Rabu, 19 April 2017

Apakah Pendaki penyembah pohon?

Pernahkan meluangkan waktu sejenak untuk menatap dan berpikir lama pada sebuah pemandangan, yakni pohon besar di pinggir jalan protokol ibukota? Sebuah pohon yang rindang, berdaun hijau kehitaman karena tempelan asap dan debu polusi. Batangnya terdapat tempelan tulisan dan gambar iklan dan bekas tancapan pakunya masih terlihat di bagian batang lain, namun tak mengurangi kekokohannya. Makhluk yang tangguh dan mengagumkan bagi yang mau berpikir. Tahan terik panas matahari dan baik hati meneduhkan jasad manusia dari panas.

Demikianlah kenapa banyak Pendaki yang mengagumi sebatang pohon. Setiap pohon hidup sendiri dan mengurusi dirinya sendiri. Mereka bahkan bermanfaat atau memberikan manfaat untuk menunjang kenyamanan manusia. Dari hasil tanaman dan seluruh bagian dari pohon bermanfaat bagi manusia. Pohon kelapa misalnya. Dari mulai batang, daun, dan buahnya dimanfaatkan oleh manusia. Ada sebagian Pendaki merasakan hal ini, dan sebagai ungkapan rasa syukurnya ia memberikan pakaian, sarung pada pohon ini. Dan kadang lama ia duduk, juga berdiri di bawah dan/atau berdiri di samping pohon. Bahkan saking besarnya ungkapan rasa terima kasihnya, ia sampai merendahkan kepalanya (bersujud) pada pohon tersebut.
Anehnya Pendaki lain yang tidak mengerti tentang apa yang ia rasakan menuduh bahwa ia menyembah pohon. Padahal ia tidak ‘bersujud’ kepada pohon karena meminta sesuatu. Ia merasakan manfaat besar dari pohon tersebut, oleh karenanya ia ‘bersujud’ syukur terhadap pohon tersebut.

Dahulu, leluhur Pendaki yang dituduh sebagai penganut animisme dikarenakan melakukan hal serupa. Menciptakan semacam peraturan yang tidak tertulis bahwa barang siapa akan menebang pohon mesti membuat sesajen. Terutama pohon-pohon besar. Kenapa? Karena para leluhur Pendaki merasakan manfaat adanya pohon-pohon rindang. Selain membuat udara tambah segar juga akar-akarnya mampu menyimpan air. Tidak heran di setiap pohon besar yang rindang sering ditemukan mata air. Banyak Pendaki lain yang memanfaatkan air dari mata air tersebut. Akarnya juga memeiliki kekuatan menahan tebing agar tidak longsor. Menyadari bahwa keberadaan pohon memberikan manfaat pada manusia dan juga membuat tanah tidak longsor, para leluhur Pendaki mempersulit orang untuk menebang pohon. Praktek demikian yang selama ini Pendaki lain anggap menyembah pohon. Betul jika dikatakan laku fisiknya menyembah, tetapi yang diminta adalah agar pohon dapat hidup dengan subur.
Kasih sayang Pendaki terhadap pohon dibuktikan oleh beberapa peneliti. Ada suatu penelitian yang menarik dilakukan penelti asal Jepang, Masaru Emoto. Memang tidak meneliti pohon secara langsung. Yang dilakukan oleh Masaru Emoto adalah meneliti tentang dampak doa, ucapan baik, dan ucapan buruk pada air. Perlu dicatat bahwa sebagian besar pohon terdiri dari air. Hasil penelitian terbukti bahwa molekul-molekul air dari sumber air yang diberikan doa dan ucapan terima kasih menghasilkan bentuk kristal yang indah.

Jadi air memiliki kekuatan merekam segala sesuatu yang dipikirkan manusia. Pikiran manusia bervibrasi dalam bentuk gelombang. Getaran ini tertangkap dan direkam oleh air. Pohon yang sebagian besar terdiri dari air sehingga tidak mengherankan ia mampu menangkap pikiran orang yang akan menyakitinya.

Suatu alat khusus ditemukan oleh seorang ahli untuk mendeteksi efek dari pikiran terhadap pohon. Dan ternyata dari hasil penelitian membuktikan bahwa sebatang pohon bisa merasakan niat orang. Suatu pohon didekati oleh orang yang tidak punya maksud apa-apa terhadap pohon. Sebutkan sebagai orang pertama. Orang kedua adalah yang sayang terhadap pohon tersebut. Terakhir adalah orang yang akan menebang pohon. Dari alat yang ditempelkan pada batang pohon tersebut, terlihat efek dari ketiga orang yang berbeda tujuannya. Yang paling ditakutkan pohon adalah efek dari orang yang akan menebang pohon tersebut. Jadi, bisa dikatakan bahwa pikiran adalah energi. Semua energi mengandung getaran yang bervibrasi. So, tolong jangan menyepelekan pikiran. Badan Pendaki 70 % terdiri dari air. Pikiran buruk Pendaki akan melukai diri sendiri sebelum merusak alam dan orang lain.

Deforestasi semena-mena terjadi ketika kearifan lokal tidak lagi dipahami. Nenek moyang Pendaki sadar dan tahu pesan semesta. Pohon adalah sumber kehidupan manusia. Tanpa pohon, dijamin manusia sengsara. Mulai tanaman musiman semacam padi saja-kemudian-kelapa (tanaman tahunan), dll. Ketika penghormatan terhadap pohon dianggap penyembahan terhadap berhala maka banyak pohon ditebang semena-mena. Akhirnya berbagai bencana seperti banjir, tanah longsor dan kekeringan, serta yang paling mengerikan-climate change-tidak dapat dihindarkan.

Kearifan leluhur mengajarkan kehidupan yang selaras dengan alam. Saling memberi. Pendaki (manusia) memelihara pohon, dan pohon memberikan manfaat pada pendaki. Wahai Pendaki lain, masih ragu atau tidak percaya?

Cobalah berjalan di siang hari mengelilingi lautan pasir Bromo. Atau silahkan bertowaf (berkeliling dari puncak macan, glenmore dan sejati, juga puncak barat) di Kaldera Raung yang melingkupi 3 kabupaten (Banyuwangi, Jember dan Bondowoso). Rasakan betapa tiada pohon terasa panas membakar jasad. Setelah itu pasti semua akan sepakat untuk ‘menyembah’ pohon.
 

Sabtu, 15 April 2017

Idjen-Wurung Crater 8-9 July 2016



Hari ini akhirnya bisa juga mengawinkan Kawah Idjen dan Kawah Wurung. Sebelumnya selalu gagal, entah karena kecapekan, cuaca tidak mendukung seperti saat Juna usia 2 tahun 2 bulan dan tersesat (lokasi tidak ketemu) saat membawa Juna di usia 8 bulan.

Saat mudik lagi nanti sangat ingin camping di Kawah Wurung.

Perjalanan di mulai pada malam hari (8 Juli 2016) jam 21:30 WIB dari Srono-Banyuwangi. Sampai di Desa Tamansari Kecamatan Licin pukul 22.45 WIB. Di desa ini ada cegatan dengan membayar karcis untuk kas desa per motor Rp 5,000. Pada kesempatan ini kami manfaatkan istirahat, terutama Juna dan Mamanya yang didera kantuk berat. 

Pukul 23.15 WIB kami melanjutkan perjalanan dan tiba di Paltuding jam 12 kurang. Perjalanan kali ini lebih lancar dari biasanya karena sebelumnya menggunakan motor matic yang tidak sanggup untuk melewati tanjakan Erek-erek dan sekitarnya. Sehingga motor harus dituntun dan sempat mogok. Namun kali ini dengan motor baru Supra X 125 semua bablas termasuk perjalanan turun dengan memainkan gigi satu dan dua sangat membantu. Rasa was-was seperti saat perjalanan turun dengan matic seperti sebelumnya tidak lagi terasa.

Setelah bebersih dan membeli tiket masuk, pukul 00.30 kami memulai perjalanan ke Kawah Idjen dari Paltuding. Seperti yang sudah-sudah, Juna tidur dalam gendongan. 

Dengan tertatih-tatih pukul 3 dini hari sampailah kita bertiga di bibir kawah Idjen. Kami sempatkan turun setengah untuk mengabadikan blue fire. Selanjutnya naik lagi untuk mencari celah perlindungan dari dingin. Rasa dingin mendera kami sampai pukul 6.30. Maklum, sisi timur Kawah Idjen terhalang Gunung Merapi sehingga hangat mentari pagi baru dapat kami nikmati pukul 7 pagi.

Dua jam bersama mentari pagi kami nikmati dengan sarapan dan berfoto ria. Pukul 09.30 kami bergegas turun kembali ke Paltuding. Perjalanan jadi lebih ringan karena Milo telah terbangun sehingga bisa berjalan sendiri. Dasar anak kecil, gayanya ingin mandiri dengan tidak mau dipegangi dan berusaha mencari jalur sendiri.

Pukul 11:00 WIB kita bertiga tiba di Paltuding dan langsung melanjutkan perjalanan menuju ke Kawah Wurung setelah sebelumnya diwarnai perdebatan dan diskusi apakah akan langsung pulang atau mampir dulu ke Kawah Wurung.

Perjalanan ke Kawah Wurung dari Paltuding hanya memerlukan waktu 30 menit. Setelah mengisi perut dengan mie instan (warung belum menyediakan nasi) kita bertiga menuju puncak Wifi Kawah Wurung.

 
 

Kamis, 13 April 2017

Pulau Flores: Sang Nusa Giri

Pulau Flores merupakan salah satu pulau yang terletak di kawasan indonesia timur, tepatnya di propinsi Nusa Tenggara Timur (NTT). Banyaknya turis asing yang datang menikmati eksotisme pulau Flores menandakan bahwa keindahan pulau Flores telah terkenal sampai ke seantero dunia. Sebagai informasi, pulau Flores berasal dari bahasa portugis “Flores“ yang berarti “bunga“. Nama ini diberikan karena keindahan pulau Flores yang sangat memukau bagaikan bunga yang baru mekar sehingga pulau Flores mendapatkan julukan “Nusa Bunga“. Adapun julukan lain dari pulau Flores yaitu “Nusa Nipa“, yang artinya “Nusa Ular“. Ini disebabkan karena bentuk pulau Flores yang panjang bagaikan ular.

Saya sendiri berkesempatan mengunjungi pulau Flores dengan menjelajahi hampir 400 km mulai dari Bandara Komodo di Labuan Bajo sampai dengan kota Ende (Bandara H. Hasan Aroeboesman). Kesan begitu mendalam dan memang tak terbantahkan bahwa pulau Flores memang pantas dijuluki Nusa Bunga dan Nusa Nipa karena begitu mempesonanya.

Namun sebagai pendaki gunung, tidak salah bila saya memberikan julukan tambahan pada pulau Flore, yakni "Nusa Giri" dikarenakan selama 4 hari menelusuri pulau Flores yang nampak adalah gunung-gunung dan bukit-bukitnya. Mata ini begitu dimanja dengan hampir semua penjuru mata angin menampilkan sosok yang begitu akrab: gunung.

Hutan-hutannya. Gas belerangnya. Jurang-jurangnya. Tebing-tebingnya. Terutama dinginnya kota Ruteng dan Bajawa begitu meninggalkan kesan yang dalam dan akan selalu memberikan panggilan khusus pada diri ini untuk segera kembali ke pulau Flores.

Dan tidak kalah penting adalah mempelajari kearifan lokalnya selama bertemu dengan warga dimana diantaranya adalah Tetua Suku/Adat. Bagaimana mereka mengambil keputusan. Cara mereka mengharmonisasikan diri dengan alam. Dan jalan yang mereka tempuh untuk selalu bisa memaknai segala kondisi dari sisi kemanusiaan.

Gunung dan kearifan lokal adalah dua hal yang akan selalu melekat dalam setiap perjalananan saya. Karena di gunung kualirkan air keringat untuk menyehatkan jasmani dan pada kearifan lokal kualirkan air mata untuk membugarkan hati dan nurani ini.
Keterangan: Selamat Pagi kawan-kawan semua. Mari kita Ngopi di Gunung Inerie (2,245 mdpl). Gunung ini merupakan salah satu gunung berapi yang ada di Pulau Flores. Terletak di Kabupaten Ngada dan di kaki bukitnya ada kampung adat yang terkenal bernama Kampung Bena. Namun spot terbaik untuk menyaksikan view gunung yang kelihatan tidak tinggi ini dibanding gunung-gunung yang ada di Jawa adalah di Manulalu Bed&Breakfast yang bisa ditempuh selama 40 menit kota Bajawa via kendaraan pribadi. Dari Manulalu Bed&Breakfast kita akan menyaksikan Gunung Inerie dengan begitu jelas. Nama gunung Inerie sendiri diambil dari kata "Ine" yang artinya ibu, dan "Rie" yang artinya cantik. Jadi Gunung Inerie berarti ibu yang cantik. Gunung ini masih aktif dan catatan terakhir meletus pada tahun 1970.
 
Keterangan: (Sumber: Wikipedia) Gunung Ebulobo, juga dikenal sebagai Emburombu atau Puncak Nage Keo, adalah gunung stratovolcano yang terletak bagian selatan dari Kabupaten Nagekeo di Pulau Flores Nusa Tenggara Timur, Indonesia.
Gunung Ebulobo menjulang di atas Kecamatan Boa Wae, yang terletak di bawah lereng barat laut gunung tersebut. Bentuk gunung simetris dengan ketinggian 2124 m, dengan bagian atas kubah lava berbentuk datar. Sejarah letusannya, yang tercatat sejak 1830, antara lain berupa lelehan lava di lereng utara serta letusan-letusan eksplosif pada puncak kawahnya.