Rabu, 18 Januari 2017

Serpihan Awur-awuran Filosofi dan Hikayat Gunung dan Belantara

”In the name of solidarity I give you my philosophy of the mountain. The mountain is soul of love. Soul of destruction and creation. And soul of the earth. So you have to know about philosophy and history of mountain and forest if you want success to climb them. I don’t know why your hobby is climbing. Its make your body heart. Its make your life different. And its make your lovely gone. But I don’t care! “

#1 Pada mulanya gunung dan belantara adalah tempat pembuangan jin dan tempat tinggal para raksasa. Namun manusia kuno mulai melihat bahwa gunung dan belantara memiliki nilai magis, sarana peningkatan spiritualitas diri dan tempat pengujian kompetensi.

#2 Umumnya manusia kuno pergi ke gunung untuk menenangkan diri, mencari petunjuk atau menjadi pertapa. Karena ketinggiannya sehingga secara fisik lebih dekat dengan langit (tempat petunjuk) maka banyak nasehat dan wangsit yang dapat diperoleh di gunung dan belantara.


#3 Banyaklah dibangun padepokan, pesanggrahan, tempat penyembahan, dan tempat perenungan. Namun tidak sedikit dibangun tempat pelarian.


#4 Kini, jaman sudah berubah. Wangsit dan petunjuk bisa diperoleh di dataran rendah. Semenjak Candi, Kuil, Vihara, Masjid dan Gereja dibangun maka orang tidak perlu lagi ke gunung dan belantara untuk mencari ilham.


#5 Dan sekali lagi kini benar-benar berubah. Gunung dan belantara adalah tempat petualangan. Tempat untuk
melatih keterampilan, memperkaya khasanah, keilmuan dan menajamkan kanuragan. Juga tempat dijadikan penyegaran diri dari hiruk-pikuk keramaian duniawi.

#6 Sejak tahun 1972 (silahkan dikoreksi bila keliru), sejak organisasi (pelembagaan) pencinta alam muncul maka sah lah petualangan gunung dan belantara menjadi ter
organisasi.

#7 Dulu mungkin orang akan melihat aneh ketika seseorang melakukan pendakian. Dikira mungkin untuk mencari pesugihan.
Tidak waras. Dulu juga yang ke gunung adalah masyarakat di sekitar gunung yang lusuh atau orang-orang tua yang berjanggut. Tetapi sekarang anak-anak muda dengan tampilan trendi juga ribuan yang berangkat ke gunung di setiap tahunnya.

#8 Apa ini sebuah kemajuan dalam dunia pendakian?


#9 Mendaki gunung dan merambah belantara merupakan aktivitas nenek moyang orang Indonesia dan dunia tentunya. Masyarakat Tengger bahkan telah menetap dan hidup di gunung. Tetapi kemajuan apa yang telah diraih orang-orang gunung? Bukankah kerajaan-kerajaan atau Negara-negara selalu mencapai puncaknya ketika maritim (laut) berjaya dengan kegiatan niaganya. Atau jika tidak di laut maka di sungai besar.

#10 Kesemuanya jauh dari gunung. Makanya agak mengherankan jika gunung kini menjadi kiblat manusia. Tetapi tidak mengherankan juga karena gunung bukan tempat kemajuan duniawi. Gunung adalah tempat menempa ruhani. Kekayaan hati nurani. Sensitifitas sosial.

#11 Itu yang tidak ditemukan dalam aktivitas perdagangan di pantai dan sungai besar.

Disiplin (Keilmuan) Sosial Bagi Seorang Pendaki Gunung Adalah Sebuah Keniscayaan (Tuntutan)

Isi
1. Definisi Disiplin Sosial


2. Siapa Pendaki Gunung

3. Mereka yang disebut Pencinta Alam

4. Pendaki Gunung = Pencinta Alam

5. Genitas Pendaki Gunung

6. Pendaki Gunung sebagai Ahli Sosial

 
1. Definisi Disiplin Sosial
Disiplin sosial adalah ilmu pengetahuan mengenai masyarakat dan individunya yang metode kesimpulannya berlandaskan fakta-fakta kualitatif dan kuantitatif. Ada Sosiologi. Antropologi. Psikologi dan lain sebagainya.


2. Siapa Pendaki Gunung
Ribuan orang baik muda, tua bahkan anak-anak mendaki gunung di setiap tahunnya. Hingga kini tak sedikit jumlah kecelakaan yang mengakibatkan trauma, cacat fisik, bahkan kematian dari aktivitas mendaki gunung (termasuk merambah hutannya). Namun apakah setiap orang yang pernah mendaki gunung pantas disebut pendaki gunung? Ini pertanyaan yang sederhana namun sangat menarik dan tidak mudah menjawabnya.

Jawaban beragam akan terdengar dari lontaran pertanyaan ini, mulai dari yang sederhana sampai dengan yang rumit.

 
Sederhananya adalah iya, karena sudah pernah mendaki gunung maka otomatis seseorang itu disebut pendaki gunung. Namun secara kualitatif menjadi rumit jika muncul pertanyaan lanjutan, yaitu seberapa tinggi gunung yang didaki, dan bagaimana manajemen pendakian yang dilakukan? Sejauh apa kemandirian yang dimiliki dalam pendakian? Apakah bisa survive bila terpisah dalam rombongan? Dan puluhan pertanyaan lanjutan berikutnya.

‘Jumhur ulama’ pendaki di Indonesia mengatakan bahwa seseorang disebut pendaki gunung jika telah mendaki gunung dengan ketinggian minimal 3,000 mdpl dengan manajemen pendakian yang rapi. Artinya skenario pendakian telah disusun dengan baik dan telah terjadi pembagian tugas di antara anggota kelompok mendaki jika pendakian dilakukan secara berkelompok. Seseorang disebut pendaki gunung juga dituntut untuk memiliki pengetahuan dan ketrampilan pendukung untuk bisa mendaki gunung tanpa menimbulkan cidera atau sakit. Demikian juga seseorang disebut pendaki gunung jika telah memiliki sense of belonging dengan mampu membaca keinginan (cuaca, arah angin, kecepatan, dll) dari gunung tersebut.

3. Mereka yang disebut Pencinta Alam
Pencinta adalah orang yang sangat egois. Untuk menunjukkan atau membuktikan cintanya seringkali dengan melakukan hal-hal yang tidak masuk akal. 

Hal ini jelas bagi istilah pencinta alam atau seseorang yang disebut pencinta alam, maka egoisme-nya akan menuntunnya pada pembuktian kecintaannya pada alam. Seperti meluangkan waktu untuk berbagi dengan alam. Melakukan kegiatan-kegiatan pelestarian seperti penanaman, konservasi, pendidikan, dan tentunya pemberdayaan pada masyarakat di sekitarnya.

Untuk menunjukkan eksistensinya, pencinta alam seperti orang beragama, mereka melembagakan dan membentukan simbol-simbol suci kecintaannya. Ada dogma juga. Indoktrinasi. Ada periodisasi ritual.

Ada adat, dan budaya yang terbentuk. Menarik untuk diteliti karena setiap tahun banyak berdiri klub dan komunitas penggiat alam bebas serta organisasi pencinta alam dimana banyak anggota baru terekrut dengan jumlah perkembangannya mengikuti deret ukur. Mereka semua berfokus pada kegiatan petualangan dan hanya sedikit yang bergiat pada kegiatan yang sifatnya pendidikan  dan pelatihan dasar. Memang sangat jomplang, kegiatan pendakian mengikuti deret ukur dan kegiatan pendidikan dan latihan dasar mengikuti deret hitung. Mungkin inilah sebabnya tingkat kerusakan alam begitu luar biasa banyaknya seperti mengikuti deret ukur (jumlah perkembangan pendaki). Ironi!

4. Pendaki Gunung = Pencinta Alam
Banyak yang salah kaprah dalam dua istilah ini: pendaki gunung dan pencinta alam. Masyarakat umumnya memandang sama bahwa mereka-mereka yang mendaki gunung tentunya adalah pencinta alam. Sebagian besar para pendaki gunung juga nyaman dengan pandangan masyarakat umum bahwa mereka adalah pencinta alam. Padahal faktanya banyak pendaki gunung telah turut andil dalam kerusakan alam. Seperti kebakaran, meninggalkan sampah, perilaku vandalisme, juga berperilaku merusak tatanan sosial masyarakat gunung dan hutan seperti free sex dan mabuk-mabukan, mengambil tanaman bahkan plasma nutfah.

5. Genitas Pendaki Gunung
Dalam penelitian seorang psikolog India pada pendaki Gunung Everest yang menyatakan bahwa pencapaian seorang pendaki ke puncak adalah karena faktor gen. Seberapapun usaha dan keinginannya jika tidak memiliki gen seorang pendaki maka tidak akan sampai ke puncak. Pribadi dan perilaku pendaki gunung memang unik dan menimbulkan ekslusifitas. Ini yang cenderung menimbulkan pandangan ‘aneh-nyleneh’ masyarakat. Dan sampai disimpulkan sebagai faktor genitas.

6. Pendaki Gunung sebagai Ahli Sosial
Untuk menjadi seorang pendaki gunung baiknya juga menguasai disiplin ilmu sosial (praktis). Mendekati semacam kemampuan seorang sosiolog, antropolog, atau psikolog. Mengurangi ke-introvert-an dan ke-ekslusif-an. Mengapa demikian? Karena mendaki adalah perbuatan sosial yang individualis. Rusak tatanan sosial dan ekologi di dataran tinggi (hulu) maka berarti bencana bagi dataran rendah (hilir). Pendaki yang ahli sosial adalah upaya terbaik untuk mencegah terjadinya kerusakan tatanan sosial dan ekologi di gunung dan belantara.

Asumsi: ahli yang bisa mempraktikan keahliannya. Bukan OMDO-ngomong doang!

9 April 2014
 
 

Selasa, 17 Januari 2017

Tips and Trik Pendakian dalam Keadaan Berpuasa

Sembari menikmati debat Capres 2014 yang disiarkan langsung oleh beberapa TV nasional tulisan ini mulai dibuat. Entahlah, tiba-tiba ada dorongan untuk menuliskan perihal tips and trik pendakian di bulan Ramadan atau mendaki dalam keadaan menjalankan ibadah puasa. Tips dan trik ini ditulis berdasarkan pengalaman dari pendakian yang penulis lakukan dimana dalam keadaan berpuasa. Selain itu juga membaku-padankan dari pengetahuan gizi dan kesehatan serta pengamalan pendaki lain yang pernah mendiskusikan hal ini dengan penulis. Jadi ini semacam lesson learned dan best practice yang sudah pernah berhasil dipraktekkan. 

Setidaknya ada 3 pendakian yang penulis nukilkan dalam tulisan ini sebagai lesson learned dan best practices yakni pendakian spiritual di gunung Penanggungan/Pawitra pada tahun 2008, pendakian Semeru untuk melakukan upacara 17 Agustus 2010, dan Pendakian Gunung Arjuno pada bulan Agustus 2013 dalam rangka untuk memberi nama anak yang kemudian lahir pada 30 Nopember 2013. Tips dan triknya sebagai berikut:
 

1. Optimalkan sore hari setelah setengah hari digunakan untuk perjalanan menggunakan kendaraan menuju basecamp

Strategi ini penulis terapkan ketika sampai di basecamp Ranupani pada siang hari saat akan mendaki Semeru dan ketika pendakian gunung Arjuno. Matahari sore sudah cukup teduh apalagi perjalanan diantara pepohonan sepanjang jalur yang melindungi dari panas dan sangat membantu mengurangi dehidrasi. Begitu sudah loyo, waktunya sudah dekat dengan bedug maghrib. Saat itu benar-benar bertepatan menjelang maghrib saat tiba di Ranukumbolo (Semeru) dan di Kop-kopan saat mendaki Arjuno dari jalur Tretes.


2. Malam yang menguntungkan untuk summit attack

Pada pendakian gunung Penanggungan, penulis dan tim memilih waktu malam sesaat setelah shalat Tarawih di masjid terdekat dengan basecamp Tamiajeng (disini ada Mushalla dan Warung). Hampir tidak kendala berarti terkait dengan tenaga dan rasa lapar ketika summit attack ke Penanggungan dimana dilakukan pada malam hari yang notabene bisa makan dan minum kapan saja. Hal berbeda adalah ketika di Semeru, sebelum tiba di puncak ternyata waktunya sahur tinggal tersisa 30 menit. Jadi penulis berhenti terlebih dahulu untuk makan dan minum sahur. Saat itu ada teman yang kaget ketika tahu masih ada orang yang berpuasa saat mendaki Semeru. Sampai-sampai keluar selorohan bahwa ane jadi satu-satunya penggapai Puncak Semeru dalam kondisi berpuasa.

3. Gunakan sepanjang hari ini untuk menggapai pos terakhir

Mendaki ketika berpuasa sangat tidak dianjurkan untuk memforsir tenaga. Bila mulai lelah langsung berhenti dan beristirahat. Jangan sampai menunggu hingga drop baru istirahat. Tanpa makan dan minum, tubuh akan sulit me-recovery kondisi drop tersebut. Optimalkan waktu yang panjang di sepanjang hari ini (± 12 jam atau durasi jam 6 pagi sampai 6 sore) untuk menggapai pos terakhir.

4. Tempat teduh

Ketika beristirahat carilah tempat yang teduh agar tubuh tidak mengalami penguapan yang berlebihan. Hindari memakai pakaian yang tebal dan menutup seluruh tubuh bagi pendaki pria. Karena pakaian tebal dan menutup seluruh tubuh juga memicu keluarnya keringat yang berlebihan. Dan ini akan berdampak pada hilangnya cairan tubuh yang memicu dehidrasi.


5. Kurangi bahkan tiadakan nafas dari mulut karena menyebabkan mulut kering dan cepat haus

Pernafasan dari mulut juga berbahaya akan masuknya debu dan bahan berbahaya lainnya dalam tubuh kita terutama di musim kemarau atau saat kabut tebal. Beda ketika bernafas dengan hidung. Hidung memiliki mekanisme penyaringan yang memadai dari bahaya masuknya debu, uap air dari kabut dan zat berbahaya lainnya.

6. Kurma saat buka puasa dan makan sahur

Untuk memudahkan pengembalian tenaga dan mengefektifkan waktu memasak maka makanlah kurma atau semacamnya sembari menunggu makanan berat lainnya siap untuk disantap. Sebagai contoh ketika sahur saat dalam perjalanan menggapai puncak Semeru maka tidak memungkinkan
penulis memasak buat makan sahur di ketinggian lebih dari 3,000 mdpl dan kemiringan (elevation) kira-kira 45 derajat. Jadi penulis sahur dengan menggunakan buah kurma dan roti serta susu.

7. Tanggalkan beban (keril dan bawaan lainnya ketika berhenti atau istirahat) untuk menghemat tenaga.
Di pendakian lain yang tidak dalam kondisi berpuasa, penulis biasanya malas menanggalkan keril ketika beristirahat atau berhenti. Artinya keril (juga tas kamera) selalu nongkrong membebani tubuh. Tetapi demi menghemat tenaga maka ketika beristirahat saat mendaki dalam keadaan berpuasa maka tas kamera dan keril akan langsung penulis tanggalkan.

8. Dzikrullah dengan asma’ul husna dan kalimat-kalimat pilihan
Penulis meyakini dengan selalu menyebut namaNya di sepanjang perjalanan walau dalam hati akan membangkitkan kekuatan lahir dan batin untuk suksesnya menggapai sebuah puncak impian. Untuk asma’ul husna, penulis banyak menyebut, “ya Qawiyyu ya Matiin” dan menlafadzkan "Allahuakbar" ketika berhadapan dengan tanjakan.

9. Kapan memutuskan berhenti untuk berpuasa?
Tanda-tanda tidak kuat berpuasa (menuju akan sakit) adalah ketika malam tidak bisa tidur dan terjadi radang tenggorakan dan disertai gejala demam. Kondisi ini wajar karena ketika siang hari berpeluh keringat dalam tanjakan perbukitan namun tidak ada suplai air dan makanan yang masuk ke lambung karena sedang berpuasa. Ini artinya jangan dilanjutkan puasanya agar tidak terjadi hal-hal yang tidak diinginkan ketika mendaki seperti jatuh sakit. Ingat kesehatan dan keselamatan adalah hal utama. Abaikan ego untuk membuktikan menjadi pendaki hubat dan kuat serta bahwa mendakipun bisa tanpa meninggalkan ibadah puasa.

Bagi yang berencana akan mendaki di bulan Ramadan tahun ini, penulis ucapkan sukses dan selamat mencoba tips dan trik ini. Silahkan ditambahkan bila ada yang perlu dibenarkan atau ada yang perlu ditambahkan. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menjadi sumber amal kebaikan penulis. Amin ya Rabb.
foto: Sahur di Puncak Penanggungan

Senin, 16 Januari 2017

Pendakian Ramah Lingkungan

Penulis:
Sadar, Pendaki asal Jawa Timur yang sedang merajut mimpi di DKI Jakarta

Apapun aktivitas manusia baik dalam skala individu maupun kelompok tentunya akan berdampak baik pada lingkungan hidup maupun pada sesama manusia atau bisa disebut dampak sosial. Pun tak terkecuali aktivitas pendakian. Tulisan ini sebagai kiat yang bisa dilakukan agar aktivitas pendakian bisa lebih ramah terhadap lingkungan (eco-friendly hiking) dalam artian tidak menihilkan dampak negatif, namun dalam rangka kerugian atau penurunan fungsi lingkungan bisa dihindari. Bila tak terhindarkan maka minimal dapat dikurangi. Atau bila harus menimbulkan dampak destruktif maka pendaki harus tahu apa konsekwensi dan kompensasi apa yang harus dijalani. Mari kita kulik poin-poin dibawah ini untuk men-trigger pengetahuan dan kesadaran kita.

1.      Mengurangi potensi sampah

Beberapa perlengkapan yang berpotensi menjadi sampah seperti botol minum, plastik pembungkus, dan bungkus makanan. Untuk itu wajib pendaki memiliki tempat/ botol minum yang bisa diisi ulang, dry bag sebagai pengganti plastic sekali pakai untuk menyimpan pakaian kotor dan wadah sendiri khusus untuk makan dari plastik. Intinya, apa-apa perlengkapan yang kita bawa ke gunung sebaiknya yang bisa digunakan berkali-kali (tidak sekali pakai).

2.      Menjaga jarak tenda dari sumber air dan jalan setapak

Beberapa artikel menyebut jarak minimal 200 feet atau 61 meter dari sumber air agar sumber air terlindung dan tidak ada patokan khusus untuk jarak tenda dengan jalan setapak agar tidak mengganggu mobilitas pendaki lain. Lokasi pemilihan tenda juga diupayakan sama dengan bekas tenda sebelumnya. Ini artinya meminimalkan membuka lahan baru untuk pembentangan tenda agar tidak ada kerusakan rumput yang lebih luas, ranting dan dahan yang patah dan tempat berlindung satwa yang terganggu.

3.      Jauhi perbuatan vandalism

Selain mengganggu keindahan alam, bentuk vandalisme juga bisa menimbulkan pencemaran dari bahan kimia tinta yang digunakan dan kerusakan obyek bila vandalisme dilakukan dengan memahat obyek.

4.      Minimalkan kegiatan yang mengurangi fungsi sumber daya alam

Menghindari penebangan dahan dan ranting untuk pembuatan api unggun, tiang tenda/flysheet, memasak, dll. Gunakan juga air bersih seperlunya, hindari memakan buah alam dan potensi sayur di gunung agar tidak mengurangi jumlah makanan satwa kecuali dalam kondisi survival.

5.      Hindari kebisingan (noise)

Kita tidak tahu di sekitaran kita terdapat satwa apa saja dan bagaimana resistensi mereka terhadap keberadaan kita. Oleh karenanya jalan yang terbaik adalah mengurangi timbulnya kegaduhan dari keberadaan kita. Bentuk nyata bisa berupa mendaki dalam kelompok kecil (6 orang). Hindari bermain guitar dan bernyanyi di larut malam. Hindari juga teriakan kecuali memang ada teman yang sedang hilang/ perlu dicari dan belum diketahui pasti keberadaannya. Sangat dilarang untuk membawa petasan atau kembang api di gunung. Di Papandayan, penulis pernah melihat pendaki diberi sangsi oleh relawan ketika membunyikan petasan atau kembang api di Pondok Salada.

6.      Tidak melalui jalur illegal kecuali memang menjadi basis daerah pendidikan dan latihan dasar (PLD) dan tentunya sedang dalam PLD.

Ini juga termasuk tidak membuat jalur tambahan dari jalur yang sudah ada karena akan menimbulkan tambahan kerusakan dan mengubah bentuk alamiah seperti rute perjalanan satwa, dan aliran air ketika hujan. Bila menemukan tanda jalur baru/alternatif/tambahan maka segera buang atau tutup agar ekosistem jalur tambahan tersebut lekas normal/ tertutup kembali.

7.      Tidak menggunakan sabun, detergen, odol dan zat kimiawi lainnya di sumber air

Penulis pernah mendaki dengan pendaki yang sangat idealis dengan eco-friendly hiking sehingga mengharamkan keseluruhannya di gunung. Sabun, detergen, odol dan zat kimiawi lainnya baru digunakan setelah tiba/turun di basecamp pintu masuk/keluar pendakian.

8.      Apapun yang dibawa ke gunung harus dibawa turun kembali kecuali feses!!!

Ini adalah prinsip sederhana agar tidak ada sampah yang tertinggal di gunung. Pada kasus pembuangan feses, banyak pendaki juga tidak ramah lingkungan. Mereka membiarkannya di tempat terbuka dan dekat sumber air dimana ketika hujan berpotensi besar untuk terbawa sampai sumber air. Dan bila bukan di musim penghujan tetap juga membahayakan karena bisa terbawa oleh lalat-lalat yang mengerumuni feses dan lalat tersebut hinggap ke makanan para pendaki yang bisa menyebabkan gangguan pencernaan.

9.      Hindari berkontribusi dalam perubahan perilaku satwa

Selain mengganggu satwa, meninggalkan sisa makanan adalah salah satu bentuk merubah perilaku satwa. Satwa menjadi kehilangan naluri berburu/ mencari makanan secara alami karena mulai tergantung dari sisa makanan yang dibuang oleh para pendaki.

Jika menemukan binatang di jalan, biarkanlah, berikanlah tempat yang luas dimana satwa tersebut berada. Jangan mendekati atau mengikutinya, dan jangan memisahkan antara induk dan anaknya. Jika membawa anjing, tetap kendalikan sehingga tidak menyebabkan stres satwa lain. Hindari sumber air saat fajar dan senja, ketika satwa sering pergi ke sumber air untuk bermain, mandi dan minum.

10.   Tanggung jawab terhadap perapian

Jika harus membuat api unggun, buatlah lingkaran api atau galian, dan ingat 3D (dead, downed, and detached) ketika mengumpulkan kayu bakar: memilih hanya kayu yang sudah mati, jatuh ke tanah, dan terserak. Menjaga besaran api (terkontrol/kecil), dan pastikan sudah benar-benar dipadamkan sebelum ditinggalkan tanpa pengawasan.

11.   Membuat tempat berkemah dan sekitar menjadi lebih baik dari sebelumnya

Melakukan operasi bersih melebihi wilayah berkemah, merapikan atau mengalamiahkan kembali wilayah bekas tenda dan sekitaran adalah perilaku ramah lingkungan dari para pendaki yang masih jarang ditemui.

12.   Memlilih waktu pendakian yang agak sepi

Umumnya pendaki akan mengambil cuti untuk pendakian ketika ada hari kejepit atau akhir pekan panjang. Rumus inilah yang menyebabkan disatu waktu pendakian di satu gunung bisa membludak dan melebihi kuota yang telah ditetapkan oleh pihak otoritas. Kondisi ini akan menyebabkan pengendalian dampak terhadap kerusakan gunung akan sulit. Oleh karenanya pendaki yang ramah lingkungan tentunya akan mempertimbangakan waktu pendakian dimana salah satunya adalah memilih waktu pendakian yang agak sepi.

13.   Dahulukan rombongan yang berjalan menanjak

Siapakah yang harus didahulukan? Pendaki yang sedang naik ataukah kita yang lagi turun jika berpapasan? Jawabannya adalah kita harus mendahulukan pendaki yang naik karena mereka memiliki jarak dan sudut pandang yang lebih sempit terhadap jalur yang ada di depannya. Apalagi jika sudut elevasi jalur yang dilalui cukup ekstrim, otomatis jarak dan sudut pandang untuk melihat jalur di depan akan semakin sempit. Selain itu, para pendaki yang naik juga lebih berat dalam berjuang membawa kerilnya. Hal tersebut tentu berbeda bagi pendaki yang sedang turun gunung yang bisa melihat secara luas jalur yang akan mereka lalui karena letak jalur yang berada di bawah posisi mereka dan beban pendakian mereka juga tidak terlalu terasa karena jalan yang dilalui menurun. Jadi, jika sedang turun gunung lalu kemudian kita berpapasan dengan pendaki yang sedang naik, alangkah baiknya untuk berhenti sejenak dan sedikit menepi agar pendaki yang sedang naik mendapatkan ruang yang luas untuk melewati tanjakan tersebut.

14.   Mengamalkan prinsip leave no trace

a.      Perencanaan dan persiapan yang memadai
b.      Berjalan dan mendirikan tenda di permukaan yang keras
c.      Buang sampah dengan benar, dalam artian ketika sudah turun gunung
d.     Tinggalkan apa yang ditemukan, artinya tidak membawa pulang apa-apa yang menarik yang ditemukan di gunung
e.      Minimalkan dampak api unggun
f.       Menjaga eksistensi satwa liar
g.     Perhatian pada pendaki lain, tidak hanya soal health and safety, tetapi juga perilaku mereka apakah sudah ramah lingkungan atau tidak.

15.   Kampanye kecil-kecilan

Bila bertemu dengan rombongan lain cobalah bersosialisasi dan mulai mengkampanyekan pendakian ramah lingkungan ini dengan cara yang paling tepat sesuai situasi dan kondisi kala itu. Mari menjadi sumber/virus penyebar pendakian ramah lingkungan ini.

16.   Berkomunitas atau berorganisasi

Untuk hasil yang lebih maksimal dan massif, maka penting untuk pendaki yang telah sadar dan mempraktekkan pendakian ramah lingkungan ini untuk terjun dalam komunitas atau organisasi yang telah ada. Membentuk sendiri komunitas, gerakan atau organisasi juga menjadi nilai plus karena konsepnya bisa dibuat sendiri sedemikian rupa untuk mempercepat tujuan agar gunung tetap lestari meski terus didaki.

Dengan mengikuti kiat-kiat ini, pendaki tidak hanya akan mengurangi pengaruh buruk pada lingkungan, pendaki juga akan mendorong pendaki lain untuk melakukan hal yang sama. Sedangkan konsekwensi dan kompensasi apa yang harus diterima bila pendaki melanggar atau melakukan pendakian yang tidak ramah lingkungan (mengakibatkan kerusakan alam)? Silahkan ditelusuri link di bawah ini:

1.      Pembakar hutan



2.      Pencemar air, tanah dan udara



http://situscoplug.blogspot.co.id/2011/12/penerapan-sanksi-terhadap-pencemaran.html#!/2011/12/penerapan-sanksi-terhadap-pencemaran.html

3.      Aturan lainnya






Rabu, 04 Januari 2017

Pendaki, Kenaikan Nisbi, Kenaikan Relatif?


Pendaki Gunung dan Penempuh Rimba tidak sedikit yang bekerja sebagai buruh. Mereka membidik pendakian setiap tahun tidak hanya berdasarkan kalender libur/ tanggal merah, namun juga dari kenaikan upah dan bonus di setiap tahunnya.

Ulasan ini mudah-mudahan membantu para pendaki untuk mengkalkulasi upah mereka di 2017.

Inilah yang disebut kenaikan Nisbi/ Relatif. Dan bahkan bila dihitung detail bisa jadi malah penghasilan pendaki gunung mengalami penurunan.

Tahun baru banyak menghadirkan hal-hal yang baru. Bagi buruh, menghasilkan kenaikan UMK/UMR/UMP. Contoh, UMP DKI Jakarta tahun 2017 sebesar Rp3.350.750, atau naik 8,11 persen. Namun periksa juga hal-hal baru lainnya terutama yang bunyinya "pengeluaran".

Para pedagang membuat strategi menaikkan penghasilannya dengan menaikkan harga barang dagangan seperti sembako, pakaian, makanan dll yang akan dikonsumsi para pendaki. Di sektor jasa seperti kos-kosan, kontrakan dll juga akan menaikkan biaya sewa dimana banyak pendaki yang tempat tinggalnya berupa kos-kosan atau kontrakan.

Dan bagi pemerintah untuk menggenjot APBN tahun depan maka akan menaikkan beberapa pos pemasukan negara seperti yang baru-baru ini diberitakan: kenaikan tarif listrik, stnk, sim, skck. Dan sangat mungkin menaikkan retribusi masuk pos Pendakian. Bila nanti sepanjang 2017 ada penambahan item kenaikan baik dari barang yang dijual pedagang, sektor jasa yang ada dan pos-pos lain dinaikkan oleh pemerintah maka silahkan bagi masyarakat umum seperti buruh (banyak pendaki yang bekerja sebagai buruh) yang menerima kenaikan UMK/UMR/UMP tahun ini untuk mengkalkulasi apakah besaran prosentase kenaikan UMK/UMR/UMP memadai bila disandingkan dengan besaran kenaikan bisa hidup.

Ambil contoh DKI Jakarta dengan kenaikan UMP 8,11 persen. Bila nanti sepanjang 2017 ternyata kenaikan biaya hidup sama dengan 8,11 persen maka sebenarnya tidak ada kenaikan gaji, yang benar adalah hanya penyesuaian gaji akibat adanya inflasi dan mengikuti kenaikan reguler biaya hidup. Yang miris adalah bila kenaikan biaya hidup melebih 8,11 persen maka berarti sesungguhnya penghasilan buruh mengalami penurunan. Itu berarti mereka harus siap untuk mengurangi kualitas dan kuantitas hidupnya, termasuk mengurangi jumlah gunung yang akan didaki agar tidak terjerat dalam hutang, ngemis sana-sini dan kondisi lainnya.