Selasa, 03 Februari 2015

Gunung Dalam Al Qur’an

Al Qur’an menyebut gunung dengan dua perkataan bahasa Arab. Yang pertama kata jamak ‘jibal’ dan disebut sebanyak 33 kali, manakala kata tunggal ‘jabal’ disebut enam kali dan yang kedua kata ‘rawasi’ yang diulang sebanyak 10 kali. Begitu seringnya Al-qur’an menyebut gunung, mengisyaratkan betapa penting dan besarnya pengaruh gunung dan hikmah yang dikandungnya. Setidaknya ada beberapa hikmah yang tersirat dari sebuah gunung, diantaranya:
 
a. Karunia yang diberikan Allah SWT melalui gunung
1) Dan gunung-gunung sebagai pasak. (Q.S. An Naba' : 7)
2) Dan kamu lihat gunung-gunung itu, kamu sangka dia tetap di tempatnya, padahal ia berjalan sebagai jalannya awan. (Begitulah) perbuatan Allah yang membuat dengan kokoh tiap-tiap sesuatu; sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. (Q.S An Naml : 88)
3) … dan telah Kami tundukkan gunung-gunung dan burung-burung, semua bertasbih bersama Daud. Dan kamilah yang melakukannya. (Q.S. Al Anbiyaa' : 79)
 
b.      Bencana yang diberikan Allah SWT melalui gunung
1) Dan mereka bertanya kepadamu tentang gunung-gunung, maka katakanlah: "Tuhanku akan menghancurkannya (di hari kiamat) sehancur-hancurnya, (Q.S. THaahaa : 105)
2) Dan gunung-gunung menjadi seperti bulu (yang berterbangan), (Q.S Al Ma´aarij :9)
3) Apabila bumi digoncangkan sedahsyat-dahsyatnya, dan gunung-gunung dihancur luluhkan seluluh-luluhnya, maka jadilah ia debu yang beterbangan, (Q. S. Al Waaqi'ah : 4-6)

Berikut daftar Kota Volkano di Indonesia:
a. Dataran Dieng yang dihuni 1,5 juta jiwa lebih. Sumber ancaman: Kawasan pegunungan Dieng.
b. Ternate, berpenduduk 185 ribu orang lebih. Sumber ancaman: Gunung Gamalama.
c. Bitung, Sulawesi Utara, berpenghuni 187 ribu orang lebih. Sumber ancaman: Gunung Tangkoko
d. Kotamobagu, Sulawesi Utara, berpenduduk 107 ribu orang lebih. Sumber ancaman: Gunung Ambang.
e. Cimahi, Jawa Barat, berpenghuni 500 ribu lebih orang. Sumber ancaman: Gunung Tangkuban Parahu.
f. Garut, Jawa Barat, penduduk 136 ribu orang lebih. Sumber ancaman: Gunung Guntur, Papandayan, dan Galunggung.
g. Bogor, Jawa Barat, 950 ribu orang lebih. Sumber ancaman: Gunung Gede, Salak.
h. Menado, Sulawesi Utara, 410 ribu orang lebih. Sumber ancaman: Gunung Mahawu, Lokon-Empung.
i. Kota Pagar Alam, Sumatera Selatan, 126 ribu orang lebih. Sumber ancaman: Gunung Dempo.
j. Sukabumi, Jawa Barat, berpenduduk 281 ribu orang lebih. Sumber ancaman: Gunung Gede, Salak.
k. Batu, Jawa Timur, berpenghuni 190 ribu lebih. Sumber ancaman: Gunung Arjuno-Welirang, Kelud.
l. Payakumbuh, Sumatera Barat, 116 ribu lebih orang. Sumber ancaman: Gunung Marapi.
m. Bukittinggi, Sumatera Barat, berpenduduk 111 ribu lebih orang. Sumber ancaman: Gunung Marapi dan Tandikat.
n. Boyolali, Jawa Tengah, hampir 60 ribu orang. Ancaman dari Gunung Merapi.
o. Bandung, Jawa Barat, lebih dari 2,3 juta penduduk. Ancaman dari Gunung Tangkuban Parahu.
p. Tasikmalaya, Jawa Barat, lebih dari 635 ribu penghuni. Ancaman dari Gunung Galunggung.
q. Cianjur, Jawa Barat, lebihd ari 140 ribu orang lebih. Ancaman dari Gunung Gede.
r. Magelang, Jawa Tengah, berpenduduk 118 ribu lebih. Sumber ancaman dari Gunung Sumbing dan Merapi.
s. Sleman, Yogyakarta, hampir 70 ribu penduduk. Sumber ancaman: Gunung Merapi.
t. Malang, Jawa Timur, dihuni 820 ribu lebih penduduk. Ancaman dari Gunung Arjuno-Welirang.
u. Blitar, Jawa Timur, penduduk 131 ribu orang lebih. Ancaman dari Gunung Kelud.
v. Lumajang, Jawa Timur, dihuni 95 ribu lebih penduduk. Ancaman dari Gunung Lamongan.
w. Purwokerto, Jawa Tengah, hampir 250 ribu penduduk. Ancaman dari Gunung Slamet.
x. Salatiga, Jawa tengah, lebih dari 170 ribu lebih orang. Ancaman dari gunung Merapi.
y. Klaten, jawa Tengah, penduduk 123 ribu orang lebih. Sumber ancaman: Gunung Merapi.
z. Cirebon, Jawa Barat, dihuni hampir 300 ribu orang. Sumber ancaman: Gunung Ciremai.
aa. Probolinggo, Jawa Tengah, berpenduduk 217 ribu orang lebih. Sumber ancaman: Gunung Lamongan.
bb.  Yogyakarta, dihuni 388 ribu orang lebih. Sumber : Ancaman Gunung Merapi (kompas.com 2012/11/16)

artikel terkait

Minggu, 01 Februari 2015

7 Prinsip Dasar Leave No Trace

Pertama, Persiapan dan Perencanaan.
Kedua, Berkemah dan berjalan di tempat dan alur yang sudah umum digunakan.
Ketiga, Buang air pada tempat dan kondisi yang tepat.
Keempat, Jangan merusak bagian alam dan lingkungan yang kamu temui.
Kelima, Minimumkan dampak dari api unggun.
Keenam, Jaga kelestarian dan jangan mengganggu tanaman dan binatang liar.
Ketujuh, Saling menghargai sesama petualang alam bebas.
 
Dirangkum dari buku "Leave No Trace" karangan Annete McGivney.
 
PERENCANAAN DAN PERSIAPAN
· Pelajari regulasi dan hal-hal khusus untuk daerah yang akan dituju
· Persiapkan diri untuk menghadapi cuaca yang buruk, bahaya dan keadaan darurat
· Jadwalkan perjalananan Anda untuk menghindari musim ramai kunjungan
· Datanglah dalam grup yang kecil, Jika dalam grup besar pecahlah menjadi beberapa grup kecil
· Bungkus ulang logistik makanan Anda, buang kotak yang tidak penting sehingga bisa mengurangi sampah
 
PERJALANAN DAN CAMP DI PERMUKAAN TANAH YANG KERAS
· Permukaan tanah yang keras termasuk diantaranya adalah jalan setapak yang sudah jelas dan camp-sites atau tempat mendirikan tenda, batu, kerikil, dan rerumputan kering.
· Lindungi daerah alami dengan cara camping setidaknya tidak terlalu dekat dengan danau dan aliran air.
· Temukan  camp-sites  yang baik, bukannya dibuat. Mengubah lokasi camp sangat tidak disarankan terutama sekali didaerah yang populer.
· Konsentrasikan kegiatan pada jalan setapak dan camp-sites yang sudah ada.
· Selalulah berjalan ditengah jalan setapak meskipun basah dan berlumpur. Hindari mengijak rumput yang tumbuh dipinggir jalan setapak.
· Jagalah camp-sites Anda agar tidak melebar. Di daerah yang masih asli alamnya, fokuskan aktifitas pada daerah yang tidak ada vegetasi tumbuhannya.
· Biasakan mengembalikan areal camp seperti semula saat setelah menggunakannya.
· Hindari menggunakan lokasi dimana efek terhadap alam baru saja terjadi.
 
BUANGLAH LIMBAH DENGAN BENAR
· Bungkus saat masuk, bungkus saat keluar. Periksa camp-sites Anda dan area sekellingnya apakah ada sampah atau makanan sisa. Bungkus dan bawa keluar semua sampah, makanan sisa dan kotoran lainnya.
· Timbunlah kotoran manusia dalam lubang yang digali dengan kedalaman 6 hingga 8 inchi dan paling tidak 60 meter dari sumber air, camp-sites, dan jalan setapak. Timbun dan samarkan bekas timbunan lubang tersebut setelah selesai menggunakannya.
· Bungkus pulang kertas tissu toilet dan produk pemakaian pribadi lainnya.
· Untuk mandi atau mencuci piring, bawalah air berjarak 60 meter dari aliran air atau danau dan gunakan sesedikit mungkin sabun berbahan biodegradable.
· Buanglah air buangan mencuci piring dengan cara memencarkanya.
 
BIARKAN APA YANG ANDA TEMUKAN
· Peninggalan masa lalu: periksa saja, tapi jangan disentuh susunan artifak dari peninggalan budaya atau sejarah.
· Biarkan batu, tumbuh-tumbuhan dan objek alam lainnya sebagaimana saat menemukannya.
· Hindarkan membawa atau mengenalkan sesuatu (tumbuhan, binatang dan lainnya) yang bukan berasal atau bukan habitat dari daerah tersebut.
· Jangan membangun apapun, yang bersifat permanen dan hindarkan membuat parit, jika benar-benar diperlukan timbun kembali parit tersebut setelah digunakan.
 
HORMATI KEHIDUPAN LIAR
· Amati saja kehidupan liar dari jarak jauh. Jangan mengikuti atau mendekati mereka.
· Jangan pernah memberi makan binatang. Memberi makan binatang akan merusak kesehatan mereka, merubah kebiasan alaminya dan akan merusak rantai kehidupan mereka.
· Lindungi kehidupan liar dan makanan anda dengan cara menyimpannya dalam wadah, juga simpan sampah anda dalam wadah yang aman jauh dari gangguan mereka.
· Hindari kehidupan liar selama waktu yang sensitif bagi mereka seperti musim kawin, musim bersarang, dan membesarkan anak.
 
BERTOLERANSI KEPADA PENGUNJUNG LAINNYA
· Hormati pengunjung lainnya dan lindungi kualitas dari pengalaman mereka di alam bebas.
· Berlaku sopan, bertegur sapa dengan pengguna jalan setapak lainnya.
· Saat menuruni jalan setapak dan berpapasan dengan yang mendaki, dahulukan mereka dengan memberi jalan pada mereka.
· Buatlah camp anda terpisah dari jalan setapak dan pengujung lainnya.
Biarkan suara alam mengalir, Hindari mengeluarkan suara keras dan bunyi-bunyian lainnya.
 

 

Hipokrisi Kode Etik Berkegiatan di Alam Bebas pada Pendaki Lugu, Pendaki Teroris dan Pendaki Munafik

Mari kita mulai dengan memperhatikan 3 kode etik berkegiatan di alam bebas dibawah ini:

Kode Etik Pertama, JANGAN MENINGGALKAN APAPUN KECUALI JEJAK (Leave nothing but foot print)
Kode Etik Kedua, JANGAN MENGAMBIL APAPUN KECUALI GAMBAR (Take nothing but pictures)
Kode Etik Ketiga, JANGAN MEMBUNUH APAPUN KECUALI WAKTU (Kill nothing but time)

Bagi saya, Pendaki Gunung yang getol memahami dan menerapkan secara buta ketiga kode etik diatas, secara gamblang saya kelompokkan menjadi 3 tipe:

Pertama: Pendaki Lugu


Pendaki Gunung dalam kelompok ini biasanya meyakini dan memahami pendakian dengan modal patuh tanpa ilmu apalagi wawasan kritis. Sehingga tidak melihat ada masalah pada ketiga kode etik diatas. Secara psikologis, sudah terpasang menara bawel dalam dirinya: "Ini kan kode etik. Kesepakatan global. Jadi harus diikuti 100%. Dan saya wajib meyakininya tanpa keraguan sedikit pun". Tapi sikap dan ekspresi kepatuhan kelompok ini biasanya hanya introvert-defensif. Tidak menunjukkan aksi yang reaktif di medan sosial. Hanya diam secara fisik. Tapi begitu yakin dalam hati. Dan biasanya pendaki dalam tipologi ini taat menjalankan anjuran dan nasehat keliru dari seniornya. Anjuran dan ajakan untuk menghabiskan sisa hidupnya, sisa hartanya, sisa tenaganya dan sisa-sisa yang lain untuk membuat jejak, mengambil gambar dan menghabiskan waktu di Gunung. Menjadi tua dan kesepian karena habis di Gunung dan Belantara. Dan setelah itu merasa menjadi Pendaki Gunung paling suci mengalahkan para nabi, filsuf dan Begawan!

Kedua: Pendaki Teroris

Kelompok ini merupakan tipologi Pendaki gembar-gembor. Pendaki sorak-sorai. Pendaki yel-yel demonstran. Atau kasarnya, dalam istilah saya: Pendaki preman jalanan. Hubungan mereka dengan gunung dan belantara lebih bersifat afiliasi ideologi. Semangat GENG. Semangat komunitas. Semangat kelompok. Bukan semangat terhadap "nilai-nilai yang bersifat abstrak Universal."
Untuk melacak Pendaki Gunung kelompok ini sangat gampang. Biasanya mereka gemar menyatakan kalimat seperti ini:

"Ini kode etik kami, kalian tidak punya kode etik ya?".

"Jangan sekali-kali menghina kode etik kami".

"Pribadi saya boleh anda hina, tapi jangan coba-coba kode etik saya".

"Selagi Anda mengkritik kode etik kami, kami tidak akan tinggal diam".

Dan sejenisnya.

Singkatnya, mereka gemar menggunakan kata-kata oposisi binner sambil mengacungkan tinju (baik tinju mental maupun tinju yang sebenarnya): "Ini kami. Itu kalian. Jangan coba cari-cari perkara dengan kami!"

Dalam kesehariannya, baik secara penghayatan batin, maupun konsistensi praktek ritualitas pendakian, rata-rata mereka biasanya juga tidak taat alias sering kencing sembarang, buang sampah seenaknya, dan mengambil edelweiss sebanyak-banyaknya. Tapi giliran ada pihak yang mengkritik kode etik, maka jangan harap mereka akan bisa tenang. Termasuk jika ada yang mengkritik ketiga kode etik diatas. Mereka akan langsung geram. Mereka siap bertarung apa saja. Baik secara online maupun offline. Mulai dari perang mulut, sampai adu tinju sangat gampang meledak. Dalam tinjauan saya, tipologi kelompok inilah yang berbakat untuk dipompa menjadi Pendaki teroris.


Ketiga: Pendaki Munafik


Yang masuk kategori ini biasanya getol membela jika ada pihak yang mengkritik ketiga kode etik tersebut. Meskipun ditunjukkan bahwa sikap intoleransi Pendaki Gunung, aksi anarkisme-teror Pendaki Gunung di gelanggang sosial memang dipicu (salah satunya) oleh ketiga kode etik diatas, tapi mereka tetap menolak bahwa ketiga kode etik diatas tidak bersalah. Yang salah adalah orang lain yang keliru menafsirkannya. Mereka sibuk untuk menafsirkan ketiga kode etik diatas, meskipun sebenarnya kode etik itu tidak butuh penafsiran karena sudah tidak up to date. Karena teksnya jelas-jelas mukham, denotatif. Bukan mutasyabihat-konotatif.

Tapi mereka sibuk membela ketiga kode etik tersebut bahwa semua itu ada asbabun nuzulnya. Ada latar kenapa ketiga kode etik itu disepakati secara global. Dan dalil yang paling populer bagi mereka adalah, bahwa saat itu dan saat ini posisi alam sedang terancam. Singkatnya, mereka bersikukuh membangun apologi. Membangun pembelaan. Meskipun pembelaan itu hanya kreatifitas mereka dalam berargumentasi, atau lebih tepatnya rasionaliasasi.

Tapi karena nafsu untuk membela, maka mereka tetap memulung dalil apa saja agar ketiga kode etik diatas bisa diakui oleh pihak lain, bahwa itu memang warisan leluhur para petualang yang layak diyakini kebenarannya. Bukan sebuah proyeksi primitif masyarakat pendaki dengan "stempel Global."

Secara garis besar, bagi saya itulah 3 kelompok Pendaki Gunung bila menyangkut ketiga kode etik diatas. Dan perlu digarisbawahi, ini adalah pendapat saya pribadi. Bukan fatwa apalagi
sabda Nabi. Anda wajib untuk tidak percaya. Karena itu Anda boleh berbeda pendapat dengan saya.  Mengapa begitu? Karena dalam pengamatan saya banyak yang mengagung-agungkan dan mendengung-dengungkan ketiga kode etik tersebut tetapi tetap saja sepanjang perjalanan tangannya mematahkan dahan dan daun, memakan buah arbei setiap ketemu, memaki-maki tumbuhan Jelantang bila tersengat, membunuh semut dan satwa kecil lainnya meski tanpa sadar, melongsorkan jalur, merusak shelter, dan membawa pulang batu, benda-benda, bunga Edelweiss, Cantigi dan lain-lain. Dan mereka lantang mengatakan kami hanya meninggalkan jejak, mengambil gambar dan membunuh waktu. Tai kucinglah!

So, apa yang Anda pikirkan?

 

 


Mendaki Gunung Ibarat Perang


Judul ini mungkin dipahami agak lebay terutama bagi pendaki yang sejak pertama mendaki telah merasakan servis dari produk ultralight gear, EO (Event Organizer) Pendakian atau jalur-jalur pendakian yang telah mapan. Tetapi sebaliknya bagi pendaki yang mendaki dengan gear yang sangat berat karena berbahan ‘non ultralight’ sebagai contoh rangka ransel yang terbuat dari alumunium bekas pengangkut barang tentara yang kasar dan berat. Tidak ada keril yang ringan seperti sekarang. Belum ada trek yang jelas bagi pendaki. Tim pendakian harus memotong semak belukar untuk membuka jalur. Alat - alat keselamatan seperti kantung tidur (sleeping bag)webbing dan pakaian berlapis polar juga belum ditemukan. Malam hari menjadi saat menyiksa terutama bila tidak api unggun.

Belum ada GPS (global positioning system) yang memandu perjalanan. Parang berat ditangan untuk menebas belukar cukup banyak berkontribusi pada pengurangan energi. Belum lagi makanan atau logistik yang monoton yang belum sevariatif saat ini dengan kandungan yang komplit. Survival Kit dan P3K Kit masih belum terlalu familiar. Paling jungle survival knife yang cukup berat yang setia menemani.
Maka mendaki gunung ibarat perang. Perhitungan cermat harus dilakukan, agar kegiatan pendakian tak menjadi ajang bunuh diri.