Senin, 04 Mei 2009

Pendakian 53 Jam Menggapai 4 Puncak: Welirang, Kembar 1, Kembar 2 dan Arjuna

Aku dan sebagian kawan-kawan begitu mendewakan puncak tertinggi. Kami begitu mudah dan cepat terbakar emosi ketika cerita perjalanan menuju puncak tertinggi diceritakan. Itulah kenapa kali ini kami mendaki setelah Hendy dan kawan-kawan bersepuluh gagal ke Arjuna karena terkendala cuaca. Bagi kami hanya puncak tertinggi yang sanggup me-restore produktivitas dan membebaskan belenggu kejumudan yang melanda setiap jiwa. Hanya dengan berada di puncak tertinggi kami dapat melihat titik-titik terhebat masa lalu, sekarang, dan masa yang akan datang. Dan berada di puncak tertinggilah yang sanggup menunjukkan posisi pencapaian diri-dimana dan siapa sesungguhnya kami.

Jumat 24 April 2009 pukul 20.30 WIB kami berempat:
1. Saiful Amin "Pendaki Rewel" melaunching model rambut baru
2. Dwi Asepta Hariyadi "H-yi"
3. Santo Andrian "Pendaki Sunyi"
4. Andi Wahono "Pendaki Manja"
meninggalkan Pos Perijinan Pendakian Tretes
untuk mengawali perjalanan kaki ini.

Rute yang kami lalui diawali jalan beraspal kemudian jalan bersemen hingga pintu gerbang terakhir tepat di atas Pet Bocor. Selanjutnya jalan yang kami lalui berupa tanjakan berbatu yang membosankan hingga kami memutuskan untuk mendirikan tenda di Kop-kopan untuk bermalam pada pukul 23.30 WIB.

Pukul 05.00 WIB Santo membangunkan kami. Pagi yang cerah ini kami isi dengan kegiatan memasak, sarapan, mengambil gambar, dan mandi. Tepat pukul 06.30 WIB kami memulai perjalanan
menuju Pondokan Penambang Belerang.

Masih sama dengan rute sebelumnya, jalan yang kami lalui berupa tanjakan berbatu yang membosankan. Setelah melalui beberapa kelokan menanjak kami mendapati pipa saluran air yang dibuatkan lubang di bagian atasnya sehingga memudahkan untuk mengisi air dan beberapa kelokan selanjutnya ada gubuk penambang belerang yang bisa menjadi alternatif bermalam. Jalan berbatu nan membosankan berakhir di Pos Penimbangan Belerang yang sekarang menjadi Pos Terakhir kendaraan pengangkut belerang. Setengah jam kemudian sampailah kita di Pos Pondokan
Penambang Belerang. Di tempat ini kami mengisi air sejumlah 11 Liter untuk berempat dengan estimasi kebutuhan 1,5 hari karena target kami mendaki Puncak Welirang, Kembar 1, Kembar 2 dan Arjuna tidak lebih dari 1,5 hari dari Pondokan ini.

Pukul 10.00 WIB kami memulai perjalanan dari Pondokan. Awal-awal rute sangat menyenangkan karena bebas dari jalan
an berbatu. Namun akhirnya jalan terjal berbatu kembali menyambut kami. Pukul 12.00 WIB kami diserang kantuk hebat. Kami memutuskan istirahat siang sambil memasakan mie instan dan energen. Sesaat kami merasakan nikmatnya tidur siang dan kemudian telah terengah-engah lagi dalam derap langkah menuju Puncak Gunung Welirang.

Puncak Welirang
Pukul 14.30 WIB kami sampai di lembah pertemuan jalur Welirang dan Kembar 1
. Lembah ini kami sebut Lembah Kematian. Kami ambil jalur ke kanan melewati tebing dengan sajian eksotika Pohon Cantigi Purba yang sangat menakjubkan. Rasa penasaran terhadap aktivitas para penambang belerang mengantarkan kami terlebih dahulu menuju dapur belerang dan menghabiskan waktu yang cukup lama untuk mengambil gambar, menghirup aroma belerang dan menikmati indahnya kepulan asap belerang. Sejam kemudian kami telah berada di Puncak Welirang dan melakukan sujud syukur dengan ransel di punggung karena kebahagiaan tiada tara yang kami rasakan. Berdasarkan hasil GPS terukur ketinggian Puncak Welirang adalah 3.214 m dpl.

Pukul 17.00 WIB kami tidak mampu lagi bertahan di Puncak Welirang. Kabut, angin, dan dingin membuat kami bergegas turun meninggalkan Puncak Welirang dan setengah jam kemudian telah sampai di
Lembah Kematian. Di tempat ini kami bermusyawarah mengenai target pendakian yang kemungkinan besar tidak akan mampu kami capai mengingat Senin, 27 April ketiga kawan yang lain sudah masuk kerja.

Kami mempertimbangkan dua opsi, yaitu mendaki Arjuna atau mendaki Kembar 1 dan Kembar 2 karena dalam perhitungan kami
mencapai salah satu opsi saja sudah menghabiskan waktu sehari. Diluar dugaan ternyata kawan-kawan semua menginginkan Arjuna. Namun persoalan yang muncul adalah jarak Welirang ke Arjuna sangat jauh. Kondisi fisik juga yang tidak memungkinkan untuk melakukan perjalanan lagi dan sandikala juga sudah bersiap menyambut gelap. Akhirnya kami memutuskan untuk mendaki yang lebih dekat, yaitu Gunung Kembar 1 dan malam ini kami menghabiskan waktu di Lembah Kematian.

Semalaman kami kedinginan. Keliatannya Andi terlalu banyak menghirup debu sehingga berkali-kali bersin di sepanjang malam. Atau
mungkin juga masuk angin karena tidak ada matras dan sleeping bag tidak bisa dipakai karena basah kena air dari jirigen yang bocor. Nasib yang sama juga dialami H-yi dan Santo. Bahkan Santo berkali-kali seperti Handphone yang ditelpon tapi tidak pernah diangkat (bergetar terus e e e). Hanya aku yang beruntung bisa tidur dalam sleeping bag tanpa alas matras.

Lagi-lagi Santo yang memegang kendali waktu membangunkan kami pukul 05.00 WIB. Selain sarapan, pagi yang cerah ini kami habiskan dengan mengeksplor sunrise. Mengabadikan momen terindah sebagai kenangan pribadi dan oleh-oleh buat kawan-kawan
di Surabaya. Pukul 06.30 WIB kami mulai mendaki Gunung Kembar 1.

Gunung Kembar 1
Seluruh anggota tim belum pernah ada yang mendaki ke Gunung Kembar 1. Namun dari keterangan seorang Penambang Belerang yang meminta obat sakit perut maka yakinlah kami untuk membuat sendiri rute pendakian. Kami tidak mengalami kesulitan membuat jalur ke Gunung Kembar 1 karena
saat berada di Puncak Welirang kami telah melihat Puncak Gunung Kembar 1.

Benar saja, sejam kemudian kami telah berdiri di Puncak Gunung Kembar 1. Puncak Gunung Kembar 1 juga memiliki semburan gas yang menyebar hampir di semua titik puncak dan terbesar tepat di puncaknya. Sempat ngeri juga ketika mengambil gambar diri di puncak sedangkan kondisi puncak rawan longsor yang terlihat dari menurunnya lipatan batu dari semburan gas.

Puncak Gunung Kembar 1 memberikan ruang pandang yang jelas untuk mencapai Puncak Gunung Kembar 2. Hal ini meningkatkan kepercayaan diri kami. Bahkan kami mulai optimis akan mendapatkan Puncak Gunung Arjuna.

Gunung Kembar 2
Kami melakukan potong kompas untuk sampai di kaki Gunung Kembar 2. Dan benar saja, sesampai di
Lembah Pelana Kuda kami menemukan jalur menuju Puncak Gunung Kembar 2. Setelah terengah-engah di sepanjang jalur menanjak akhirnya kami sampai di puncak pukul 09.00 WIB.

Area Puncak Gunung Kembar 2 lebih tinggi dibandingkan Puncak Kembar 1. Berdasarkan alat pengukur ketinggian yang dibawa H-yi (GPS MAP) tinggi Gunung Kembar 1 hanya 2.980 m dpl sedangkan tinggi Gunung Kembar 2 mencapai 3.180 m dpl.

Puncak Arjuna dari Puncak Gunung Kembar 2 terlihat sangat jelas.
Mulai dari Lembah Kidang, Alas Lali Jiwo, Lembah Babi dan Lembah Pramuka, Dieng, sampai Puncak Ogal-agil. Menggapai Puncak Kembar 2 memberi kami keyakinan untuk mampu sampai ke Puncak Arjuna lebih cepat dengan melakukan potong kompas untuk sampai di jalur resmi menuju Puncak Arjuna. Sebagai patokan adalah turun menuju lembah kecil, yakni Lembah Pramuka.

Jalur potong kompas ini memiliki kemiringan lebih dari 70 derajat. Kami mensiasati dengan membuat rute zig-zag namun tetap saja beberapa bagian harus kami lalui dengan jatuh bebas. Berguling-guling. Tapi kami melaluinya dengan perasaan gembira dan tertawa-tawa ketika terjatuh maupun terperosok. Andi sempat
kepergok ular namun tidak sampai digigit. Sesampai di Lembah Pramuka kami beristirahat dan sesekali geleng-geleng kepala melihat betapa curamnya jalur yang kami lalui. Kami sempatkan berdoa di sebuah penanda yang menunjukkan adanya kuburan sebelum melanjutkan perjalanan ke Puncak Arjuna.

Gunung Arjuna
Pukul 10.30 WIB kami melanjutkan perjalanan menuju Puncak Arjuna dengan menggunakan jalur yang telah ada. Pukul 12.25 WIB kami bertemu dengan 3 anak Unair dari Jurusan Psikologi yang memperkenalkan kelompoknya dengan sebutan 'Abimapala' kependekan dari Arek Biasa Macak Pecinta Alam. Sebenarnya di Pondokan Belerang kami sudah bertemu mereka namun mereka mendaki ke puncak dengan sistem estafet agar bisa menghemat tenaga. Separuh mendaki, separuh jaga base camp. Ternyata kawan dari Unair ini melihat kami
berjumpalitan menuruni Gunung Kembar 2 ketika mereka menapaki jalur menuju puncak Arjuna.

Sisa-sisa tenaga yang kami miliki ternyata masih mampu mencapai Puncak Arjuna 3.3
39 m dpl tepat pukul 13.30 WIB. Kami memfokuskan diri di area Singgasana Arjuna. Sebuah batu yang menyerupai tempat duduk. H-yi menceritakan bahwa Prabu Airlangga mendaki ke Puncak Arjuna untuk menentukan letak Ibu Kota Kahuripan yang sekarang tempat semburan lumpur panas, Porong.

Kulihat wajah-wajah gosong namun berbinar-binar menyiratkan kebahagiaan tiada tara dari kawan-kawan. Kawan-kawan memiliki ekspresi yang cukup unik. Santo berkali-kali berteriak. Andi bersujud syukur. H-yi
tidak kuat menahan sakit perut akhirnya boker di area puncak. Dan aku hanya menjadi saksi ekspresi kawan-kawan karena aku hampir tidak percaya bisa menjadi team leader yang berhasil mencapai 4 puncak. Hal ini dikarenakan profil anggota tim ini tidak begitu menyakinkan untuk bisa mencapai 4 Puncak. Andi baru pertama kali mendaki maka kami membuatkan seremonial kecil namun mistis dan hikmat sebagai tanda bahwa Andi telah menjadi pendaki seperti kami dan nilai diklatnya adalah cum laude!

Tidak lupa kami kabarkan keadaan kami dan sukses kami mencapai 4 puncak pada kawan-kawan yang telah mendoakan misi ini. Andi juga menelpon beberapa kawan. Ternyata sinyal Indosat lebih kuat dibandingkan sinyal Telkomsel. Jam 14.20 WIB perjalanan turun dimulai.

Perjalanan Turun
Fisik rentan cidera ketika melakukan perjalanan turun gunung. Dan kini cidera mulai terasa sampai di Pos Air Lembah Kidang kami benar-benar butuh recovery. Namun karena waktu yang mepet karena target malam ini harus sampai di Pos Perijinan maka kami hanya berhenti sejam untuk masak, makan dan istirahat. Fiuh,
ini benar-benar disebut petualangan: limit waktu, limit tenaga dan limit-limit yang lain namun target harus dapat.

Kami melakukan perjalanan gelap sejak Pos Air Lembah Kidang. Dan ketika sampai di jalur berbatu kejenuhan kembali muncul. Menjelang sampai di Kop-kopan pisau belati Santo diketahui jatuh. Aku dan Santo kembali naik ke atas untuk mencari pisau itu. Syukur
lah pisau itu bisa diketemukan. Sesampai di Kop-kopan kami langsung di sambut anak Unair yang menanyakan ransum. Kami langsung geleng kepala karena seumur-umur belum pernah daki gunung bawa ransum. Setelah mendengar penjelasan anak Unair itu ternyata mereka dalam kesulitan. Dua dari 4 yang ada di Kop-kopan sakit dan salah satunya tergolong parah. Cewek itu kena komplikasi (kram perut, hipertmia, kolaps, muntah-muntah, kondisi sedang datang bulan). Apalagi emosi mereka lagi di ubun-ubun. Ternyata mereka ditinggal oleh 3 kawan yang lain dan semua makanan ikut terbawa turun.

Kami dengan sigap merebus air untuk buat energen dan mie agar mereka ada tenaga untuk melalui malam ini. Memberikan obat dan konterpin untuk mengurangi kram dan sakit perut. Dua jam kemudian keadaan mulai terkendali dan kami tinggalkan blue gas, mie instan dan roti agar mereka esok hari ada tenaga untuk turun.

Karena kaki kami semua sudah tidak karuan rasanya maka perjalanan dari Kop-kopan
yang dimulai dari jam 23.30 WIB sampai di Perijinan jam 01.30 WIB. Jadi agak lama. Total waktu yang dibutuhkan misi ini mulai perjalanan dan sampai lagi ke Pos Perijinan Tretes adalah 53 jam. Namun kami bersyukur karena akhirnya kami bisa sampai Surabaya pukul 04.30 WIB dan aku sendiri sampai di kosan jam 05.00 WIB. Sementara H-yi masuk dinas sebagai PNS di Jombang, Santo dan Andi bertugas untuk menjaga Ujian, aku dengan nyaman terlelap seharian di kamar kosan. Inilah masa ternikmat memiliki kebebasan waktu.

Terima kasih Tuhan atas karuniamu ini!

NB: Terima kasih khusus kusampaikan kepada kawan
yang sudah seperti saudara: H-yi, Santo dan Andi. Mendaki bersama kalian membuatku semakin percaya diri bahwa aku mampu melihat kemampuan rekan seperjalanan dan mensinergikan itu semua untuk melahirkan sebuah tim yang tangguh.

Minggu, 08 Maret 2009

Diklat SAR Banyuwangi Independent II

Permulaan
Adalah kemuliaan ketika kita bisa melahirkan manusia-manusia yang memiliki kepedulian dan
skill ketika suatu bencana melanda. Oleh karenanya ketika aku mendapatkan undangan dari
Banyuwangi SAR Independent (BSI) untuk turut serta berpartisipasi dalam Kawah Candradimuka (Diklat) yang akan melahirkan manusia-manusia tanggap bencana hati ini sunguh berbahagia. Meski pemberitahuan tersebut hanya berselisih 3 jam dari jadwal keberangkatan kereta api (KA) ekonomi Sritanjung Surabaya-Banyuwangi namun itu sama sekali tidak menghalangiku untuk bisa meluncur bersamanya dengan persiapan maksimal.

Aku berangkat dari Stasiun Gubeng di Sabtu Sore, 28 Februari 2008 dan sampai pukul 22.00 WIB di Stasiun KA Temuguruh Sempu Banyuwangi.

Lokasi TKP (Tempat Kejadian Perkara) yang menjadi Kawah Candradimuka Diklat Banyuwangi SAR Independent adalah Mangaran yang masih berada di kaki Gunung Raung. Untuk sampai di tempat aku dijemput saudara alamku, Pepeng.

Apa yang terjadi?
Bagiku, diklat adalah salah katalisator utama merestrukturisasi segala potensi dan kekurangan diri. Hal ini disebabkan dua unsur utama yang ingin dicapai dalam kegiatan diklat adalah perubahan cara pandang-sikap (tidak kasat mata) dan kemampuan teknis (kasat mata). Oleh karena itu diklat harus didesain sedemikian rupa sehingga kedua unsur tersebut tercapai.

Perbincangan intens dengan Ketua Umum Banyuwang SAR Independent, saudara alam sekaligus guru alamku, Evil Face menginginkan proses diklat yang bersifat alamiah (bukan situasional). Mengalir namun terencana. Hidup dan fluktuatif.

Bagaimanapun tidak dapat dipungkiri bahwa operasi SAR/kegiatan SAR adalah reactive operation/reactive activity. Hal ini disebabkan kejadian bencana selalu bersifat dadakan (stealing) sehingga diklat SAR harus juga menganut filosofi 'bencana datang tanpa permisi'. Jadi sewaktu-waktu kita harus siap (standby).

Berdasarkan kenyataan bahwa bencana selalu datang secara mendadak meski bisa diprediksi maka konsep diklat ini ditekankan pada aspek responsif dan reaktif peserta diklat. Tidak ada pemberitahuan jadwal kegiatan secara menyeluruh/terperinci sehingga peserta diklat akan bertanya-tanya dalam hati kegiatan selanjutya. Aspek kewaspadaan juga ditekankan meliputi kewaspadaan diri, kawan, lingkungan, dan korban.

Prinsip "Jangan sampai yang nge-SAR malah di-SAR (baca: yang nyari malah dicari dan yang mau menyelamatkan malah diselamatkan)" menjadi doktrin. Suatu ironi bila hal ini terjadi pada tim SAR!

Agar tidak terjadi kesenjangan (gap) antara teori dan praktek maka peserta diberikan simulasi yang hampir menyerupai kondisi nyata ketika suatu operasi SAR dilakukan.

Simulasi?
Peserta diberikan simulasi bahwa telah hilang dua orang penjelajah di area tebing antara dua pegunungan yang kemungkinan tebing tersebut dibawahnya merupakan aliran sungai melihat dari karakteristik wilayah yang ada di Peta. Dengan informasi terbatas dan peralatan terbatas (serba limit) serta medan yang berat (hutan, hujan, terjal, tebing, sungai) para peserta bergerak untuk melakukan operasi SAR.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kita panitia terlalu overestimate dengan memberikan medan yang terlalu berat. Maklum, para peserta adalah SISPALA (Siswa Pecinta Alam). Meski begitu para
peserta telah menunjukkan pertanda sebagai Penge-SAR sejati. Pantang menyerah meski diguyur hujan lebat. Tidak takut meski menuruni tebing curam. Dan tidak mengeluhkan fisik yang capek.
Sebuah permulaan yang baik!

Jumat, 13 Februari 2009

Catatan Lintas Alam dalam Rangka Pembaretan Anggota Resimen Mahasiswa Tahun 2009 di Pantai Serang Blitar

Kegiatan ini dilaksanakan di akhir bulan Januari 2009 dengan peserta pembaretan sejumlah 7 orang dengan komposisi 4 orang peserta laki-laki dan 3 orang peserta wanita. Ruang lingkup kegiatan ini difokuskan pada bakti sosial untuk melatih sensitivitas sosial (social sensitivity) peserta, lintas medan (sungai, bukit, tebing, jembatan dan pantai) untuk mengasah ketahanan fisik dan mental serta untuk ketangkasan saat berada di alam bebas, dan beberapa kegiatan yang merupakan praktek langsung dari materi yang telah diperoleh pada masa persiapan sebelum berangkat.

Sekilas Medan Tempuh
Medan tempuh ini disiapkan oleh Tatag dan penulis. Medan tempuh yang kami (baca: satuan tugas) siapkan diawali dengan menuruni bukit menuju sungai musiman (ketika kemarau debit kecil dan bahkan tidak ada debit air yang mengalir). Di sungai ini terdapat tebing sungai yang cukup representatif karena memiliki ketinggian 20 meter dan aliran air yang cukup deras untuk dituruni peserta. Setelah selesai dengan susur sungai perjalanan dilanjutkan dengan mendaki perbukitan di sepanjang aliran sungai dan kembali menyeberangi sungai untuk mendaki bukit selanjutnya.

Variasi medan ini akan dikombinasikan dengan perjalanan di aspal agar medan yang ditempuh semakin variatif sebelum sampai di Pantai Serang pada hari ke-6. Pengalaman turun dari jembatan dengan tali akan menjadi salah satu maskot dalam pembaretan ini. Dan tentunya adalah pengalaman survival di salah satu area yang telah disiapkan akan sangat berkesan dan menjadikan perserta sebagai resimen mahasiswa yang tangguh.

Sekilas Pantai Serang
Pantai Serang masuk dalam wilayah Desa Serang Kecamatan Panggungrejo Kabupaten Blitar. Akses untuk sampai di Pantai Serang sangat mudah karena telah memiliki jalan beraspal yang bisa dilewati Bus. Oleh karenanya permasalahan transportasi tidak perlu dikhawatirkan. Pantai Serang memiliki view yang indah dan pasir putih yang luas. Namun yang penulis amati adalah sebuah batu karang yang digunakan untuk memancing oleh para penghobi memancing karena memiliki karakteristik yang unik dibandingkan pantai yang lain. Pertama, batu karang tersebut menjorok ke laut sehingga tali pancing bisa menjangkau ke air yang cukup dalam. Kedua, terdapat area yang luas dan terlindung dari angin sehingga pemancing bisa mendirikan tenda untuk beristirahat jika ingin memancing beberapa hari.

Analisa Penulis
Pembaretan selama 7 hari tentunya sangat berat bagi peserta dan panitia. Namun, demi mendapatkan anggota yang benar-benar teruji fisik, mental dan skill-nya maka lamanya waktu tidak menjadi persoalan serius. Setelah menjalani rutinitas yang sangat padat dengan kondisi alam yang tidak bersahabat (perubahan cuaca yang fluktuatif-panas.hujan deras dan angin kencang) maka sampailah pada malam yang dinantikan panitia yaitu prosesi pembaretan peserta.

Diawali dengan kegiatan Caraka Malam (atau Jurit Malam) dengan sandi 'MENWA 802' maka berjalan secara sendiri-sendiri peserta pembaretan dengan variasi medan: menyeberangi sungai, menyusuri pantai, mendaki bukit dan sampai di sebuah tempat seperti altar yang luas di atas tebing Pantai Serang.

Dengan kelihaian Satgas (baca: Panitia) maka satu peserta secara tidak sadar telah membocorkan pesan rahasia yang harus disampaikan kepada target. Sebuah kesalahan fatal.

Celaka tiga belas, peserta pun harus membayar mahal kesalahan fatal tersebut. Skenario selanjutnya adalah memasukkan soul dan feel kemenwaan pada para peserta di sebuah malam gulita di Pasir Pantai Serang. Kami para Satgas begitu bangga dengan ketahanan fisik dan mental dari para peserta ketika melewati momen yang paling meneganggkan: menunjukkan Sakti, Bukti dan Bakti.

Setelah lebih dari sejam menunjukkan Sakti, Bukti dan Bakti, para peserta dan satgas begitu terharu dengan perjuangan mereka sampai air mata tidak terasa jatuh membasahi pipi dan bumi. Para peserta kemudian direcovery sebelum mengikuti upacara pembaretan. Selamat datang di Satuan Resimen Mahasiswa 802 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. MENWA ITS JAYA. VIVATT!!

Jumat, 06 Februari 2009

Kisah Pendakian Estafet 7 Gunung di Penghujung Tahun 2008 dan Awal Tahun 2009 Bersama LaPenDoS-LelakiPenuhDosananSunyi (Bagian 3)

Bagian ketiga dari kisah ini merupakan cerita pamungkas yang menguraikan catatan perjalanan di Gunung Sumbing, Sindoro, Ungaran dan Lawu.

Usai mendaki di Gunung Merapi bersama Om Jawul dan kawan-kawan
, aku melanjutkan pendakian ke gunung berikutnya yaitu Gunung Sumbing. Sedangkan Om Jawul dan kawan-kawan balik ke Jawa Timur karena telah ditunggu rutinitas yang telah memberikan kompromi selama empat hari ini.

Usai berpisah dari Om Jawul dan kawan-kawan aku merasa agak kebingungan karena benar-benar buta transportasi untuk menuju ke Gunung Sumbing
. Pun sesungguhnya aku juga tidak tahu apakah harus mendaki Gunung Sumbing atau Gunung Sindoro. Setelah berganti 3 jenis transportasi sampailah aku di terminal Magelang. Oleh Kondektur Bus aku ditanya mau mendaki Gunung Sumbing dulu atau Gunung Sindoro. Karena tidak ada referensi sebelumnya maka aku bilang terserah mau diturunkan di gunung yang mana. Dan turunlah aku di depan gapura yang bertulisan Dusun Garung di waktu maghrib.

Inilah cerita selengkapnya sisa pendakian estafet 7 gunung itu
. Mohon koreksinya jika terdapat kekeliruan yang yang bersifat teknis maupun berupa persepsi penulis. Terimakasih!GUNUNG SUMBINGGunung Sumbing adalah gunung tertinggi ke dua di Jawa Tengah dengan ketinggian mencapai 3.371 meter di atas permukaan laut. Gunung ini berhadapan dengan Gunung Sindoro yang dikenal sebagai gunung kembar. Jalan menuju ke puncak pun terjal dan penuh liku namun belum mampu menggelincirkan semangatku. Sebuah petualangan yang sangat menarik dan menakjubkan.
KISAH PENDAKIAN GUNUNG SUMBING VIA GARUNG
1.   Dari Selo Boyolali aku harus berganti transportasi sampai 4 kali untuk bisa sampai di Dusun Garung Kabupaten Wonosobo. Mula-mula kendaraan terbuka, angkutan pedesaan, minibus dan bus. Petang hari aku baru tiba di pintu gerbang Dusun Garung. Setelah mengosongkan memory card Kamera Digital dengan memakai komputer kawannya Ghani aku meluncur dan sampai di Base Camp Sumbing tepat pukul 20.00 WIB.
2.  Di Base Camp Sumbing (HP. 086 868 611 446) aku disambut beberapa pemuda lokal yang menjaga Base Camp dan mengurusi administrasi pendakian Gunung Sumbing. Setelah menyelesaikan administrasi pendakian aku berkenalan dengan P. Khalid dan kawan-kawan dari Semarang yang akan mendaki esok pagi serta 2 orang dari Solo-P. Bambang ‘Tole’ dan Toni-yang nanti akan menjadi kawan pendakianku di Gunung Sindoro. Aku pun ikut bergabung dengan kawan-kawan dari Semarang.
3.  Sekilas mengenai Base Camp Sumbing. Base Camp ini merupakan Base Camp termewah dan terlengkap yang pernah aku datangi. Terdapat 2 kamar mandi, 4 WC dan tempat istirahat yang luas, bersih dan tertata membuatku kagum. Disini kita juga bisa menitipkan kendaraan baik roda 2 maupun roda 4 dengan aman.
4.  Minggu, 28 Desember 2008 kami mendapatkan pagi yang cerah dengan selimut kabut di puncak Sumbing dan begitu juga yang terlihat di puncak Sindoro. Bumi ini indah dengan permukaan yang bervariasi.
5.   Seusai sarapan kami bergegas melalui jalan yang telah tertata. Kami memilih Jalur Lama. Berturut-turut diawali jalan beraspal kemudian jalan berbatu dan jalan menanjak beralaskan tanah. Terengah-engah kami selingi dengan canda tawa dari kawan-kawan Semarang yang sangat ramah dan kocak. Beberapa jam saja kami telah melewati hutan remaja dan kemudian tertatih-tatih sampai di pertemuan jalur lama dan jalur baru (PESTAN). Kami berhenti agak lama dan melanjutkan perjalanan sampai di Pasar Watu pukul 12.00 WIB dan menghabiskan waktu sampai pukul 14.30 WIB. Dengan tambahan tenaga hasil dari makan siang kami sampai di puncak Sumbing pukul 16.00 WIB dan menikmati sore ini sampai pukul 17.00 WIB untuk kemudian turun ke kawah dan mendirikan tenda tepat di samping makam Eyang Makukuhan.
Kilomater I
Di awali dengan memasuki Gapura Dusun Garung dimana merupakan tempat berhentinya angkutan umum (bus) sampai perempatan jalan Dusun Garung. Jalan yang kutemui sudah diaspal sehingga bisa ditempuh kendaraan pribadi dan tersedia jasa ojek jika mau ngojek. Jarak Base Camp Sumbing dari Gapura Dusun Sumbing sekitar 300 meter.
Kilomater II dan III Jalur Lama
KM II dan KM III dari Masjid Al Mansyur (dekat Sekretariat Stick. Pala) belok ke kiri menanjak kurang lebih sejauh 200 meter kemudian jalur lebih landai melewati ladang pertanian sampai di perbatasan hutan di kawasan Bosweisen yang merupakan batas KM III. Kondisi jalan telah tertata diawali bebatuan tertata kemudian tanah merah tertata dan berpasir. KM II dan III merupakan jalur yang melewati ladang petani sehingga menyajikan pemandangan indah sistem pertanian terassering.
Kilomater IV Jalur Lama
KM IV dari perbatasan hutan dengan ladang petani disebut kawasan Bosweisen sampai di kawasan Genus. Kondisi jalan tanah liat dan tanah merah berpasir. Musim penghujan ini banyak pepohonan kecil dan rerumputan. Di KM IV ini jalurnya tidak terlalu menanjak.
Kilomater V Jalur Lama
KM V dimulai dari tanjakan yang cukup tajam di Bukit Genus sampai Sedelupak Roto kondisi jalannya tanah merah dan berpasir. Secara keseluruhan jalur di KM V ini merupakan tanjakan yang cukup tajam.
Kilomater VI
KM VI dimulai dari kawasan Sedelupak Roto kemudian memasuki kawasan PESTAN (2.437 m dpl). Di kawasan ini bertemunya jalur lama dan jalur baru. PESTAN merupakan kawasan yang hampir keseluruhannya rerumputan dan hanya ada beberapa pepohonan kecil. Kondisi jalannya tanah merah berpasir. Di PESTAN badainya cukup besar dan berbahaya. Namun aku kemarin bertemu dengan pendaki yang mendirikan tenda. Kemudian pendaki sampai di jalan yang penuh dengan batu di depannya di sebuah dinding batu yang berdiri. Kawasan ini disebut Pasar Watu. Untuk menuju ke puncak pendaki harus mengambil jalan ke kiri menurun karena yang lurus dan menanjak adalah jalan buntu kemudian pendaki berjalan di bawah dinding batu yang memanjang sampai di wilayah Watu Kotak (2.763 m dpl). Kondisi jalannya tanah merah berbatu. Watu Kotak merupakan batas KM VI.
Kilomater VII
KM VII dari Watu Kotak mendaki melewati jalan yang penuh batuan kecil dan cukup licin sampai di Tanah Putih kemudian mendaki lagi sampai di Puncak Buntu. Untuk menuju ke Kawah Sumbing, 100 meter sebelum puncak buntu pendaki harus mengambil jalan ke kiri mendatar dan menuruni jalur yang berada tepat di bawah Puncak Buntu.
Setelah menuruni turunan yang cukup curam dan pendaki harus berhati-hati maka pendaki akan sampai di aliran air kawah dimana jika pendaki mengambil ke kiri akan menuju Segoro Wedi dan jika mengambil ke arah kanan menanjak kemudian mendatar mengikuti kepulan asap kawah maka pendaki akan sampai di makan Eyang Makukuhan.
6.  Angin yang menerjang dan lelah seusai seharian berjalan membuatku tidak bertahan lama untuk saling berbagi pengalaman dengan Mas Gesang. Kami hanya mengobrol sekitar 2 jam. Malam ini aku tidur dengan nyenyak dan di tengah malam kawan-kawan Semarang memulai acara Suroannya dengan khusyu’ dan khidmat.
7.  Pagi ini angin membangunkanku dari lelap. Sebenarnya aku malas untuk bangun namun angin membalikkan tendaku dan memasakku keluar untuk melipat tenda. Kawan-kawan Semarang juga melakukan hal yang sama untuk bisa segera memulai perjalanan pulang.
8.  Pukul 10.00 WIB kami sampai di PESTAN dan beristirahat. Kami mengikuti Jalur Baru untuk turun karena di Pos II Gatakan terdapat aliran air sehingga kami dapat masak mie dan minum karena persediaan air kami hampir habis.
9.  Pukul 11.00 WIB kami sampai di Pos 2 Gatakan Jalur Baru dan memasak mie. Pukul 13.00 WIB kami telah sampai di Base Camp Sumbing dan beristirahat sebentar. Kawan-kawan Semarang pulang dan aku menuju Base Camp Sindoro untuk menyiapkan diri mendaki Gunung Sindoro.
Kilomater V Jalur Baru
KM V Jalur Baru dari kawasan PESTAN sampai di Pos II Gatakan (2.240 m dpl). Untuk mendapatkan Jalur Baru ambil arah ke kiri mengikuti turunan tajam dengan kondisi tanah merah berpasir yang cukup licin.
Kilomater IV Jalur Baru
KM IV Jalur Baru masih menuruni tanah merah berpasir yang cukup licin kemudian akan sampai di hutan remaja dan akan menemui Bangunan Pos II dan kemudian masuk kawasan Kedung.
Kilomater II dan III Jalur Baru
KM II dan III Jalur Baru melewati rute dengan tanah merah dan mengikuti rute ladang petani kemudian sampai di Jembatan II. Memaskui Hutan Bambu yang sekarang tinggal sedikit akan mendapati Jembatan I di ujungnya dan mengambil arah kanan (telah memasuki rumah-rumah penduduk) dan akhirnya bertemu dengan Jalur Lama untuk sampai ke arah Masjid Al Mansyur dan Base Camp Sumbing.

GUNUNG SINDOROPendakian ke Gunung Sindoro ditempuh melalui rute Kledung Temanggung Jawa Tengah. Dari Base Camp Sumbing sekitar 1 KM untuk sampai ke Base Camp Sindoro meski begitu sudah berlainan wilayah. Kalau Masecamp Sumbing masuk Kabupaten Wonosobo sedangkan Base Camp Sindoro masuk Kabupaten Temanggung.
KISAH PENDAKIAN GUNUNG SUNDORO VIA KLEDUNG
1.  Aku tiba pukul 16.00 WIB di Base Camp Sindoro (HP. 081328096081). Aku berkenalan dengan Mas Benny dari Pekalongan yang akan mendaki malam ini. Karena aku belum pernah ke Sindoro maka aku mengikuti skenario pendakian Mas Benny dan Team. Namun malam ini gerimis yang turun sejak sore tadi berubah menjadi hujan sehingga menunggu hujan reda aku berbincang-bincang dengan Mas Benny dan kawan-kawan.
2.  Aku heran dengan kawan-kawan Pekalongan ini. Mereka telah mendaki berkali-kali Gunung Sindoro namun tidak merasa jenuh dan bosan untuk mendaki lagi dalam mengisi liburan akhir tahun 2008. Sungguh jauh berbeda denganku yang gampang bosan sehingga malas mendaki gunung yang sama apalagi memakai skenario pendakian yang sama.
3.  Senin, 29 Desember 2008 pukul 21.00 WIB kami akhirnya meluncur menuju jalan-jalan yang telah bertahun-tahun digunakan untuk mendaki Gunung Sindoro. Baru beberapa puluh meter tiba-tiba 2 kawan dari Solo turut bergabung dan karena ada tas yang tertinggal di Base Camp maka aku menunggu kawan Solo tersebut mengambil tas. Kami berjalan di belakang tertinggal dari kawan-kawan Pekalongan namun aku dan kawan Solo santai saja.
4.  Ternyata 2 kawan Solo: P Bambang ‘Tole’ dan Toni juga sama-sama usai mendaki Gunung Sumbing dan setelah mengkonfrontasikan fakta dan peristiwa yang terjadi ternyata mereka yang berkenalan denganku di malam sesaat aku sampai di Base Camp Sumbing.
5.  Di sebuah Pos Bayangan sebelum sampai di Pos I hujan turun dengan lebat sehingga kami cukup tergesa-gesa mendirikan tenda. Malam ini kami tidur kurang nyenyak karena tenda kami tembus oleh embun dan air hujan. Aku nimbrung di tenda kawan Pekalongan.
6.  Selasa, 30 Desember 2008 pukul 07.30 WIB kami melanjutkan perjalanan. Ternyata 2 kawan dari Solo bertemu dengan kawan-kawan Solo lainnya yang masih santai dengan pagi yang teduh. Akhirnya dan P. Bambang ‘Tole’ jalan duluan dan berjanji menunggu kawan-kawan Solo yang lain di Pos 3.
7.  Di Pos 3 kami menunggu kawan-kawan Solo sedangkan kawan-kawan Pekalongan melanjutkan perjalanan lebih dulu. Beberapa lama menunggu akhirnya kawan-kawan Solo sampai dan kini komposisi kawan-kawan Solo lengkap untuk melanjutkan pendakian ini.
8.  Melihat beberapa kawan BTSLOPALA kecapekan kuputuskan untuk terus berjalan dengan 2 kawan BTSLOPALA yang masih terus bersemangat melaju. Mendekati area puncak aku bertemu dengan kawan-kawan Pekalongan yang ternyata telah sampai di puncak lebih dulu. Mereka bilang tidak kuat bertahan lama di puncak. Cuaca tidak mendukung. Persediaan air juga habis dan untuk mengambil air di Kawah Mati juga dihadapkan medan terjal dan licin ditambah kencangnya angin. Berikut ini ringkasan jalur tempuhnya:
1) Perjalanan dari base camp ke Pos I (±1,5 jam)
Pos I merupakan pos yang terbuat dari kayu dan masih di Ladang Baru. Pendakian kemarin di Pos I terdapat warung yang menyediakan minuman (kopi dan teh) dan makanan nasi serta gorengan (kue-kue juga ada) .
2)  Pos I ke Pos II (±1jam)
Pos I ke Pos II berpindah punggungan jadi sebelum sampai Pos II kurang lebih perjalanan seperempat jam dari Pos I ambil jalur kanan yang sedikit agak turun melewati lembah.
3)  Pos II ke Pos III (±1,5 jam)
Jalur ini agak menanjak. Sampai di Pos III berarti separuh perjalanan menuju puncak telah terlewati. Pendakian kemarin di Pos III terdapat warung yang menyediakan minuman (kopi dan teh) dan makanan nasi serta gorengan (kue-kue juga ada).
4)  Pos III ke Pos IV atau Batu Tatah (±1,5 jam)
Rute Batu Tatah merupakan rute terbuka yang terdiri dari batu-batu besar dan lumayan melelahkan. Karena angin yang cukup kencang maka alangkah baiknya tidak mendirikan tenda disini.
5)  Pos IV ke Padang Edelweis (±1,5 jam)
Sebelum sampai di Padang Edelweis, pendaki melewati Hutan Lamtoro yang merupakan perbatasan dengan Padang Edelweis. Padang Edelweis merupakan wilayah puncak dan diyakini merupakan kawasan Pasang Edelweis terluas di semua gunung namun dari pengamatanku masih kalah dengan Padang Edelweis di Gunung Argopuro.
6)  Padang Edelweis ke Puncak (±1 jam)
Disajikan pemandangan indahnya Padang Edelweis menuju Puncak Gunung Sindoro.
7)  Mengelilingi Puncak (sekehendak hati pendaki bisa lama bisa cepat tergantung mood)
Pendaki dapat menikmati Puncak Sindoro dengan memutari puncak baik dari sisi kiri maupun sisi kanan tidak ada masalah. Di puncak pendaki dapat menikmati eksotika alun-alun Puncak Sindoro dan Kawah Mati. Keindahan Pegunungan Dieng juga dapat dilihat dengan jelas. Jika pendaki berani maka pendaki dapat turun ke lubang kawah mati dan berenang sampai puas.
9.   Pukul 16.00 WIB aku sampai di Puncak Sindoro dengan disambut kabut super tebal dan angin super kencang. Pantas saja kawan-kawan Pekalongan segera turun karena tidak tahan dengan cuaca yang tidak bersahabat ini. Namun aku masih menguatkan diri untuk mengabadikan beberapa momen dan beberapa tempat sebelum mencari tempat berlindung dari angin dan kabut sambil menunggu kawan-kawan Solo tiba.
10. Aku bertemu dengan kelompok Sragen dan salah satu dari mereka mau kuajak mengambil air di Kawah Mati. Perjalanan ini mengingatkan pendakian spektakulerku di awal Bulan Nopember lalu di Gunung Raung. Bukannya takut akan medan yang mencekam ini sebaliknya aku semakin bergairah dan terbayarlah segala harta benda dan tenaga serta waktu yang kukorbankan demi misi ini. Sesampai di Kawah Mati jarak pandang hanya sekitar 3 meter saja. Tetapi aku yakin Kawah Mati aman untukku.
11. Setelah mengisi 3 botol ukuran satu setengah liter aku bergegas kembali ke puncak dan tidak berapa lama kemudian 2 kawan BTSLOPALA tiba. Kami memutuskan untuk bermalam saja karena waktu petang telah tiba. Dan benar saja belum tenda selesai didirikan semua angin kencang dan hujan deras mengguyur kami sehingga kami hanya bisa mendirikan 2 tenda dari 3 tenda yang direncanakan. Tenda ketiga memang berdiri namun tidak bisa ditinggali. Kami tidak kuat dengan kondisi cuaca yang sangat tidak bersahabat ini. Lebih dari separuh malam kami tidak mampu berbuat apa-apa selain memegangi tenda agar tidak kabur atau menata jatuhnya air agar tidak masuk atau merembes. Dan tetap saja air masuk ke tendaku Coleman Pack 1 ku. Sedih!
12. Rabo, 31 Desember 2008 pukul 07.30 WIB aku dan kawan-kawan BTSLOPALA bergegas turun. Data Statistik menunjukkan bahwa menjelang siang hujan suka turun jadi kami berpacu dengan mendung. Pukul 12.00 WIB aku dan P. Bambang Tole tiba di Base Camp Sindoro dan sejam kemudian hujan turun dengan deras. Aku mengkhawatirkan kondisi kawan-kawan BTSLOPALA yang masih tertinggal di belakang.
13. Dan memang benar, kawan-kawan BTSLOPALA basah kuyup diguyur hujan deras ini. Tetapi syukur semua baik-baik saja.

GUNUNG UNGARAN
Gunung Ungaran sarat dengan cerita Jaman Perjuangan Tempo Dulu dan Jaman Perjuangan kawan-kawan Pecinta Alam. Mas Gesang memiliki banyak cerita dan pengalaman hidup di Gunung Ungaran ini yang membuatku kagum dan semakin membuka mataku bahwa selama ini aku berada dalam Fase Jahiliyah dari sekian tahapan kecintaanku terhadap gunung-belantara.
Di tahun baru ini ribuan manusia memadati area di sekitar perkampungan hingga perkemahan sampai puncak Gunung Ungaran untuk menjadi saksi pergantian tahun Masehi. Semangat ini yang mengundangku untuk menyatroni tempat ini disela-sela pendakian 7 gunung di penghujung tahun 2008 dan awal tahun 2009.
KISAH PENDAKIAN GUNUNG UNGARAN
Aku tiba di Base Camp terakhir Ungaran pukul 00.00 WIB bersama dengan Mas Gesang dan P. Bambang ‘Tole’ setelah melalui perjalanan panjang dari Base Camp Gunung Sindoro Kledung Temanggung. Aku benar-benar mendapatkan pencerahan tentang arti persahabatan dari kedua kawan yang baru kukenal belum sampai seminggu ini dari hasil pendakianku di Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.
Di tempat yang dipenuhi ribuan manusia ini kami disambut Mas Power dengan gaya yang khas memberikan referensi baru bagiku. Apalagi cerita kehebatan petualangan Mas Gesang dan Mas Power membuatku semakin terinspirasi. Kiprah mereka bagi perkembangan area Ungaran dan penduduknya menunjukkan aku masih jauh dari kata pecinta alam. Kami pun mendirikan tenda di pukul 02.00 WIB setelah ngopi di warung.
Pukul 04.00 WIB mas Gesang membangunkanku karena kita sudah janjian untuk mendaki Gunung Ungaran di waktu itu. Sedangkan P. Bambang ‘Tole’ harus cabut balik ke Semarang karena ternyata dia harus masuk kerja di Tahun Baru ini.
Baru seperempat jam aku dan Mas Gesang berjalan kusadari kalau MP3-ku terjatuh dan hilang. Tetapi aku tidak berhenti atau balik mencari. Kami terus berjalan meresapi apa yang bisa kami rasakan. Terapi unsur hara bagi tubuhku yang semakin susut akibat petualangan ini (Pendakian Estafet 7 Gunung).
Kami tidak langsung mendaki ke Puncak Gunung Ungaran tetapi mampir dulu ke Desa Promasan dimana beberapa tahun yang lalu merupakan (seperti) rumah Mas Gesang dan kawan-kawan yang tergabung dalam GSU. Ternyata di Promasan juga tidak kalah ramai dengan Base Camp tempat aku mendirikan tenda. Dan yang lebih mengejutkanku ternyata Mas Gesang sudah sangat dikenal sebagaimana ceritanya padahal dia telah lama tidak ke Promasan lagi setelah menempuh petualangan di Kalimantan dan kemudian berkeluarga serta terus berupaya sekuat tenaga menciptakan keluarga idaman.
Banyak juga kawan-kawan lama yang lagi acara tahun baruan di Promasan dan salah satunya adalah Mas Aan atau biasa dipanggil Mas Nyonyo karena dulu pernah dikejar Anjing yang namanya Nyonyo. Bisa-bisa aja nama itu muncul e e e.
Pertemuan dengan kawan lama selalu dipenuhi dengan antusiasme dan canda tawa serta cerita. Kemudian kulihat keharuan ketika Mas Gesang ketemu dengan Nenek dan Kakek yang menganggap Mas Gesang seperti Cucu sendiri. Berarti dulu Mas Gesang disayang karena sangat peduli dengan warga Promasan. Dan itu kudengar sendiri dari warga Promasan.
Nama Promasan ternyata berasal dari nama Candi Promasan. Desa ini adalah desa pemetik teh dan karena alamnya yang masih bagus tentara menggunakan tempat ini untuk latihan juga. Setelah beramah-tamah pukul 08.00 WIB aku dan Mas Gesang mendaki ke Puncak Gunung Ungaran karena Mas Nyonyo tidak bersedia menemani mendaki karena harus menjaga anaknya yang mulai dikenalkan dengan alam.
Ternyata Gunung Ungaran kalau habis turun hujan sangat becek dan licin. Meski begitu hanya butuh waktu satu jam untuk sampai di puncak dari Desa Promasan dan tidak sampai setengah jam untuk turun. Memang aku dan Mas Gesang hanya 10 menit menghabiskan waktu di Puncak. Kami balik ke Desa Promasan.
Di Desa Promasan di rumah Kakek dan Nenek kami sarapan dan tentu Mas Gesang ingin berlama-lama bersua dan mereka berdua. Kerinduan setelah sekian tahun lamanya tidak ketemu. Sampai-sampai cucu Kakek dan Nenek yang dulunya diajak main oleh Mas Gesang ternyata sudah berkeluarga. Fakta ini tentunya menyulut canda tawa yang sangat menyentuhku. Oh dimana kontribusiku pada alam dan warganya Tuhan!
Pukul 11.00 WIB aku dan Mas Gesang bergegas kembali ke Base Camp Ungaran tempat kami meninggalkan tenda. Tidak sampai sejam kemudian kami tiba dan ternyata telah sepi yang terlihat hanya Mas Nyonyo dan kawan-kawan penghuni basecamp.
Mas Nyonyo dan lainnya jalan kaki ke Pasar Jimbaran untuk mendapatkan kendaraan umum menuju ke Semarang. Sedangkan aku dan Mas Gesang serta anaknya Mas Nyonyo melaju ke Semarang dengan motor klasiknya Mas Gesang.
Berbagai kendala menghiasi perjalanan ke Semarang. Namun aku bersyukur akhirnya dapat silaturahmi ke rumah Mas Nyonyo dan Sekretariat (Rumah P. Khalid) serta mampir ke Rumah P. Lookman sebelum melanjutkan perjalanan ke Gunung Lawu.
Alhamdulillah!

GUNUNG LAWU
Gunung Lawu terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Puncak tertinggi gunung Lawu (Puncak Argo Dumilah) berada pada ketingggian 3.265 m dpl. Kompleks Gunung Lawu ini memiliki luas 400 km2 dengan Kawah Candradimuka yang masih sering mengeluarkan uap air panas dan bau belerang. Terdapat dua buah Kawah tua di dekat puncak Gunung Lawu yakni Kawah Telaga Kuning and Kawah Telaga Lembung Selayur.
Banyak sekali tempat-tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat sehingga tidak hanya anak muda, tetapi banyak orang tua yang mendaki gunung Lawu untuk berjiarah. Masyarakat Jawa percaya bahwa puncak gunung Lawu dahulunya adalah merupakan kerajaan yang pertama kali di pulau Jawa. Gunung Lawu ini sangat berarti bagi Masyarakat Jawa terutama mereka yang masih percaya dengan Dunia Gaib. Aku pernah mendengar cerita suatu ketika tempat-tempat keramat di Gunung Lawu ini diobrak-abrik oleh orang-orang yang tidak menyukainya, namun mereka mengalami celaka bahkan mati mengenaskan. Untuk itu sebagai pendaki yang tidak percaya dengan tempat-tempat keramat di gunung Lawu, aku tetap menghargai kepercayaan masyarakat setempat.
KISAH PENDAKIAN GUNUNG LAWU VIA CEMORO KANDANG à CEMORO SEWU
1.  Minggu, 4 Januari 2009. Akhirnya apa yang kuperkirakan itu terjadi juga. Gunung Lawu menantangku datang sendiri dan mendaki sendiri. Aku terima tantangan itu. Aku tiba di Cemoro Kandang tepat pukul 16.00 WIB setelah menempuh 2 jam perjalanan dari Terminal Kertonadi Solo ke Terminal Tawangmangu dan 1 jam perjalanan dari Terminal Tawangmangu ke Cemoro Kandang.
2.  Cuaca sedang tidak bersahabat. Mendung dan angin menguatkan pertanda ini. Ada 4 peziarah dari Solo mengajakku untuk berangkat malam namun aku ingin mendaki esok pagi saja. Aku merasa tidak enak badan. Mulai maghrib sampai fajar menyinsing hanya aku habiskan dalam kantong tidurku (sleeping bag).
3.  Sebenarnya Gunung Lawu sangat menantang andaikan jalur yang ada tidak dipermak sedemikian rupa sehingga sisa ketinggian pendakian hanya sampai 1.500 m dpl lagi karena ketinggian Cemoro Kandang sudah 1.830 m dpl dari ketinggian Gunung Lawu 3.265 m dpl. Kondisi ini diperparah dengan permak total jalur Cemoro Sewu sehingga suasana petualang terhenti oleh polesan tangan-tangan tidak memiliki jiwa petualang.
Gunung Lawu terletak di perbatasan Surakarta dan Magetan dengan ketinggian 3.265 m dpl. Suhu udara puncak mencapai ± 40 di waktu malam dan ± 50 di waktu pagi. Flora dan fauna yang masih bisa ditemui antara lain Manis Rejo, Kemlandingan Gunung, Cemoro Gunung, Pisang, Akasia, Harimau, Lutung, Babi Hutan dan lain-lain.
Beberapa ritual yang dipercaya peziarah adalah:
1)   Hargodalem
Tempat berziarah dan mohon kekuatan gaib pada Sunan Lawu (Brawijaya V)
2)   Sendang Drajat
Sumber mata air tertinggi untuk kebutuhan minum dan memasak para pendaki Puncak Lawu dan juga bisa mandi ritual bagi yang bermaksud meningkatkan pangkat/derajat.
3)   Pasar Dieng
Tempat permohonan kelancaran dalam berbisnis
4)   Guwo Segolo-golo/Sumur Jolotundo
Tempat permohonan untuk mempunyai kekuatan gaib dan kekuatan jasmani dan rohani
5)   Lumbung Selayur
Tempat permohonan petani untuk bercocok tanam
6)   Selo Pundutan
Berupa batu menurut keyakinan dapat meraih cita-cita seseorang dengan cara mengangkat batu tersebut
7)   Sendang Panguripan
Airnya dipercaya untuk memperlancar mengatasi masalah kehidupan
4.  Senin, 5 Januari 2009 pukul 07.00 WIB aku memulai langkah meninggalkan Base Camp Cemoro Kandang. Mendaki dengan keadaan tidak enak badan membuat langkahku lambat dan aku merasa pundak tidak seberat sebelumnya.
5.  Pukul 08.00 WIB aku sampai di Pos 1 dengan nama Taman Sari Bawah bertemu dengan sebuah warung kecil. Untuk menghargai pemilik warung aku mampir dan mengambil sebotol Sprite untuk mengeluarkan angin di tubuhku dan menghapus pahit di lidahku.
6.  Pukul 09.00 WIB aku sampai di Pos 2 dengan nama Taman Sari Atas. Selain bangunan berukuran lumayan panjang juga terdapat kayu batangan yang telah ditata sehingga siap sebagai tempat berdirinya tenda.
7. Perjalanan menuju Pos 3 cukup lama. Selain memang rutenya lebih jauh dibandingkan jarak antar pos lainnya, juga karena badanku semakin tidak nyaman, mataku terasa panas dan kepalaku agak pening sehingga aku menghabiskan banyak waktu untuk istirahat. Pukul 11.00 WIB akhirnya aku sampai di Pos 3 dengan nama Pos Penggik. Di Pos 3 ini aku menghabiskan waktu untuk memasak sekaligus istirahat memulihkan kondisi sambil menunggu hujan reda. Aku beruntung lebih dulu sampai di Pos 3 sebelum hujan turun. Dua jam akhirnya hujan reda dan pukul 14.00 WIB aku melanjutkan perjalanan.
8.  Pukul 15.00 WIB aku sampai di Pos 4 yang bernama Cokro Suryo dimana bangunannya agak rusak atapnya dan memiliki halaman yang sangat luas. Terdapat 2 In Memoriam yang terlihat olehku.
9. Pukul 15.40 WIB aku sampai di Pos 5 yang merupakan pertigaan antara Argodumilah dan Argodalem. Aku memutuskan ke Argodalem terlebih dahulu.
10. Pukul 16.00 WIB aku mencapai sebuah tempat dengan tugu penanda puncak yang bertuliskan nama salah satu kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Banyak sesajen di sekeliling tugu tersebut tetapi aku tidak peduli.
11. Setelah puas melakukan ritual sebagaimana kulakukan setiap di sebuah puncak gunung aku beranjak ke sisi barat dimana terdapat tebing yang menghadap sebuah bukit sisi barat Gunung Lawu yang kelewati tadi. Tampak pemandangan menakjubkan. Sebuah sunset yang sempurna. Kemudian datang 3 kawan dari Tawangmangu dan kami berempat duduk menikmati pemandangan matahari tenggelam.
12. Malam ini cuaca sangat bersahabat. Langit cerah dan angin pun bertiup sewajarnya. Aku mendirikan tenda di area Sendang Drajat bersama kawan-kawan dari Tawangmangu. Beberapa waktu lamanya aku berapi unggun sampai kayu bakar ini habis yang kemudian membawaku beranjak ke pangkuan malam. Sendiri dalam tenda Coleman Pack 1-ku yang setia menemaniku dalam Pendakian Estafet 7 Gunung di Penghujung Tahun 2008 dan Awal 2009.
13. Selasa, 6 Januari 2009 Tuhan menganugerahkan sunrise yang begitu indah. Pagi ini kuisi dengan jalan-jalan ke Hargodalem dan sekitarnya. Di Hargodalem ada tempat yang menarik perhatianku yaitu tempat ritual dan rumah kaleng. Setelah mengabadikan beberapa tempat aku bergegas kembali ke tempat bermalamku.
14. Setelah berkemas aku dan kawan-kawan Karanganyar serta anak-anak SMA dari Yogyakarta memulai perjalanan pulang lewat jalur Cemoro Sewu pukul 08.00 WIB.
15. Jalur Cemoro Sewu menyajikan view Magetan. Terlihat jelas Telaga Sarangan dan wisma-wismanya. Aku terhibur dalam perjalanan turun ini.
Route Summary
SOLO - GUNUNG LAWU - CEMORO KANDANG
No. Rute Jarak Waktu
1. Solo - Tawangmangu (1305m ) 40 km 2 jam
2. Tawangmangu - Cemoro Kandang ( Pintu Masuk ) 1,5 km 30 menit
3. Cemoro Kandang – Pos 1 Taman Sari Bawah ( 2.300m ) 60 menit
4. Taman Sari Bawah - Pos 2 Taman Sari Atas ( 2.470m ) 45 menit
5. Taman Sari Atas - Pos 3 Pos Penggik ( 2.760m ) 105 menit
6. Pos Penggik - Pos 4 Cokro Suryo ( 3.025m ) 70 menit
7. Cokro Suryo - Pos 5 ( 3.150m ) 45 menit
8. Pos 5 - Argo Dalem ( 3.170m ) 15 menit
9. Pos 5 - Puncak Argo Dumilah ( 3.265m ) 45 menit
SOLO - GUNUNG LAWU - CEMORO SEWU
No. Rute Jarak
1. Solo - Tawangmangu 40 km
2. Tawangmangu - Cemoro Sewu ( Pintu Masuk ) 2 km
3. Cemoro Sewu - Pos 1 1,99 Km
4. Pos 1 - Pos 2 2,25 Km
5. Pos 2 - Pos 3 0,7 Km
6. Pos 3 - Pos 4 1,75 Km
7. Pos 4 - Pos 5 ( Sumur Jolotundo ) 0,2 Km
8. Pos 5 - Argo Dalem 0,2 Km
9. Argo Dalem - Puncak Argo Dumilah 0,2 Km

Warning:
Tulisan ini berisikan materi yang masih perlu disempurnakan lagi. Oleh karenanya bagi pihak-pihak yang merasa ada dalam cerita ini diharapkan memberikan koreksinya. Terima kasih.