Rabu, 10 Desember 2008

## Makhluk Tuhan Yang Paling Ekstrem ##

## Makhluk Tuhan Yang Paling Ekstrem ##

Dalam petualangan ini yang dimaksud makhluk Tuhan yang paling Ekstrem adalah kami:
1. Gunung Raung jalur Kalibaru
2. Saiful 'Sunyi'
3. Nyong 'Regas's'
4. Joyo 'Regas's'

Sebuah perjalanan adalah rangkaian pembuktian. Bukti diri, bukti alam dan bukti takdir Tuhan. Bukti diri terlihat dari penyelesaian masalah yang ditemui. Bukti alam ditunjukkan dari keragaman kendala. Dan bukti takdir Tuhan tersurat dari apa yang sama sekali tidak terduga sebelumnya.

Perjalanan mendaki Raung pada awal Nopember 2008 sangat mencerminkan rangkaian pembuktian tersebut. Ketiga bukti yang dipahami pendaki ini menginspirasi tulisan ini.

#Raung, Makhluk Tuhan Yang Paling Ekstrem
Tidak dapat dipungkiri bahwa Gunung Raung merupakan salah satu gunung dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi untuk ditaklukan. Apalagi sejak dibukanya jalur pendakian dari Kalibaru Banyuwangi semakin menasbihkan eksistensi Gunung Raung sebagai salah satu makhluk (baca: gunung)Tuhan yang paling ekstrem. Oleh karena itu masih terhitung sedikit pendaki Gunung Raung yang mencoba keragaman petualangan lain yang ditawarkan Gunung Raung dari jalur ini. Ambil contoh turun ke lautan pasir dan naik ke bibir kawah. Jangankan turun ke kawah, untuk mencapai Puncak Sejati saja sudah benar-benar menguras tenaga, mental dan waktu serta logistik sehingga kondisi tersebut membuat kebanggaan pendaki hanya pada Puncak Sejati (3344 m dpl). Dan ini wajar!

#Akulah Yang Paling Edan
Manusia adalah makhluk yang sulit untuk diukur. Apalagi mengukur mental seseorang maka akan ditemukan data dengan tingkat fluktuasi yang sangat mencolok. Namun untuk pencilan atas (up skewness) sangat sedikit sekali ditemukan. Begitupun mental para pendaki, hanya beberapa pendaki saja yang berupaya terus mencari keragaman petualangan dalam melakukan kegiatan gunung-hutan. Meski tidak ada data pasti berapa pendaki yang pernah melakukan pendakian sendirian, memanjat dan menuruni tebing tanpa safety gear dan sebagainya, namun perbincangan dari mulut ke mulut mengenai aktivitas tersebut masih sedikit.

Pendakian ke Raung di awal bulan Nopember 2008 ini sebagai penebus kekecewaan penulis karena tidak jadi mengikuti TWKM-Temu Wicara Kenal Medan PATAGA yang diselenggarakan tanggal 18 - 23 September 2008. Kekecewaan tersebut disebabkan karena penulis tidak bisa melihat langsung situasi yang terjadi sebagai bahan pembelajaran penulis dan tentunya ingin mendapatkan referensi (baca: ilmu) dari para pendaki lain yang kabarnya adalah orang lama di kancah persilatan pendakian gunung-hutan. Celaka tiga belas, penulis hanya bisa melihat rekaman dan foto-foto dokumentasi serta cerita dari kegiatan itu, ihiks!

Target pendakian di awal bulan Nopember ini adalah mencapai puncak sejati pada hari kedua dan mendirikan tenda disana sebagai bukti terdapat peningkatan dibandingkan pendakian pertama penulis pada pertengahan bulan Mei 2008. Pendirian tenda di Puncak Sejati belum pernah dilakukan pendaki lain sehingga kesan yang diperoleh akan sangat mendalam dan merupakan memori indah ketika penulis pensiun dari aktivitas gunung-hutan pada saatnya nanti.

Tanggal 1 Nopember 2008, di pagi (Pukul 07.30 WIB) yang sendu kami bertiga meluncur dengan kecepatan sedang dari Pos 1 menuju Pos 2. Di tengah perjalan sempat bermain dengan puluhan Pacet 'Kopasus' yang mencoba memperlancar peredaran darah kami, tepat pukul 09.15 WIB kami sampai di Pos 2. Setelah mengkondisikan suasana, pukul 09.45 WIB kami meluncur ke Pos 3. Malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diminta setelah melewati separuh perjalanan menuju Pos 3 hujan turun dengan deras, tepat menjelang sampai di jalur pohon tumbang. Ijtihad kami mengatakan untuk menunggu hujan, siapa tahu cepat reda. Namun yang terjadi hujan tidak juga berhenti. Diam basah, jalan pun juga basah (kami malas membuka tenda atau covernya dan memakai jas hujan hehehee). Dua pilihan yang sama-sama basah maka kami pun memutuskan berjalan dalam suasana hujan ini. Tepat di sebuah Pos Bayangan sebelum mencapai Pos 3 ketahanan tubuh mulai kendor. Tubuh kami mulai menggigil kedinginan, bobot tas kami terus bertambah seiring air yang masuk ke dalamnya. Sempat terlintas untuk buat tenda di Pos ini namun aku memutuskan untuk terus berjalan menuju Pos 3 karena gelap masih sangat lama. Tepat pukul 02.30 kami sampai di Pos 3 dan segera membuka tenda karena masih saja turun air langit ditambah kabut tebal yang menyelimuti suasana. Lekas-lekas seluruh pakaian yang basah kami tanggalkan dan mengurung diri di dalam tenda dengan celana dalam basah dan dalam dekapan sleeping bag (SB) serta segelas kopi hitam manis. Ah nikmatnya!

Pagi hari di tanggal 2 Nopember 2008 kami agak nyantai menunggu jemuran agar bisa diterima di kulit badan karena tidak mungkin bisa lekas kering. Pukul 08.00 WIB kami start menuju Pos 4, rute favoritku! Pukul 11.30 WIB kami sampai di Pos 4,karena gerimis kelihatannya berpotensi menjadi hujan maka cover tenda kami bentangkan sebagai tempat berteduh sementara kami istirahat sambil merebus air. Setelah mengkondisikan Pos 4 yang banyak sampah tinggalan TWKM pukul 13.00 WIB kami meluncur melewati batas vegetasi menuju Kaldera Raung yang menyajikan tantangan bagi orang yang paling edan seperti aku, eh kami! Kami bertiga sudah kesetanan.

Perjalanan ini begitu menyenangkan, meski dengan suasana mencekam-kabut tebal menutupi jarak pandang, dan rute maut-kami masih terus saja saling melempar tawa canda dan bergantian mengambil gambar ekstrem. Semakin ekstrem semakin kami ceria! Apalagi ketika harus melewati salah satu titik terawan sebelum ke Puncak 17 dan menuruni turunan setelah puncak 17 hati ini semakin bersemangat.

Di sebuah aliran air hujan setelah menuruni lereng terjal kami menemukan air sehingga kami berupaya mengumpulkan air untuk pendaki-pendaki berikutnya yang kemungkinan besar kehabisan stok air. Cukup lama kami mengumpulkan air sekitar 10 botol Aqua ukuran 1500 mL dan aku sendiri menyempatkan diri gosok gigi dan cuci muka untuk membuat kenangan bahwa ada orang yang gosok gigi dan cuci muka di Kaldera Raung, suatu cerita langka!

Akhirnya pukul 15.30 WIB kami mendirikan tenda di Puncak Tusuk Gigi-perjalanan 5 menit ke Puncak Sejati. Kami masih melihat situasi karena ini pertama kalinya Puncak Tusuk Gigi didirikan tenda jadi belum ada referensi mengenai tingkat kelayakan, keamanan untuk dijadikan tempat bermalam, ih ngeri! Kami mengkhawatirkan kecepatan angin dan hujan lebat serta longsornya bebatuan! Dan memang benar, kabut tebal dan hujan mengguyur meski yang lama adalah gerimisnya dan itu cukup membuat kami khawatir.

3 Nopember 2009 menyajikan pagi yang penuh dengan kabut pekat. Seperempat jam di luar tenda sudah cukup untuk membuat jaket Nyong basah. Sinar Matahari tak mampu menembus putih dan pekatnya kabut, meski begitu kami tetap memaksakan diri untuk melihat puncak sejati (pukul 06.00 WIB) dan tidak lama kemudian turun lagi masuk ke dalam tenda. Untuk yang kedua kalinya kami ke Puncak Sejati lagi setelah kabut tidak setebal sejam yang lalu.


#Siapa Aku?
Kami menghabiskan waktu dengan perbincangan mengenai skenario berikutnya yang kami inginkan. Pertama-tama ide yang muncul adalah membawa tenda ke Puncak Sejati karena ada tempat yang kalau diberikan sentuhan sedemikian rupa bisa untuk tempat mendirikan tenda. Usai itu terus cabut pulang-turun gunung. AKhirnya kami balik dan ambil tenda di Puncak Tusuk Gigi dan memberikan sentuhan 'Ketok magic' di sebuah tempat tepat di atas tebing Raung baratnya penanda Puncak Sejati yang dengan jelas kami bisa menyaksikan kawah Raung dari situ. Tidak butuh waktu lama kerja bakti kami telah menghasilkan tempat yang luar biasa, berdirilah tenda sejarah ini! Keinginan berikutnya, ketika peresmian tempat camp telah selesai dengan nama JOSIYONG-Joyo Saiful dan Nyong, maka Joyo melakukan hal yang sungguh membuatku kagum dengan menuruni tebing tepat di bawah penanda Puncak Sejati untuk mendapatkan gambar tenda yang nangkring di sebuah tebing yang di tinggi dan curam.

Aku adalah aku dan ketika aku bukanlah aku maka ke-Aku-anku akan lenyap sehingga tidak ada akar, dahan, ranting, dan daun beserta bunga dan biji (buah). Yang ada hanyalah pohon! Nyong menyibukkan diri dengan menyiapkan tempat pendirian tenda yang lain (untuk pendaki berikutnya yang datang dengan dua buah tenda) dan Joyo terus menganalisa kemungkinan adanya jalur menuju ke lautan pasir. Sedangkan aku terus tenggelam dalam nyamannya suasana Puncak Sejati yang begitu indah dan menakjubkan-langit terang, angin semilir, awan berarak dan dapur/pabrik kawah yang terus mengepul-petunjuk adanya kontinyuitas kegiatan produksi gas!

Di sela-sela lamunanku, Joyo terus mengusik dengan permintaan untuk melihat jalur menuju lautan pasir. "Kalau ada ya syukur, tapi jika tidak ketemu ya kita balik lagi, gimana?" pintanya yang terus kucuekin!

Setiap melihat ke bawah-lautan pasir, segara wedi-pikiranku mengatakan hanya hayalan saja yang bisa sampai ke sana apalagi peralatan tidak ada dan kondisi logistik sungguh memperihatinkan-tinggal satu setengah bungkus roti dan kopi susu untuk sekali sruput! Memang planningnya hari ini kami pulang (skenario pendakian, logistik untuk 3 hari). Andaikan jika beruntung bisa sampai ke lautan pasir, apakah yakin kita bisa pulang selamat. Terdapat banyak bahaya mengancam: hujan yang beresiko terjadi longsor besar-besaran, kepleset dan jatuh ke jurang bebatuan, tersedot pasir hidup, kena semburan gas beracun kawah dan kekahawatiran lain. Ah, ini ide gila!

Ku lihat Nyong tenggelam dalam kegiatan menyiapkan tempat tenda yang lain. Ku duduk dan memandang ke arah lautan pasir dan Kawah Raung. Tiba-tiba ku lihat wajah yang tersenyum ramah seakan ingin menyambut jika aku datang dan suara hatiku berkata, "Berangkatlah, kapan lagi engkau akan menemukan dirimu?".

Seketika aku bangkit, mengambil tas kecilku dan berseru kepada Nyong untuk meninggalkan kegiatannya untuk segera berangkat ke Kawah Raung dan ku lihat Joyo tersenyum penuh arti keyakinan dan keberhasilan. Waktu itu pukul 10.00 WIB.

Masih lekat dalam ingatanku, aku berlari menyapu tebing dan melompati puncak demi puncak dan ketika antar puncak terputus maka kami menuruni tebing yang curam di satu sisi dan di sisi lain mendaki sampai ke puncak lagi untuk memastikan rute. Begitu terus berulang-ulang sampai kami melihat aliran longsoran bebatuan yang kami yakini bisa menerima bobot tubuh kami ketika menuruninya.

Oh, akulah makhluk Tuhan yang paling edan, makhluk Tuhan yang paling ekstrem. Aku mengalahkan diriku sendiri. Aku menghancurkan pintu ketakutanku. Pecundang itu telah lenyap dari permukaan bumi dan kini ia sedang menikmati kejayaannya sebagai Pecinta Alam Sunyi Sejati yang tidak mempedulikan perih, linunya sendi, jaremnya kaki dan kramnya perut serta pusingnya kepala ketika menuruni jurang yang lebih dari 500 meter ini.

#Hati dan Nurani: Kontemplasi
Dalam sebuah perbincangan mengenai berbagai hal, Cak Huda mengkonfrontasikan pendapatnya mengenai hati dan nurani. Rupanya beliau tertarik dengan muara konsep sebelum meperoleh kebijaksanaan sejati maka kunci yang harus dipegang adalah hati dan nurani. Untuk mendapatkan hati dan nurani yang sempurna maka diperlukan agama, filsafat, watak, tabiat, prinsip, doktirn, dogma dan sebagainya. Akan tetapi kesemuanya itu tidak memberikan garansi akan dipetiknya buah berupa hati dan nurani yang sempurna (insan kamil). Sebenarnya dikotomi hati dan nurani tidak diperlukan lagi kalau kesadaran telah menyatu dalam setiap pikiran, ucapan dan perbuatan. Namun dikotomi ini diperlukan semata-mata untuk memperjelas dan mempermudah pemahaman.

Hati sangat berkaitan dengan kesadaran ke dalam. Artinya kesempurnaan kerajaan spiritual adalah tolok ukur kesadaran ke dalam. Sedangkan nurani berkaitan dengan kesadaran ke luar. Maksudnya terjaganya muamalah sehingga kedewasaan sosial tercapai. Dengan kata lain kesuksesan kerajaan dunia dimana meski jasad memiliki dunia tetapi hati tidak terikat padanya dan jika tidak memiliki kerajaan dunia hati tidak rindu dendam.

Oh, Ya Allah 'Azza wa jalla berikanlah kekuatan untuk mengamalkan pemahaman ini!

Pukul 12.30 akhirnya kami telah berjalan riang di tengah lautan pasir. Setelah aku sujud syukur dan memasukkan nur sanjungan hati hanya kepada Allah subhanallahu ta'ala kami pun beranjak menuju bibir Kawah Raung.

Maha Suci Allah dengan segala kehebatan-Nya. Di depan kami menganga sebuah sumur Maha Besar dengan jari-jari (r) lebih dari 250 m (estimasi). Dengan dasar sumur yang sulit untuk dilihat dengan mata biasa meluncur asap dan gas dengan kecepatan tinggi membuat gentar tubuh ini. Jepretan kamera tak mampu memberikan hasil gambar yang diinginkan akhirnya kami mendirikan bendera di bibir kawah dan merekam tantangan untuk pendaki lain agar melihat kebesaran Tuhan ini. Real!


Selasa, 14 Oktober 2008

Rest in peace

Hari demi hari terus berganti. Seperti aliran sungai di sepanjang punggungan raung
ketika ku mendaki di senja itu. Senja Sandikala. Awal ihwal perjalanan para dedemit.
Terbukanya lembah para lelembut.

Sepanjang perjalanan itu aku terus mengucapkan sumpah serapah bahwa tiada yang dapat
menghentikan perjalanan ini. Kakiku telah mengeras. Pundakku telah membatu. Tenagaku
seperti gajah sewu. Aku lupa janji untuk pulang. Menemuimu yang menunggu.

Kedamaian telah kutemukan. Hanya punggungan dan tebing yang menyemarakkan lamunanku.
Hanya puncak dan puncak yang mampu membuatku menjadi lelaki. Kematian tidak terhiraukan.
Gejala sakit tidak terasakan. Aku menjadi lelaki rimba. Pecinta alam 'Sunyi". Puncak abadi.
Tempat para Dewa berkelakar.

Aku malu berada dalam hidup anti klimaks. Kebanggaanku ada pada cerita derita. Lembah sunyi.
Tempat yang tepat untuk meletakkan punggung ini. Tentunya pada rerumputan yang hijau.
Tebing hening. Tempat menanggalkan keraguan dan ketakutanku. Tentunya pada bebatuan putih.
Menahun. Purba.

Renungan Ramadan 1429 H

Bismillah!
Mengapa setiap kejadian selalu memberikan pelajaran bagi makhluk yang berpikir?
Karena makhluk yang berpikir adalah makhluk terbaik.

Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Teliti. Tiada satupun yang terlewat dari segala perhitunganNya.
Kesalahan besar bagi penganggap segala peristiwa adalah kumpulan serpihan-serpihan kejadian
yang berupa bentuk kebetulan. Pendapat yang diprakarsai penganut evolusi Darwin laknattullah 'alaih.

Mengapa hidupku seperti ini? Setiap detik waktu kuhabiskan dalam lamunan pencarian makna hidup.
Segala peristiwa yang bertautan beraturan maupun acak sungguh menggerakkan nurani untuk selalu beranalisis.
Tidak terhitung segala yang tiba kemudian beranjak terlupa sehingga tepatlah jika aku adalah lebih hina
dari keledai. Tak mampu mengambil hikmah perjalanan hidup.

Sudah menjadi iradahNya manusia akan selalu dijejali dengan permasalahan. Setiap dimensi ruang dan waktu
adalah manifestasi dari segala permasalahan dengan sudut pandang manusia masing-masing. Layaklah jika otak
ini begitu tumpul karena segala data yang tersaji tak mampu merangkum pengetahuan secara menyeluruh.
Aku tetap aku 25 tahun yang lalu (24 Desember 1982).

Ampunilah aku Tuhan!
Ramadan kali ini pun tak mampu mentransformasi kehambaanku dan kemanusiaanku. Hamba ini masih digelayuti
kecongkakan dan keangkuhan setiap melihat ciptaanMu yang lain. Mata ini begitu tajam menyaksikan itu semua.
Senyuman sinis selalu menghiasi wajah-wajah keseharianku. Sungguh aku adalah kawan sejati Iblis laknattullah 'alaih.
Kabar yang beredar. Aroma yang berembus. Bisikan yang menyalakan hasrat. Semua keinderaan melahirkan persepsi
negatif terhadap segala persoalan. Yang dermawan tak lebih baik dari si kikir. Yang berilmu tak berubah jauh
dari pada yang sedikit wawasannya.

Suatu ketika aku membaca dan aku pun terenyuh oleh realita bacaan itu.
Pada waktu tertentu aku melihat dokumentasi dan hatiku hancur oleh kesewenangan takdir hidup.
Hari ini aku merasa geram dan jengkel terhadap segala yang menyertai perjalananku.
Ketamakan yang kubenci. Kekikiran yang selalu kucaci. Menganugerahkan aku jiwa kepengecutan.
Pandir aku jadinya. Hanya mengkritik. Lebih sering mencemooh dan menggunjing atas tindakan seseorang.
Itu membuatku semakin jauh dari fitrah lahir batinku yang suci dan penuh tanggung jawab.
Aku heran dan terus bertanya apa gerangan ini!

No one in my mind

Aku menatap segala. Pikiran memproses. Ingatan merekam. Hati menyimpan.
Andai ada dan tiada membentuk scene tersendiri tentu aku akan berpaling padanya.
Andai benci dan cinta bersatu dalam aliansi kebebasan pasti aku akan bersamanya.
Dualisme kehidupan selalu berdiri sendiri-sendiri namun tidak pernah terpisahkan.
Mengikuti apa yang telah digariskan Tuhan.
Kebimbangan menggelayuti sehingga hanya pencarian dan pencarian saja yang mampu
mengobati.
Tulang-tulangku remuk. Otot dan sendiku terurai dari jalinan fungsinya.
Namun pencarian hanya bisa berhenti jika telah menemu.
Aku mencari sampai menemu.
Mencari sesuatu yang belum tersimpan dihatiku.
Mencari sesuatu yang belum terekam dalam ingatanku.
Mencari sesuatu yang belum terproses oleh pikiranku.
Dan mencari sesuatu yang belum pernah terlihat oleh mataku.
Namun bibirku telah menyebut-nyebut-Nya. Lidahku terus-terusan membanggakan-Nya.
Air liurku sampai kering tiada sisa.

Keridlaan-Nya. Tuhanku.

Nafsu

Memilih adalah ulah nafsu, karena nafsu
selalu menghendaki kepuasaan, kesenangan, kebanggaan, identitas diri, pembengkakan dari si
aku. Tentu saja kita dalam kehidupan ini mempunyai sesuatu, baik mempunyai orang lain
sebagai keluarga, sebagai isteri atau suami, sebagai anak-anak, sanak keluarga, sahabat atau
harta benda dan kedudukan. Akan tetapi, Mempunyai bukan dalam arti kata Memiliki
Mempunyai secara lahiriah, tidak memiliki secara batiniah. Batin haruslah bebas kalau kita
tidak ingin dilanda duka. Batin harus mengerti dengan penuh keyakinan bahwa sengala
sesuatu adalah milik Tuhan! Bahkan tubuh kita sendiri bukanlah milik kita, sekali waktu akan
rusak dan binasa.

God manifestation

God manifestation yang dimaksud adalah segala hal yang ada, yang menyentuh
panca indera, merupakan manifestasi dari Tuhan sehingga tiada kata lupa,
terabaikan, tidak bersyukur, dan tiada hari tanpa sanjungan kepada-Nya.
Merupakan suatu keniscayaan jika manusia tidak mendapatkan manifestasi Tuhan,
hanya saja tidak terpungkiri bahwa manusia memiliki selera dalam pencarian,
cita rasa dalam menikmati, dan seni dalam mendapatkan sesuatu.
Termasuk hamba yang hina dina ini. Pengalaman, teori, dan berbagai
mix development mengantarkan hamba pada kesimpulan bahwa alam adalah
manifestasi Tuhan yang paling kuat dan hanya petualanganlah yang bisa menyentuh-Nya.
Tentunya dengan hati yang bersih semata beribadah pada-Nya (ikhlashunniyah).

Perjalanan ke-27 Ramadan 1429 H di Penanggungan (Bagian 2)

Prolog
Puasa memasuki minggu kedua teman-teman pendaki dari Singojuruh Banyuwangi datang berkunjung.
Maksud dan tujuan kedatangan kawan-kawan tersebut selain bergantian saling mengunjungi juga untuk mencari beberapa
barang elektronik. Setelah tiga hari berkeliling pasar-pasar surabaya baik tradisional maupun yang modern akhirnya
kawan-kawan Banyuwangi mengutarakan maksud untuk kembali pulang. Agar kunjungan ini memiliki kesan mendalam
seperti ketika penulis datang berkunjung ke Banyuwangi, penulis menawarkan untuk mendaki gunung dengan komitmen
mempertahankan ibadah puasa meski dihantam haus hebat di gunung nanti. Kawan-kawan Banyuwangi menyambut dengan
antusias tetapi karena kesibukan atau hal lain yang penulis tidak ketahui kawan-kawan Banyuwangi tidak bersedia.

Cinta sejati identik dengan cinta buta. Pepatah mengatakan kalau sudah cinta empedu seperti madu dan derita adalah
kenikmatan tiada tara. Sampai-sampai kita mengenal istilah cinta tak bersyarat, cinta mati dan cinta gila.
Begitulah cinta penulis kepada gunung.

Kembali ke pendakian Penanggungan!
Setelah kita selesai menunaikan ibadah shalat Isya dan shalat Tarawih, berjalanlah kita setapak-demi setapak.
Sakit ringan yang bersemayam selama 2 hari ini membuat penampilan penulis tidak maksimal dan penulis yakin
kawan-kawan yang lain pasti merasa heran dengan keadaan yang tidak biasa ini, tapi sudahlah bisa bersama
dalam perumusan dan pencarian hikmah di tengah kawan-kawan terbaik penulis adalah anugerah Allah SWT no. 1.

Setelah mempertahankan dan menahan segala keputusasaan serta bergelut dengan tanjakan selama 5 jam sampailah
kita di puncak penanggungan. Alhamdulillah, penulis menyanjung Tuhan Maha Agung yang telah memberikan kesempatan
berharga nan langka. Mendaki di bulan puasa.

Harapan turunnya Lailatul Qadar di malam ini memenuhi hati. Perut terasa kaku dan sedikit kembung pertanda angin
datang memaksa. Kepala dengan tiba-tiba disergap pening meski tak tersampaikan oleh lidah sehingga tidak ada telinga
yang mendengar. Namun penulis tidak peduli. Terang malam ini seakan-akan penduduk langit sedang sibuk mempersiapkan
sesuatu yang Besar dan Agung. Hajat besar yang teramat menyibukkan sehingga terlihat beberapa bintang jatuh.
Ah, indah dan syahdu sekali malam ini. Kemudian dingin membuyarkan ketahanan tubuh yang lemah ini.

Hendik, Indra, Gunawan, Hidayat dan Duta menghabiskan malam di dalam gua sebelah utara. Sedangkan penulis dan kawan
yang lain mencoba mengukur diri dengan berjejer di alam terbuka, puncak Penanggungan. Kemudian dingin membuyarkan
harapan indah ini. Di pertiga malam terakhir Om Jawul entah menyendiri dimana yang kuketahui aku dibelenggu
oleh ketidakberdayaan. Alam sangat adil dan selalu jujur kepada semua yang mendatanginya. Itulah kenapa aku
selalu membanggakannya dalam setiap pembicaraanku.

Kuakui bahwa kesehatan dan keperkasaan ada dalam genggaman Allah SWT. Sekarang, kesehatan dan keperkasaan yang ku
banggakan di pendakian-pendakian terdahulu musnah. Aku benar-benar diuji. Semoga aku adalah makhluk teruji.

Perjalanan ke-27 Ramadan 1429 H di Penanggungan (Bagian 1)

Kegelisahan yang muncul di dalam hati merupakan suatu kewajaran dalam mengarungi variasi kehidupan.
Tidak terkecuali dalam melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan 1429 H ini, ingin rasanya menghabiskan
satu kali waktu di sebuah tempat yang sunyi lagi tinggi-puncak sebuah gunung.

Pertengahan Ramadan, penulis menerima sebuah pesan singkat dari seorang guru sekaligus kawan pendaki,
Mr Mamad, yang menanyakan apakah ada rencana penulis untuk menghabiskan satu kali waktu di gunung saat Ramadan ini.
Membaca pesan singkat tersebut penulis menangkap ini adalah stimulus dari Mr Mamad untuk mengajak penulis ke
gunung di Ramadan ini sehingga penulis membalas dengan balik bertanya kapan Mr Mamad ada rencana ke gunung.
Ternyata Mr Mamad tidak ada rencana ke gunung di Ramadan kali ini.

Saya mengerti keadaan Mr Mamad. Beliau disibukkan oleh rutinitas bengkel elektronik, namun kerinduan dan kecintaan
pada gunung tidak pernah terlupakan oleh rutinitas tersebut yang tentunya di kala Ramadan ini sedang
puncak-puncaknya. Oleh karena itu beliau ingin mencoba mengobati kerinduan dan menawarkan cinta tersebut melalui
cerita dari kawan yang telah menghabiskan satu kali waktu di gunung saat Ramadan ini.

"Setiap pecinta pasti akan bercengkerama dengan yang dicintai meski hanya sekali.
Sang perindu tentu akan bertemu dengan yang dimaksud meski hanya dalam mimpi".

Prinsip hidup ini begitu mengemuka bagi penulis. Perjalanan hidup penulis yang seperempat abad ini dipenuhi dengan
kecintaan terhadap gunung dan kerinduan terhadapnya ketika berpisah untuk kembali pada rutinitas hidup.

Akhir Ramadan penulis menerima pesan singkat dari guru dan kawan mendaki-Sang Pengurai Hikmah, Om Jawul.
Sebenarnya waktu yang ditawarkan di pesan singkat itu agak sulit untuk penulis penuhi karena penulis
harus pulang kampung sehari atau dua hari sebelum lebaran. Maklum di rumah hanya ada Bapak dan Ibu saja
(kakak sudah berumah tangga) sehingga penulis khawatir kedua orang tua akan protes karena momen Ramadan tidak
banyak waktu dengan penulis.

Malam ke-28 direncanakan di puncak Penanggungan, namun karena penulis tahu kesibukan Om Jawul di Kantor PLN Mojosari
dan awal Ramadan penulis telah pulang selama 2 hari maka penulis pun setuju. Tetapi 2 hari berikutnya Om Jawul
mengirim pesan singkat lagi bahwa sebaiknya malam ke-27 dan saya pun setuju.

Hadist Nabi SAW
Dari Muawiyah bin Abu Sufyan RA dari Nabi SAW, beliau bersabda tentang malam Lailatul Qadar: "Lailatul Qadar
itu ialah pada malam 27". Diriwayatkan oleh Abu Daud, dan yang rajih adalah mauquf. Dan telah berselisih tentang
menetapkan malam Lailatul Qadar itu hingga 40 qaul yang dicatat dari Fathul-Bary (Tarjamah Bulughul Maram).

Malam Lailatul Qadar, adalah suatu malam di mana do'a-do'a kita pasti dikabulkan, dan ibadah pada malam itu pahalanya
sama dengan ibadah 1.000 bulan.

Penulis berpikir alangkah baiknya momen langka ini juga dialami kawan-kawan yang lain, baik dari alumni Semeru 2008
atau kawan-kawan yang lain. Penulis pun mengirim pesan singkat pada kawan-kawan tersebut yang tentunya nomor
handphone-nya tersimpan di phonebook penulis.

Jadilah komposisi lengkap skuad pendakian berjumlah 12 personil:Om Jawul, Pak Nur, Mas Wadi, Saiful (Penulis),
Umam, Anton, Santo, Gunawan, Hendik, Indra, Duta, dan Hidayat.

Hikmah perjalanan
Om Jawul selalu menekankan tentang peningkatan keimanan dalam setiap kali pendakian. Dalam perspektif Om Jawul
hanya perjalanan dan menghabiskan beberapa waktu di gununglah yang bisa memberikan rangkaian stimulus kuat untuk
tidak pernah lupa dan berhenti memberikan sanjungan kepada Sang Maha Pencipta. Manifestasi yang benar-benar sempurna
dalam persepsi Om Jawul hanya bisa ditemukan di sini (gunung) meskipun disadari bahwa secara umum semua ciptaan
Allah SWT baik yang di air, daratan dan udara adalah sempurna adanya namun itulah persepsi-bersifat khas (pribadi)
dan tidak bisa disalahkan.

Masih menurut Om Jawul, produk diri yang berupa hati yang baik-lembut, peka (sosial) namun tegar secara mandiri
dapat dibentuk di gunung. Rangkaian produksi (input-proses-output) dapat diupayakan sendiri (prinsip kemandirian).
Kemandirian yang dimaksud adalah bahwa sangat tidak mungkin mencapai puncak tanpa menggunakan langkah sendiri
sehingga kesan yang tercipta lebih mendalam karena proses mulai hulu hingga hilir dijalani sendiri tanpa bantuan
orang lain. Suatu nilai penghargaan terhadap diri sendiri yang jarang diperoleh melalui aktivitas lain.

Proporsi

Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis,
dan sporadis, namun setiap elemennya adalah subsistem
keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. Menerima
kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil
apa pun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak
terbantahkan (Edensor, Andrea Hirata).

Diinterpretasikan dari pemikiran agung
Harun Yahya

Itulah proporsi. Jika dilihat secara parsial maka dalam jumlah besar akan berada dalam
kekecewaan namun ketika kita memahami secara simultan maka akan terlahir kebijakan
dari buhul-buhul hati ini. Karena grand total dari proporsi adalah angka 1.

Suatu saat tercipta sebuah cerita tentang seseorang yang 0,9 sepanjang hidupnya penuh dengan
kekalutan. Namun di suatu saat yang berbeda terdapat hal yang berlainan dimana kehidupan
seseorang dengan 0,1 kekalutan. Ini prinsip keseimbangan, hukum kekekalan dua sisi yang
hanya dapat dipahami melalui prinsip proporsi.

Subsistem-subsistem inilah yang ada dalam keteraturan kehendak Tuhan sehingga prinsip
kebetulan benar-benar pemahaman yang sangat keliru karena proporsi setiap kejadian telah
ditentukan oleh Sang Pencipta Yang Maha Teliti.

Namun Tuhan menciptakan ambiguitas terhadap makna proporsi. Proporsi diciptakan menjadi
kata yang penuh dengan ribuan sayap sehingga setiap pribadi akan memiliki persepsi
proporsi yang berlain dengan pribadi yang lain.

Tangis bisa representasi dari sedih dan senang
Tawa pun bisa mewakili perasaan yang terguncang
Kegilaan pun ternyata adalah puncak-puncak pemahaman hidup sehingga definisi-definisi hidup
begitu mudah terlahir melalui teriakan-teriakan gila
Dan proporsi berada dalam barisan terdepan

Cara pandang yang berbeda terhadap proporsi akan menciptakan suatu tindakan yang berlainan
pada masing-masing individu. Meski sejatinya proporsi selalu bermakna positif dan penuh sifat
konstruktif. Namun seringkali disikapi dengan cara negatif dan desdruktif (cenderung merusak
diri dan orang lain).

proporsi hidupku:
1. Kesedihan : 0,15
2. Kebahagiaan : 0,65
3. Kesunyian : 0,1
4. Keramaian : 0,1
proporsi yang ideal

Jumat, 19 September 2008