Minggu, 10 Agustus 2014

Romantisme Pendaki Gunung dan Perambah Belantara adalah Anti Kemapanan dan Kebebasan Bertanggung Jawab



Dunia saat ini semakin progresif dalam pencapaian teknologi informasi. Pengetahuan bertebaran. Kadang beraturan. Seringnya tak berbentuk. Semburat tak terkendali menerjang lautan memori manusia. Nyaris tanpa bisa dicegah.

Salah satu dampaknya, kekinian teknologi informasi telah dengan mudah melahirkan para intelektual gunung dan belantara. Profil gunung, flora dan fauna serta sederet pengalaman yang berkaitan dengannya bisa dengan mudah diakses dan mengisi pendaki pemula. Terjadi pengkultusan rasionalitas dunia pendakian gunung dan perambahan belantara. Pendeskritan pengalaman dan pendidikan dasar.

Juga, tsunami modernisasi perlengkapan dan peralatan outdoor seperti produk ultralight serta ketersediaan porter dan guide memicu berbagi waktu dengan gunung dan belantara menjadi semacam bentuk lain hedonisme yang biasanya diwakili mall.

Namun ada sebarisan pendaki gunung dan perambah hutan yang tetap pada ‘jalur’ nya meski di tengah goncangan kemapanan informasi, belenggu rutinitas dan kenyamanan peralatan yang semakin modern. Merekalah yang tetap mempertahankan romantisme para pendaki gunung dan perambah belantara. Romantisme itu berupa anti kemapanan dan kebebasan waktu yang bertanggung jawab.

Barisan ini mempersetankan rasionalitas kemapanan pendakian dan perambahan yang ada saat ini. Tidak absen untuk menimba pengetahuan dan pengalaman langsung dari yang sudah terlebih dahulu mengetahui dan berpengalaman meski telah mengakses kesemuanya di mbah google. Tidak menjadi konsumtif dengan beredarnya informasi dan peralatan pendakian terbaru. Semua yang dibawa dan dikenakan adalah pertimbangan fungsi dan ketahanan serta efisiensi biaya. Jadwal-jadwal yang disusun selalu mengedepankan kebebasan waktu yang bertanggung jawab, bukan mengedepankan pelarian dari kenyataan.

Musik yang mengiringi langkah-langkah dan malam mereka di gunung adalah nyanyian masa silam, selampau dan sepurba gunung dan belantara itu sendiri. Mereka begitu dekat dengan masyarakat gunung sedekat dengan bebatuan puncak yang mereka cengkeram ketika menggapainya. Mereka tidak jual mahal dengan waktu ketika menyemai kebersamaan di ladang-ladang dan halaman rumah penduduk di kaki gunung. Bahkan ketika mereka bertemu di perjalanan maka ketika itu kendaraannya akan berhenti untuk menawarkan tumpangan.


Sebarisan pendaki gunung dan perambah belantara
ini sadar betul bahwa manusia adalah pemuja kebebasan dan kemerdekaan. Mereka berpikir dan mengerti betul manusia selalu hendak mempersetankan semua yang mapan dan teratur. Menserapahi kepalsuan yang rapi dan parlente namun begitu busuk di dalamnya.

 
Pemikiran dan gerakan anti kemapanan dan kebebasan itu
adalah romantisme yang hampir punah. Dan sebagian pendaki gunung dan perambah belantara adalah laskar anti kemapanan. Garda terdepan pelestari romantisme!