksimalkan oleh penduduk di area ini. Suasana yang sungguh kontras dengan saat aku pertama kali kesini (Awal Juni-Musim Kemarau) yang hanya didominasi tembakau. Aku cukup kesulitan mengingat rute yang dulu pernah kulewati, tetapi dengan bantuan beberapa petani yang kami temui di sepanjang perjalanan sehingga kami tetap di jalur yang benar.
3.   Kondisi jalan yang licin dan becek serta perut yang belum terisi menyebabkan perjalanan ini begitu lambat. Di sebuah gubuk kami berhenti cukup lama dan begitu pun di jam 10.30 WIB saat kami temui gubuk yang lain. Kami beristirahat hampir 2 jam!
4.   Perjalanan dengan perut kosong terus berlanjut sampai akhirnya kami tiba di Pos Air 1 pukul 15.00 WIB. Kami memasak mie dan karena hujan turun maka kami putuskan mendirikan tenda bersama cacing-cacing tanah yang menggila jumlahnya. Hieeeek!!!
Terbuat dari apakah alam ini?
Semua begitu indah dan menyenangkan
Meski malam-malam sesekali riuh dan ribut oleh angin dan pohon tumbang
Aku begitu kerasan dengan suasana ini
Entah sampai kapan aku akan terhenti dari petualangan ini!!
5.   Sabtu, 13 Desember 2008 di sebuah pagi yang cerah setelah semalaman turun hujan kami isi waktu dengan memasak dan menanti jemuran agak kering sehingga kulit tidak kaget menerima sentuhannya jika nanti dipakai lagi. Setelah melakukan senam pagi dengan diiringai musik ajeb-ajeb siaran radio lokal, pukul 09.00 WIB kami memulai perjalanan.
6.  Butuh 3 jam untuk sampai di aloon-aloon kecil. Untuk sampai di Cikasur kami harus melalui kurang lebih 5 padang rumput lagi dengan masing-masing bukitnya. Inilah sisi entertainment yang selalu kurindukan. Hamparan rumput memutih di kala musim kemarau dan menghijau di kala musim hujan seperti ini sungguh menyentuh sisi hatiku yang terdalam. Pukul 15.00 WIB kami tiba di Cikasur dan setelah memasak untuk makan siang hujan turun sehingga kami memutuskan mendirikan tenda di dalam shelter Cikasur yang kehilangan dinding-dinding kayunya.
Cikasur
Pengalaman pribadi untuk kedua kalinya di tempat ini tetap saja suasana hati terasa haru sendu. View yang tersaji sangat unik dan futuristik. Di awal Bulan Juni 2008 lalu dominasi warna putih begitu kental. Cahaya pagi yang menyambar dipantulkan rerumputan kering menyalak putih keperakan dan kini warna hijau begitu dominan.
Di sudut utara terlihat pola rerumputan yang unik dimana warna kuning melingkari pohon kecil. Kami berlima bercengkerama sambil menikmati hujan yang turun. Aku jadi ingat lagu hujan milik Utopia Band. Bercerita tentang pengalaman masing-masing merambah hutan dan mendaki gunung. Jali Ulun bercerita tentang pendakian Gunung Gde-Pangrango. Penuh semangat Gemblung mendeskripsikan pendakian Semeru di Bulan Agustus 2008 lalu dan dipertegas oleh Indra dan Hendy, juga aku karena kita mendaki bersama-sama waktu itu.
Sampai pukul 20.00 WIB hujan tak kunjung reda. Kami bermain kartu di dalam tenda yang hangat. Satu tenda untuk berlima sedangkan tas karier kami taruh di luar dengan dibungkus plastik agar tidak basah kebetulan juga angin bertiup sepoi-sepoi. Malam berlangsung begitu sendu namun syahdu. Kurasakan seperti di rumah sendiri. Cikasur memang tempat yang luarbiasa-indah namun penuh dengan misteri. Kawan-kawan mulai terlelap dan aku asyik menikmati dan merenungi apa yang ada.
7.   Minggu, 14 Desember 2008 pukul 08.00 WIB kami bergegas meninggalkan Cikasur. Setelah melewati tanjakan pertama kemudian bertemu dengan padang rumput sekelompok Merak menyambut kami dengan berlari cepat (kabur) sebelum Kamera Canon PowerShot A460-ku mengabadikan rupa dan bentuk mereka. Pukul 11.30 WIB kami sampai di Cisentor dimana terdapat sungai kecil dan shelter yang masih utuh dengan hiasan/tulisan vandalisme di seluruh bagiannya. 1,5 jam kemudian kami sampai di Rawa Embik yang diyakini sebagai bekas tempat Dewi Rengganis mengembalakan ternaknya (Kambing yang suka ngembik). Di Rawa Embik juga terdapat sungai kecil dan cocok untuk tempat terakhir mengambil air sebelum ke puncak. Pukul 15.30 WIB kami sampai di persimpangan dimana jika kami mengambil ke arah kanan berarti menuju Puncak Abadi Argopuro dan jika mengambil ke arah kiri menuju Puncak Abadi Dewi Rengganis. Setelah beristirahat setengah jam kami memutuskan ke Puncak Abadi Argopuro yang hanya membutuhkan waktu tidak sampai setengah jam untuk sampai di triangulasi berbentuk tumpukan batu sebagai penanda puncak dan jam 17.00 kami turun ke persimpangan dan kemudian naik ke Puncak Abadi Dewi Rengganis untuk bermalam disana.
8. Malam ini kami diberikan cuaca yang sangat bersahabat, kontras dengan 2 malam sebelumnya. Angin bertiup sepoi-sepoi dan langit memperlihatkan bintang dan bulan yang tinggal separuh. Kawan-kawan tertidur pulas sedangkan aku mengalami sedikit gangguan pencernaan sehingga di malam gulita harus mendadak terbangun.
9.   Senin, 15 Desember 2008 pukul 05.00 WIB setelah menyiapkan segelas berisi air campuran Milo, Energen dan Susu, aku bergegas ke tempat favoritku ketika pertama kali ke Puncak Abadi Dewi Rengganis untuk melihat matahari terbit. Segala puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala nikmat yang telah diberikan kepada kami. Pagi ini kami dianugerahkan sunrise yang begitu indah. Muncul dari sisi selatan Gunung Raung yang terangkai dengan gunung yang lain-Merapi, Meranti, Kawah Ijen, Suket. Kami juga berlama-lama di sebuah tumpukan batu yang diyakini sebagai makam Dewi Rengganis. Setelah memasak mie dan nasi terakhir, pukul 08.00 WIB kami berjalan turun, melewati Rawa Embik dan sampai di Cisentor pukul 10.00 WIB. Kami mengisi persediaan air secukupnya. Sebenarnya ada sungai lagi di perjalanan pulang menuju Bremi namun karena ragu kami mengisi air di Cisentor. Dan benar saja, setengah jam perjalanan kami menemui sungai kecil namun airnya kurang bersih dan rimbun oleh tanaman ‘surprise’ yang kami biasa panggil ‘Jancukan’. Karena salah satu fisik kawan drop maka target untuk sampai di Pos Perijinan Bremi harus tertunda sampai besok. Berada pada malam yang gelap gulita dalam dekapan hutan-dekat taman hidup-kami terhenti dan bermalam dengan perut kosong.
10. Selasa, 16 Desember 2008 pukul 07.00 WIB kami bergegas menuju ke sebuah danau yang dikenal dengan nama Taman Hidup. Karena perut kosong menyebabkan kondisi fisik menjadi lemah kami memutuskan tidak berlama-lama di Taman Hidup. Selama berjam-jam lambungku terus demo, miscall dan aksi lainnya. Hal ini juga dirasakan kawan yang lain. Pukul 11.30 WIB kami akhirnya sampai di Bremi dan segera menuju suatu tempat yang




telah 2 hari ini kami idam-idamkan
, Warung Makan!! Untuk sementara selesailah derita ini.