Minggu, 08 Desember 2013

Sebuah Nama Sebuah Kecintaan (Keegoisan)

Umumnya dari kita suka memberi nama pada tempat, sebutan pada teman dan tentunya memberi gelar pada diri sendiri meskipun telah memiliki nama resmi pemberian dari orang tua. Termasuk juga aku, sejak 10 tahun ini tertarik dengan sebutan atau panggilan yang berkaitan dengan kegemaran mendaki gunung dan merambah belantara.

Tulisan ini tidak akan membeber dasanama aku akan tetapi ingin menceritakan ujung dari semua itu yakni keegoisan aku dalam memberi nama anak.

Tiba-tiba saja terlintas ingatanku pada salah satu anggota PGB memberi nama anaknya dengan nama yang unik, yakni Survival. Padahal, sepertinya tidak cocok karena bahasa kurang pas dengan lidah Madura dan Jawa

Egois memang kita, memberi nama anak-anak kita dengan sesuatu yang kita senangi. Kita tak membayangkan kelak mereka menuntut kenapa Ayah memberiku nama “pekat kabut”, kok bapak kasih nama aku “puncak bayangan”, Pa… kok namaku Sagarmatha (menjadi judul film besutan anak negeri yang dibintangi Nadine), emang gak ada nama lain yang lebih indah. Nah…,semoga kita siap jawabannya. 

Sembari nyengir aku membayangkan jika kelak, anggota group Penikmat Gunung dan Belantara memberi nama anaknya: Rowo Embik, Lembah Kidang atau Jurang Kuali, semakin geli lagi jika nanti ada yang memberi nama anaknya Penikmat Gunung dan Belantara (PGB), pasti golongan darahnya bukan lagi O, B, A atau AB tapi golongan darahnya “GB”, salut kalau ada yang berani… 

Lantas bagaimana kita akan memanggil anak-anak kita. “Embik dan Pacet…, sini!, Jurang Kuali.. tolong bapak sebentar!, “Liman, sekolahmu gimana?. Bayangkan wajah anak-anak kita ketika di panggil. Padahal temen sebayanya punya nama yang beken dan keren, Arlita, Diva, Jelita, Angel.

Bayangkan lagi kalo anak-anak ditanya oleh guru mereka, “Siapa namamu bocah bagus?”, Namaku Angin Berhembus bu.”, pastilah gurunya geli dan membayangkan bapaknya yang kasih nama. Eh… kamu, namamu siapa! E….namaku Raung pak. Bayangkan lagi bagaimana mental anak-anak kita. 

Bagi rekan-rekan PGB yang masih membujang (baca: belum laku di pasaran jodoh), kelak kalau kasih nama anaknya sebaiknya dipikirkan jauh ke depan. Bagi yang sudah terlanjur berbanggalah karena tak ada yang menyamai nama anaknya. Seperti aku sendiri memberi nama anakku: Arjuna Restu Muhammad Tiwikrama. Nama ini karena kecintaan (keegoisan) aku pada Gunung Arjuna, Nabi dan Cerita Pewayangan.

NB:
Liman adalah nama salah satu puncak gunung Wilis, Rowo Embik adalah salah satu lokasi di gunung Argopuro, Jurang Kuali dan Lembah Kidang adalah salah satu lokasi di gunung Arjuno-Welirang.

Jumat, 06 Desember 2013

Pendakian Gunung Wilis

Sesungguhnya ‘’Dia’’ adalah diriku. Meski berbeda secara kasat mata namun sama dalam kesejatian manifestasi Tuhan. Gunung sejak dahulu adalah manifestasi yang selalu netral tak terkecuali Gunung Wilis.
Kami mendaki berlima. Om Djawoel, Heru, Santo, Ayub dan Aku, Lapendos.
Kami adalah tim yang bertemu dan terbentuk karena alam. Jadi visi, misi dan filosofi pendakian kami hampir saling bisa diketahui dan dimengerti oleh satu sama lain. Cerita dan hikmah pendakian kami tidak cukup semalam untuk membicarakannya. Dan komunikasi kami akhir-akhir ini menjurus pada misi pendakian yang tidak tidak melulu pada gunung dengan ketinggian di atas 3.000 mdpl. Kami ternyata membutuhkan variasi pendakian. Maka Gunung Wilis menjadi tujuan yang paling ideal. Kami berusaha ekstra untuk menyatukan jadwal pendakian ini dan pada tanggal 17 Juli 2009 jadilah kami mendaki Gunung Wilis pada malam yang gelap gulita dengan tanpa seorang pun dari kami yang pernah mendaki gunung ini. Pioneer.


Dari Kota Mojokerto kami naik bus ke Nganjuk. Dilanjutkan naik ojeg ke Rorokuning.
Perjalanan kaki di malam ini membuat kami bergerak dengan kecepatan sedang. Mengingat malam pekat dan rute yang membuat kami merasa aneh karena terlihat tidak dilalui orang dalam tempo yang cukup lama. Kami lama berada di jalur bamboo dan lebih lama lagi berada di punggungan dengan rerumputan yang telah menutupi jalur. Keliatannya jalur ini memang sudah ditutup hanya saja malam membuat kami tidak bisa menganalisa dengan tepat ketika ada di percabangan itu.
Dalam keadaan seperti ini energi tambahan-
Tiwikramaku muncul, menyibak rerumputan ini dan melaju untuk sampai di pucuk punggungan yang meyakinkan bahwa kita bertemu dengan percabangan yang benar. Kami mengambil ke arah kanan dan sampailah pada pos yang bernama Sekartaji dimana terdapat situs persemedian dan sumber air yang sangat jernih dan mengalir. Jam menunjukkan lebih dari tengah malam alias dini hari kami pun menghamparkan tenda dan mendirikannya sesegera mungkin. Setelah mengisi sedikit rongga perut terlelaplah kami dalam impian rupa puncak gunung Wilis yang sejak perjalanan tadi kita tunjuk dengan berbagai argumentasi yang meyakinkan. Tetapi nanti kemudian kita bersama tahu bahwa kita keliru.
***
Pagi ini begitu cerah. Kami ucapkan selamat pagi
pada Indonesia, Sang Pemilik Alam yang Indah ini dan khususnya alam wilis yang mempesonaku. Inilah sajian mata pagi ini. Hamparan rerumputan punggungan wilis menjadi ciri khas dari view gunung ini. Indah namun panas menjadi cepat merambat dan menyengat. Setelah mengisi energi dan menikmati semua yang ada di pagi ini kami bergegas merambat menempuh perjalanan muncak (summit attack) Gunung Wilis.
“Sekartaji yang cantik aku pergi sejenak ke atas buat melihat puncak yang juga turut mempesonamu”, ujarku dalam hati.
***
Biarlah berlalu apa yang seharusnya berlalu terkecuali kecintaanku pada gunung dan belantara. Sudahlah sudah pergi segala kepemilikanku tetapi jangan beranjak dari hati segala kekagumanku pada manifestasi
NYA ini. Aku yakin inilah pengambil seluruh hatiku dan membuatku sanggup menerima kenyataan bahwa segalanya akan berlalu.
Kami benar-benar dibuat kepanasan oleh sengatan mentari Wilis. Kami benar-benar tiada menduga namun perjalanan panjang siang ini akhirnya menemukan titik perhentiannya sebuah penanda puncak

dari puncak gunung Wilis akhirnya kami temukan. Terima kasih atas kesabaran dan ketangguhan.
 


Kamis, 14 November 2013

Dialog dengan Pendaki Gunung Sufistik (PGS)

Penanya: Sejak kapan Anda mendaki gunung?

PGS: Sejak realitas tak mampu dijelaskan oleh panca indera. Sejak yang tersurat mendominasi dan membutakan yang tersirat.

Penanya: Mengapa Anda mendaki gunung?

PGS: mendaki gunung adalah salah satu suluk (jalan) untuk menggapai kesejatian. Meleburkan diri ke dalam Dia. Tiada lagi daun, akar, dahan dan buah. Lebur tiada yang nampak. Yang ada adalah Pohon.

Penanya: Siapa teman seperjalanan yang paling Anda inginkan ketika mendaki gunung?

PGS: Mereka-mereka yang bisa menunjukkan dan menemani sampai ke puncak spiritualitas. Pemahaman tertinggi bahwa semua ini hanya manifestasiNYA dan fana.

Penanya: Apa yang Anda siapkan sebelum mendaki gunung?

PGS: Keteguhan jiwa. Raga yang kokoh. Keril penyelamat. Waktu yang hening untuk berkhalwat. Pemahaman yang kuat: Bahwa takdir bisa dihindari untuk menuju ke takdir yang lain (baca: tidak memaksakan hasil/keinginan).

Penanya: Kapan Anda akan berhenti mendaki gunung?

PGS: Ketika Iblis menidurkanku dalam janji palsu bahwa aku telah sampai pada pencapaian yang belum pernah dilakukan manusia sebelumnya sehingga semua kewajiban boleh aku tinggalkan.

Minggu, 10 November 2013

Pendakian Penanggungan di Bulan Mei 2009

Mendaki bukan hanya untuk menaklukkan (pembuktian) tetapi kadangpula karena untuk menjalin silaturahim dengan kawan-kawan yang lain. Lama tidak bersama dalam pendakian dengan kawan-kawan yang sudah seperti saudara menjadikan alasan kenapa aku tidak perlu bertanya kemana dan akan berapa lama mendaki. Apakah sudah sering mendaki gunung tersebut atau berpikir dengan pertanyaan-pertanyaan yang tidak menjadi penting kalau sudah atas nama perkawanan.

Mendaki Gunung Penanggungan di awal Bulan Mei 2009 sebenarnya sangat melelahkan mengingat seminggu yang lalu aku baru selesai mendaki 4 puncak (Welirang, Kembar 1, Kembar 2 dan Arjuno). Namun pendakian kali ini untuk me-restore kembali kemurnian nuraniku karena pendakian ini bersama dengan Om Jawul-kawan sekaligus guru-dan pendaki
yang baru akan memulai pendakian pertamanya dimana sangat butuh berinteraksi dengan orang-orang yang telah banyak makan asam garam gunung dan belantara.

Jadilah Sabtu malam, 2 Mei 2009 kami berduabelas orang melintasi rute Tamiajeng menuju Puncak Penanggungan. Kemudian ketambahan 3 orang yang mengaku berasal dari Sidoarjo.

Suasana cerah secerah hati kami. Kerinduan untuk berbincang di sebuah perjalanan mendaki gunung
tengah dilangsungkan. Om Jawul bercerita pendakian ke Penanggungan 3 minggu yang lalu. Hendy bercerita pendakian ke Arjuno 2 minggu yang lalu. Dan aku bercerita seminggu yang lalu mendaki 4 Puncak: Welirang, Kembar 1, Kembar 2 dan Arjuno. Serta yang lain juga turut menyumbang cerita lainnya. Pendakian Penanggungan ini seakan tiada kehabisan kisah untuk diceritakan dan tentunya bagi kawan-kawan yang baru pertama mendaki situasi ini tentunya sangat mengasyikkan karena dongeng gunung yang masih hangat disajikan secara cuma-cuma untuk mereka nikmati.

Dua jam lebih kemudian sampailah kita di Gubuk. Lho
kok lebih 2 jam? Ya perjalanan ini agak lambat karena salah satu dari 3 kawan dari Sidoarjo yang baru bergabung adalah cewek. Tetapi itu bukan masalah bagi kami.

Seusai melepas lelah di Gubuk, perjalanan dilanjutkan melewati medan menanjak dan
licin jadi rawan terpleset. Tidak lama kemudian sampailah di Puncak Bayangan dimana terdapat puluhan pendaki lain yang telah tiba lebih dulu. Kami juga menghabiskan waktu untuk beristirahat di Puncak Bayangan.

Perjalan
an kembali dilanjutkan bersama rombongan yang telah lebih dulu tiba di Puncak Bayangan. Melewati tanjakan tanah berumput bencana itu terjadi. Di tengah duduk beristirahat Hendy kejatuhan batu tepat di bagian belakang kepala yang tak ayal membuat Hendy kelimpungan menahan rasa sakit. Ternyata kelompok lain yang lebih dulu ke atas kurang baik dalam menjejakkan kaki di batu. Setelah Hendy bisa melanjutkan perjalanan bencana berikutnya terjadi yakni Cherry kejatuhan batu yang lebih besar tepat di pahanya. Sejak kejatuhan batu tersebut otomatis masa depan Cherry suram sampai pulang ke rumah besok. Kenapa begitu, karena sejak kejatuhan batu itu kaki Cherry mengalami trauma otot yang serius sehingga mengakibatkan tidak bisa jalan normal dan ketika berjalan harus menahan rasa teramat sakit.

Setelah 2 jam sejak Cherry kejatuhan batu akhirnya tiba di Puncak Penanggungan sedangkan kawan yang lain telah tiba lebih dulu. Kami langsung mendirikan tenda mengingat malam telah dapat separuh yang berarti hawa dingin akan semakin menusuk. Melewatkan malam sebentar dengan makan malam dan berbincang sebentar dengan kawan-kawan yang lain sebelum kantuk menyerang dan terlelaplah untuk kemudian bangkit kembali sebelum matahari terbit tiba.

Minggu, 3 Mei 2009 kawan-kawan menyambut terbitnya matahari dengan antusias. Beruntung cuaca lagi cerah. Setelah mengabadikan momen dan sarapan kami pun bergegas packing untuk melakukan perjalanan turun lewat Jalur Jolotundo.

Sebelum turun kami memutar dulu mengelilingi puncak. Perjalanan turun lewat Jalur Jolontundo memang wajib waspada karena sangat curam dan licin sehingga rawan
terpleset jatuh. Untuk itu berkali-kali Om Jawul mengingatkan untuk selalu waspada dan tidak terburu-buru apalagi lagi sampai turun dengan cara berlari.

sejam lebih kemudian sampailah kami di Candi Sinta. Sebuah situs peninggalan masa lalu. Kami berlama-lama di Candi Putri. Dan kemudian berusaha mencapai Wisata Jolotundo secepat mungkin karena siang sangat menyengat.

Dalam catatan ini patut kuberikan apresiasi atas ketahanan Cherry selama perjalanan turun.
Meski terseok-seok menahan rasa sakit kaki akibat kejatuhan batu malam
sebelumnya tetapi tidak mengurangi semangat dan kemandirian dalam mendaki. Juga kawan-kawan yang lain yang kuyakini akan menjadi pendaki masa depan dan nantinya akan menceritakan banyak kisah pendakian hebat padaku ketika aku sudah tidak sanggup lagi melakukan pendakian hebat.

Diceritakan oleh
Saiful Darwi "
www.pendakirewel.blogspot.com"
Mereka yang ada dalam peristiwa ini:
Om Djawoel, Hendy, Laksa, Cherry, Dio, Agung, Alfian, Aan Firash, Mashudi, Willy Kuswanto, Heru

Senin, 04 November 2013

Gunung Semeru 17 Agustus 2009

Aku melihat sebuah perjalanan singkat namun cukup melelahkan dan harus dipaksakan demi sebuah pencapaian dan anggapan-Istiqomah 17-an ke Semeru. Prosedur rendah menjadi manusia di antara manusia. Mengukuhkan eksistensi dengan cara naif dan memuakkan. Menjadi pendaki nomor wahid.
16 Agustus 2009
Jam menunjukkan pukul 06.00 WIB saat kami berdua (Aku dan Santo) berangkat dari Surabaya menuju Tumpang Malang, tempat perijinan pendakian gunung Semeru dengan mengendarai sepeda motor. Di tengah perjalanan kami sempatkan sarapan di Tumpang dan pada pukul 08.30 WIB kami telah berada di Kantor Perijinan Taman Nasional Bromo Tengger dan Semeru. Saat jam menunjukkan pukul 10.30 WIB kami telah berada dalam perjalanan menuju Ranukumbolo setelah registrasi ulang di Kantor Perijinan masuk Gunung Semeru, desa Ranupane.
Kami berdua begitu bergegas dalam menempuh perjalanan ini. Kami tidak pernah istirahat dengan duduk mengingat kami memiliki waktu yang sangat singkat untuk bisa sampai di Arcopodo. Tepat pukul 12.30 WIB kami telah sampai di Ranukumbolo. Dan pukul 13.30 WIB kami telah dalam perjalanan menuju Kalimati setelah makan siang. Jam 16.00 WIB kami telah sampai di Kalimati. Kami langsung menerobos penjagaan tanpa lapor terlebih dahulu karena khawatir tidak akan mendapatkan ijin mengingat kami tidak mendapatkan kuota muncak pada tanggal 17 Agustus. Kami lolos dan sampai di Arcopodo pukul 17.00 WIB. Setelah sejam mencari Om Jawul dan rekan-rekan maka kami putuskan untuk mendirikan tenda mengingat lelah telah mendera tubuh dan jiwa kami. Kami pun berasumsi mungkin besok di puncak kami akan bertemu dengan mereka.
Dini hari, tepatnya pukul 03.00 WIB kami berdua memulai summit attack. Dan pada pukul 05.00 kami telah sampai di puncak. Kami santai menunggu sunrise di puncak dan juga menunggu upacara peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus dimulai.
Untuk mengisi waktu luang aku berfoto-foto sambil mencoba menjadi presenter sungguhan dengan meminjam mic reporter SCTV yang sedang meliput acara di puncak Semeru. Saking percaya dirinya sampai ada pendaki lain yang ketipu dan sungguh-sungguh dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan yang kubuat seperti wawancara televisi.
Pukul 07.30 WIB upacara Peringatan Proklamasi Kemerdekaan 17 Agustus 2009 dimulai dan selesai dengan hikmat. Tidak menunggu lama kami berdua turun karena rekan-rekan yang kami cari (Om Djaweol dkk) tak juga ketemu. Kami berdua benar-benar merasa ada yang kurang dengan tidak adanya rekan-rekan yang sudah janjian sebelumnya. Dimana ya mereka?
Jam 09.30 WIB kami telah sampai di Kalimati. Ternyata di tempat ini baru akan dimulai upacara Peringatan Kemerdekaan 17 Agustus.
Aku begitu surprise dengan respon pertemuan dengan rekan-rekan yang ternyata semalam ngecamp di Kalimati. Indra dan kawan-kawan memperlakukanku seperti selebritis. Minta foto bersama, tanda tangan dan mengerubutiku xixixxiiiii. Padahal di belakang kami berbaris ratusan pendaki yang bersiap mengikuti upacara. Hahaa… Cuek abis…
Karena lama menunggu kagak dimulai juga upacaranya aku dan santo cabut hendak pulang.
Setelah perjalanan sejam sampailah kami di Oro-oro Ombo. Kami berdua istirahat santai di bawah pohon. Kemudian datang pendaki lain. Mereka juga beristirahat di tempat ini. Tapi ada satu pendaki yang sangat kukenal. Setelah kuamati ternyata si Wulan. Anak Lawalata IPB, rekan mendaki Gede-Pangrango. Begh… dia tidak mengenaliku padahal aku duduk di depannya. Aku diam saja tapi terus menatapnya berharap dia mengingatku. Setelah 15 menit benar juga dia menatap tajam ke arahku. Dan ketika kaca mata yang kupakai kulepas dia langsung teriak. “IPULLLLLLLLL!!!!!!!!!!!!”
Hampir satu jam kami dalam gemuruh canda dan tawa sampai-sampai kulihat pendaki yang lain pada heran pisan. Keliatan kami sudah berkawan puluhan tahun yang lalu dan puluhan tahun juga tidak bertemu. Akhirnya perjumpaan ini harus berakhir. Kami harus melanjutkan perjalanan. Aku turun dan Wulan melanjutkan pendakian. Bye sobat!
Kami melanjutkan perjalanan dari Oro-oro Ombo, tembus Ranukumbolo-tidak berhenti-dan sore hari telah sampai di Ranupani. Di sepeda motor kami temukan pesan singkat dari kawan-kawan yang ternyata merasa sangat kecewa karena tidak bisa muncak Semeru. Mungkin tahun depan Semeru akan lebih bermurah hati.
Aku dan Santo meluncur ke Kepanjen Malang dimana kawan-kawan tim Pelatihan TSSM sudah menunggu.

Tugu Perbatasan Kerajaan Jenggala-Kadiri Sigolo-golo Wonosalam Jabung Jombang

 
Prolog:
Awal mula perjalanan ini berasal dari pesan singkat Om Jawul yang menginginkan variasi petualangan.
"Petualangan itu tidak harus melulu mendaki dan mendaki ketinggian. Seorang petualang juga butuh variasi petualangan sehingga dalam perjalanan berikutnya greget berpetualang itu terus ada dan meledak-ledak dalam hati sanubari", pesannya.
Tidak harus terdepan untuk menjadi Sang Pendaki Sejati. Tidak harus selalu menyalip pendaki lain untuk menunjukkan kompetensi diri. Dan juga tidak harus berpenuh beban di pundak untuk merangkap kesejatian.”

Isi:
Tak ada lagi yang tersisa dari masa lalu selain cerita kemanualannya dalam menyelesaikan persoalan hidup.
Begitupun yang terjadi di sini, sebuah tempat penanda kesepakatan dalam menjalin keberlangsungan hidupantar bangsa-Kerajaan Jenggolo dan Kerajaan Kadiri. Kami datang dengan menumpangi 2 unit mobil Wilis Om Jawul.

Sigolo-golo merupakan kombinasi hutan, sungai, dan tebing dengan ketinggan kurang lebih
500 m. Ada beberapa tempat menarik yang harus dikunjungi di tempat ini seperti Goa dan Tugu Jenggala-Kadiri.

Bagi seorang petualang melewati tebing dengan kemiringan 80 derajat akan sangat memuaskan hati. Memanjat akar-akaran yang berukuran cukup besar sebelum sampai di sebuah gua yang menurut juru kunci, Mbah Pram merupakan pertapaan seorang putri yang lari karena kehilangan sang kekasih. Gua yang berukuran cukup besar menghadap ke sisi timur memang cocok untuk dipakai sebagai tempat
menempa sisi spiritual seseorang.

Tidak selesai sampai di situ, usai melewati gua tersebut kita akan dihadapkan tebing yang lebih ekstrem lagi dengan kemiringan hampir 90 derajat yang sangat diidam-idamkan seorang penggila
kemiringan. Meski ekstrem, namun tidak perlu menggunakan tali untuk menyelesaikan tebing ini. Andai saja tebing ini memiliki jarak yang lebih panjang lagi dan berada dalam ketinggian 3.000 m dpl pasti akan lebih seru.

Usai melewati tempat ini, ada lagi satu tempat yang merupakan maskot dari Sigolo-golo, yaitu tugu perbatasan Kerajaan Jenggala-Kadiri. Perjalanan untuk mencapai tempat ini cukup menantang. Diiringi hujan deras dan tebing licin untuk menuruni tebing untuk sampai di sungai panjang yang kiranya disusuri akan sampai di air terjun pengajaran yang cukup terkenal di Jombang. Sekitar tahun 2003 penulis sendiri pernah menyusuri sungai air terjun Pengajaran. Suasana yang tersaji di sepanjang perjalanan sangat beresiko. Rawan longsor, banjir dadakan dan potensi bahaya lain dari pepohonan tumbang dan hewan berbahaya.

Sekitar 1,5 jam kita sampai di sungai yang mengalirkan air yang sangat jernih. Perjalanan di lanjutkan dengan menyusuri area sisi sungai yang memiliki rerumputan hijau dikombinasikan pepohonan dan tanah becek. Hujan tak kunjung reda.

Setengah jam kemudian sampailah kita di sebuah pemandangan yang istimewa tepat di bawah Tugu Perbatasan Kerajaan Jenggala-Kadiri.

Semoga sedikit bisa menggambarkan tempat istimewa ini!


Sabtu-Minggu, 9 - 10 Mei 2009 untuk Rafting di Songa Probolinggo dan Camping di Pet Bocor Tretes Pasuruan

Teman kantor mempertanyakan masa depanku ketika kejenuhan menyelimuti materi pembicaraan kami.
Ya, setiap menanyakan dengan cara apa aku melewati waktu luang dan meluangkan waktu untuk apa maka jawabanku hanya satu yaitu bergumul dengan alam apalagi itu Gunung
dan Belantara. Dan waktu luang Sabtu-Minggu, 9 - 10 Mei 2009 ku akan meluang waktu dengan alam via Rafting di Pekalen Probolinggo Songa Adventure dan Camping di Pet Bocor Tretes Pasuruan.

Aku ingin mewujudkan moto hidupku "Mewakafkan sisa hidup ini (waktu dan rejeki) untuk alam".

Untuk pertama kalinya aku Rafting.


Sebenarnya aku telah sering menonton acara televisi yang menayangkan acara Rafting namun sementara waktu aku masih berpendapat bahwa kurang seru kalau hanya bermain air seperti itu e e e. Kecipak-kecipuk main air. Mirip sewaktu aku masih kecil dulu hahahaa. Apalagi budget yang dibutuhkan juga lumayan.

Sabtu pagi setelah semalam menginap di rumah Om Jawul kami telah berada di atas bus
Rombongan PLN Mojosari meluncur ke lokasi rafting yaitu di Sungai Pekalen (Kalau tidak salah sebut) Probolinggo. Aku sungguh terharu melihat keakraban keluarga besar PLN Mojosari ini dan sangat senang sekali ternyata banyak yang suka bergumul dengan kegiatan alam.
Dalam hatiku berkata, "Aku menemukan keluarga besarku". Pukul 10.30 sampai di
basecamp Songa Adventure.

Pembagian kelompok per perahu karet dilakukan oleh Pak Udin
(Manager) dan Om Jawul. Per perahu karet diisi 5 sampai 6 orang. Aku ikut bergabung dalam kelompoknya Om Jawul yang diisi 6 orang: Om Jawul, Ayub, Lenny, Wenny, Freddy (kira-kira 7 tahun) dan aku sendiri.

Untuk sampai di lokasi perahu karet kami menempuh perjalanan 7 Km dengan colt bak
terbuka. Kemudian jalan kaki sejauh 750 m untuk sampai di tepi sungai.

Akhirnya apa yang kami nanti-nantikan tiba. Kami telah duduk di atas perahu karet lengkap dengan perlengkapan tempur kami: Helm, Jaket Pelampung dan Dayung. Om Jawul dan Ayub berada di posisi striker. Aku dan Freddy sebagai midfielder
(pemain jangkar hahahaa). Di Belakang ada Lenny dan Wenny. Dan sebagai Guide-nya ada Bang Dul yang siap memberikan aba-aba.

Iwow, Iwow!!!!!!!!!!!!
Dan begitu perahu karet diluncurkan kami begitu ceria seperti balik ke masa kanak-kanak lagi bahkan mengalahkan Freddy yang asli masi
h kanak-kanak e e e. Setiap melewati jeram kami akan teriak-teriak.
Aku dan Freddy kompakan dengan teriakan "Iwow, Iwow!!!!!!!!!!!!". Wah-wah ternyata mengasyikkan Rafting ya. Aku bisa merasakan sensasi ketika perahu karet menabrak bebatuan dengan keras persis seperti ketika aku tabrakan sepeda motor tetapi kali ini aku tidak perlu merasa khawatir akan terjadi kenapa-kenapa.

Setelah melewati berkali-kali jeram maka tibalah kita di jeram yang menjadi maskot dimana untuk melewati jeram ini kita harus jongkok di dalam perahu karet dan berpegangan tali yang diistilahkan kita harus 'Boom'. E e e, setelah lolos dari jeram ini kita tiba di pemberhentian untuk istirahat dan ternyata pelayanan dari pihak EO-nya cukup istimewa kita disambut kelapa segar dan gorengan yang disebut 'jemblem'
dari ketela/singkong dimana didalamnya ada kembang gulanya yang masih hangat.

Semua ku lihat begitu ceria dan berlomba-lomba menghabiskan sajian yang ada sedangkan aku dan Ayub berkolaborasi untuk mengabadikan momen yang ada dan juga bernarsis ria e e e.

Akhirnya acara Rafting selesai dan aku harus berganti setting dan cerita karena teman-teman 'alam'ku
yang lain telah menunggu di Tretes tepatnya di Pet Bocor untuk bercamping ceria. Aku sampai di Pos Perijinan Tretes jam 20.30 WIB. Tidak lama kemudian hujan turun dengan deras sehingga aku menunda untuk naik ke Pet Bocor dimana Hendy, gemblung, Slamet dan kawan-kawan telah menunggu. Akhirnya 21.30 WIB hujan berganti gerimis sehingga aku bisa menuju ke Pet Bocor apalagi pemilik warung di Pet Bocor juga mau kesana sehingga aku tidak perlu jalan kaki (nebeng motoran dari perijinan ke pet bocor) ee.

Malam ini kita habiskan dengan bicara ngalor-ngidul ga jelas jluntrungnya tetapi semua terkait dengan kecintaan kita terhadap alam dan kemanusiaannya. Akhirnya di tengah malam badan tidak kuat juga menahan dingin dan aku memutuskan tidur di gubuk yang basah oleh air hujan.

Esok paginya semua berkumpul lagi dan ketambahan kawan yang menyusul dan baru tiba dinihari tadi dan membicarakan lagi segala yang ada di isi kepala yang terkait dengan gunung dan belantara . Oh Tuhan ampunilah aku yang belum bisa melakukan aksi nyata dalam kecintaan pada alam ini.
Tiada yang mampu mengalahkan kebahagiaanku bila alam menjadi titik. Tentunya bersama keluarga yang akan kubangun nanti.


Selasa, 08 Oktober 2013

Pendaki dan Selingkuhannya

Satwa satu ini (pendaki) memang luar biasa. Dibilang cakep, wajah awut-awutan apalagi usai turun dari gunung. Dibilang romantis, ngomongnya to the point dan cenderung kasar (apalagi pendaki yang dari jawa timur ngomongnya CAK-CUK, CAK-CUK.. Pancen GWATHELI). Tetapi meskipun begitu ternyata mereka punya banyak cinta alias selingkuhan. Gila bener.

Nah, setelah para wanita korban perilaku pendaki ini melakukan penyelidikan akhirnya terungkaplah para selingkuhannya. Ini dia daftarnya:

1. Gunung, kecintaan yang tiada duanya.

2. Keril, besar dan seksi

3. Tenda, peneduh dan penentram jiwa

4. Trangia, selalu berada di dalam fikiran

5. Kompas, pengisi dan penunjuk hati terdalam

6. Kompor gas, menyalakan gelora asmara

7. Sepatu, teman melangkah

8. Sleeping bag, pemeluk sejati

9. Edelweis, yang paling sempurna dan abadi

9. dan lainnya

Astaga, pendaki itu memang ga waras, apa saja yang terkait pendakian gunung dianggap sebagai kekasih hatinya. By the way, tak apalah asal jangan sampai lihat Sapi atau Kambing di gunung terus dianggap kekasih. Wkwkwkwkwkwkwkk!
Apa ketidakwarasan ini efek dari kurang perhatian dan kasih-sayang wanita-wanita di dataran rendah pada para pendaki gunung ya?