Senin, 13 Maret 2017

Pendaki, Simbol Anti-Kemapanan


Zona nyaman adalah dambaan seluruh umat manusia. Karir yang jelas. Tempat kerja yang nyaman. Atasan yang baik hati. Gaji yang memadai. Setiap aspek resiko kehidupan ada jaminan asuransinya. Rekan kerja yang suportif dan kolaboratif. Sandang, pangan dan papan yang terjamin. Habis itu mati dan masuk surga.

Pernah mendengar istilah anti-kemapanan? Pasti pemahaman yang ada adalah anti hidup mapan. Menjalani kehidupan yang jauh dari kenyamanan. Padahal bukan itu artinya, anti-kemapanan tidak ada kaitannya dengan kenyamanan dan kemapanan finansial. Apalagi kecukupan sandang, pangan dan papan. Anti-kemapanan juga bukan karena kondisi seseorang yang tidak mampu mencapai tingkat kesejahteraan tertentu dan mencari kebenaran dengan cara membenci hal yang sudah mainstream (pemikiran kritis berbasis negative thinking).

Menurut tafsir para pendaki, anti-kemapanan adalah suatu pandangan bahwa tidak ada sistem atau tradisi yang benar-benar mapan di dunia ini. Semua selalu harus diperbaharui. Tradisi dan sistem yang abadi adalah yang bisa melebur dalam siklus perubahan itu sendiri. Para filsuf gunung dan belantara melihat anti-kemapanan mirip dengan post-modernisme, yakni kritik terhadap modernisme yang dianggap telah mapan. Post-modernisme menolak segala bentuk pembakuan aturan. Hal ini disebabkan keyakinan bahwa pembakuan akan menghalangi inovasi dan perubahan (revolusi).

Anti-kemapanan secara frontal dan ini yang banyak dimaknai penganutnya, adalah sikap atau pemberontakan (rebel) atau juga rusuh (riot) terhadap hal-hal yang bersifat materi atau kekayaan berlebih (glamouritas), tanpa perduli nasib orang-orang minoritas atau orang miskin (vulnerable group), sok pamer dan menginjak hak orang miskin karena mereka lebih kaya dari orang-orang disekitarnya. Anti-kemapapan juga penolakan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dari para pemegang otoritas (pemerintah, organisasi kemasyarakatan yang mapan). Hal inilah yang mendasari munculnya slogan “Fuck the Authority”. Anti kemapanan itu ada dan lahir untuk membuat hal-hal tersebut terlihat lebih alamiah, sederhana (no rules) dan hidup apa adanya saja meski tidak ada larangan punya apa saja.

Banyak pendaki pendaki yang pada akhirnya menyimpulkan dan menganut definisi anti-kemapanan sebagai sebuah ideologi akan kebebasan dan menolak dimapankan oleh sebuah sistem, dikungkum oleh takhayul dan diikat oleh sebuah aturan tanpa siklus perbaikan dan transparansi. Namun bukan berarti pendaki tak punya aturan, disini pendaki bebas menentukan jalan hidupnya, bebas membuat aturan untuk diri sendiri asal tak merampas hak individu lainnya dan kode etik yang ada.

Pendaki berhak mengatur hidupnya sendiri tanpa harus diatur oleh orang lain dan aturan hidup pendaki tidak melanggar atau merampas hak-hak hidup orang lain. Anti-kemapanan menjadi siklus proses dimana pendaki menolak semua aturan, membebaskan diri dari segala peraturan yang mengikat, dan bebas menentukan Jalan hidup.

Pendaki meluangkan waktu untuk menjauh dari kota. Membuang jauh sikap ‘sok sibuk’, mengabaikan prinsip ‘waktu luang begitu mahal’, dan menghapus paham ‘time is money’ dengan berbagi waktu dengan alam. Disini pendaki ingin menyelipkan semacam semangat kesetaraan di dalam kehidupan. Kehidupan yang sering digunakan orang-orang kaya untuk memamerkan kemewahannya, juga harus bisa menjadi ruang bagi rakyat jelata. Dan itu dicontohkan oleh pendaki ketika menjauh dari kota.

Berikut ini beberapa contoh bentuk anti-kemapanan yang diinisiasi pendaki, rakyat dan tokoh yang bisa menjadi inspirasi dari bentuk perlawanan terhadap penindasan, ketidakadilan, keabsurdan dan pemaksaan/pembakuan terhadap kebenaran, sistem dan tradisi.

1.   Pendaki begitu sinis terhadap mereka yang tampil parlente di kota. Mereka yang berpenampilan klimis untuk menutupi kebusukan hati. Penampilan untuk mengaburkan tindakan korupsi dan manipulasi hasil pembangunan serta ketidakpedulian terhadap nasib rakyat jelata. Dan pendaki pergi ke gunung dengan celana robek dan bolong serta dipenuhi banyak emblem dari nama gunung dan organisasi serta tampil awur-awuran. Di gunung para pendaki begitu akrab dengan masyarakatnya. Mengabarkan kebijakan dan kemajuan bangsa. Menyemangati rakyat di kaki-kaki gunung meski kehidupan mereka seharusnya bisa lebih sejahtera bila tidak ada garong-garong “koruptor” yang menghisap dana pembangunan untuk wilayah pelosok. Para pendaki menyibukkan waktu untuk menimba kearifan lokal untuk dibawa dan diterapkan di kota. Mentok penampilan rapi pendaki dengan baju flannel dan seragam lapangan (PDL).

2.     Pada masa kolonialisme, rakyat yang terjajah memakai celana cingkrang hampir menyentuh lutut sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah yang memakai celana sampai mata kaki. Mereka yang pria banyak yang bertelanjang dada atau memakai baju yang tidak dikancingkan untuk menunjukkan bahwa mereka masih punya jiwa, berbeda dengan para penjajah dan para antek-anteknya yang rapi dengan baju-baju berlapis yang menutup dada dan tak memberi ruang rongga hatinya untuk dimasuki rasa kemanusiaan.

3.    Di India dan Afrika, Mahatma Gandhi menyerukan dan mengajarkan ahimsa (perlawanan tanpa kekerasan) untuk mengusir penjajah dan mewujudkan kemandirian bangsa yang sedang terjajah. Selain itu Gandhi juga mencontohkan satyagraha untuk mereka yang ingin teguh dalam mencari kebenaran tanpa terjebak dalam kebenaran nisbi dan tak berkompromi dengan pemilik kebenaran absolut (penjajah) sebagai sarana ahimsa. Memerintah diri sendiri, mengatur keluarga sendiri dan memenuhi keperluan sendiri untuk mewujudkan kemandirian melalui swadesi dan tentunya suatu ketika pengklaim kebenaran, sistem dan tradisi baku harus diberi pelajaran dengan hartal atau mogok nasional untuk menyadarkan mereka bahwa kebenaran, sistem dan tradisi harus disepakati bersama akan pemaknaan dan pengimplementasiannya dalam kehidupan bermasyarakat.

Jadi tetaplah kritis wahai para pendaki!!! Jangan pernah berhenti untuk tidak merasa mapan. Karena anti kemapanan itu adalah penyelamat kita dari sergapan ketertinggalan dan keabsurdan.

Akankah ada suatu masa malah pendaki yang akan melestarikan paham kemapanan?