Minggu, 08 Desember 2013

Sebuah Nama Sebuah Kecintaan (Keegoisan)

Umumnya dari kita suka memberi nama pada tempat, sebutan pada teman dan tentunya memberi gelar pada diri sendiri meskipun telah memiliki nama resmi pemberian dari orang tua. Termasuk juga aku, sejak 10 tahun ini tertarik dengan sebutan atau panggilan yang berkaitan dengan kegemaran mendaki gunung dan merambah belantara.

Tulisan ini tidak akan membeber dasanama aku akan tetapi ingin menceritakan ujung dari semua itu yakni keegoisan aku dalam memberi nama anak.

Tiba-tiba saja terlintas ingatanku pada salah satu anggota PGB memberi nama anaknya dengan nama yang unik, yakni Survival. Padahal, sepertinya tidak cocok karena bahasa kurang pas dengan lidah Madura dan Jawa

Egois memang kita, memberi nama anak-anak kita dengan sesuatu yang kita senangi. Kita tak membayangkan kelak mereka menuntut kenapa Ayah memberiku nama “pekat kabut”, kok bapak kasih nama aku “puncak bayangan”, Pa… kok namaku Sagarmatha (menjadi judul film besutan anak negeri yang dibintangi Nadine), emang gak ada nama lain yang lebih indah. Nah…,semoga kita siap jawabannya. 

Sembari nyengir aku membayangkan jika kelak, anggota group Penikmat Gunung dan Belantara memberi nama anaknya: Rowo Embik, Lembah Kidang atau Jurang Kuali, semakin geli lagi jika nanti ada yang memberi nama anaknya Penikmat Gunung dan Belantara (PGB), pasti golongan darahnya bukan lagi O, B, A atau AB tapi golongan darahnya “GB”, salut kalau ada yang berani… 

Lantas bagaimana kita akan memanggil anak-anak kita. “Embik dan Pacet…, sini!, Jurang Kuali.. tolong bapak sebentar!, “Liman, sekolahmu gimana?. Bayangkan wajah anak-anak kita ketika di panggil. Padahal temen sebayanya punya nama yang beken dan keren, Arlita, Diva, Jelita, Angel.

Bayangkan lagi kalo anak-anak ditanya oleh guru mereka, “Siapa namamu bocah bagus?”, Namaku Angin Berhembus bu.”, pastilah gurunya geli dan membayangkan bapaknya yang kasih nama. Eh… kamu, namamu siapa! E….namaku Raung pak. Bayangkan lagi bagaimana mental anak-anak kita. 

Bagi rekan-rekan PGB yang masih membujang (baca: belum laku di pasaran jodoh), kelak kalau kasih nama anaknya sebaiknya dipikirkan jauh ke depan. Bagi yang sudah terlanjur berbanggalah karena tak ada yang menyamai nama anaknya. Seperti aku sendiri memberi nama anakku: Arjuna Restu Muhammad Tiwikrama. Nama ini karena kecintaan (keegoisan) aku pada Gunung Arjuna, Nabi dan Cerita Pewayangan.

NB:
Liman adalah nama salah satu puncak gunung Wilis, Rowo Embik adalah salah satu lokasi di gunung Argopuro, Jurang Kuali dan Lembah Kidang adalah salah satu lokasi di gunung Arjuno-Welirang.

Jumat, 06 Desember 2013

Pendakian Gunung Wilis

Sesungguhnya ‘’Dia’’ adalah diriku. Meski berbeda secara kasat mata namun sama dalam kesejatian manifestasi Tuhan. Gunung sejak dahulu adalah manifestasi yang selalu netral tak terkecuali Gunung Wilis.
Kami mendaki berlima. Om Djawoel, Heru, Santo, Ayub dan Aku, Lapendos.
Kami adalah tim yang bertemu dan terbentuk karena alam. Jadi visi, misi dan filosofi pendakian kami hampir saling bisa diketahui dan dimengerti oleh satu sama lain. Cerita dan hikmah pendakian kami tidak cukup semalam untuk membicarakannya. Dan komunikasi kami akhir-akhir ini menjurus pada misi pendakian yang tidak tidak melulu pada gunung dengan ketinggian di atas 3.000 mdpl. Kami ternyata membutuhkan variasi pendakian. Maka Gunung Wilis menjadi tujuan yang paling ideal. Kami berusaha ekstra untuk menyatukan jadwal pendakian ini dan pada tanggal 17 Juli 2009 jadilah kami mendaki Gunung Wilis pada malam yang gelap gulita dengan tanpa seorang pun dari kami yang pernah mendaki gunung ini. Pioneer.


Dari Kota Mojokerto kami naik bus ke Nganjuk. Dilanjutkan naik ojeg ke Rorokuning.
Perjalanan kaki di malam ini membuat kami bergerak dengan kecepatan sedang. Mengingat malam pekat dan rute yang membuat kami merasa aneh karena terlihat tidak dilalui orang dalam tempo yang cukup lama. Kami lama berada di jalur bamboo dan lebih lama lagi berada di punggungan dengan rerumputan yang telah menutupi jalur. Keliatannya jalur ini memang sudah ditutup hanya saja malam membuat kami tidak bisa menganalisa dengan tepat ketika ada di percabangan itu.
Dalam keadaan seperti ini energi tambahan-
Tiwikramaku muncul, menyibak rerumputan ini dan melaju untuk sampai di pucuk punggungan yang meyakinkan bahwa kita bertemu dengan percabangan yang benar. Kami mengambil ke arah kanan dan sampailah pada pos yang bernama Sekartaji dimana terdapat situs persemedian dan sumber air yang sangat jernih dan mengalir. Jam menunjukkan lebih dari tengah malam alias dini hari kami pun menghamparkan tenda dan mendirikannya sesegera mungkin. Setelah mengisi sedikit rongga perut terlelaplah kami dalam impian rupa puncak gunung Wilis yang sejak perjalanan tadi kita tunjuk dengan berbagai argumentasi yang meyakinkan. Tetapi nanti kemudian kita bersama tahu bahwa kita keliru.
***
Pagi ini begitu cerah. Kami ucapkan selamat pagi
pada Indonesia, Sang Pemilik Alam yang Indah ini dan khususnya alam wilis yang mempesonaku. Inilah sajian mata pagi ini. Hamparan rerumputan punggungan wilis menjadi ciri khas dari view gunung ini. Indah namun panas menjadi cepat merambat dan menyengat. Setelah mengisi energi dan menikmati semua yang ada di pagi ini kami bergegas merambat menempuh perjalanan muncak (summit attack) Gunung Wilis.
“Sekartaji yang cantik aku pergi sejenak ke atas buat melihat puncak yang juga turut mempesonamu”, ujarku dalam hati.
***
Biarlah berlalu apa yang seharusnya berlalu terkecuali kecintaanku pada gunung dan belantara. Sudahlah sudah pergi segala kepemilikanku tetapi jangan beranjak dari hati segala kekagumanku pada manifestasi
NYA ini. Aku yakin inilah pengambil seluruh hatiku dan membuatku sanggup menerima kenyataan bahwa segalanya akan berlalu.
Kami benar-benar dibuat kepanasan oleh sengatan mentari Wilis. Kami benar-benar tiada menduga namun perjalanan panjang siang ini akhirnya menemukan titik perhentiannya sebuah penanda puncak

dari puncak gunung Wilis akhirnya kami temukan. Terima kasih atas kesabaran dan ketangguhan.