Jumat, 13 Februari 2009

Catatan Lintas Alam dalam Rangka Pembaretan Anggota Resimen Mahasiswa Tahun 2009 di Pantai Serang Blitar

Kegiatan ini dilaksanakan di akhir bulan Januari 2009 dengan peserta pembaretan sejumlah 7 orang dengan komposisi 4 orang peserta laki-laki dan 3 orang peserta wanita. Ruang lingkup kegiatan ini difokuskan pada bakti sosial untuk melatih sensitivitas sosial (social sensitivity) peserta, lintas medan (sungai, bukit, tebing, jembatan dan pantai) untuk mengasah ketahanan fisik dan mental serta untuk ketangkasan saat berada di alam bebas, dan beberapa kegiatan yang merupakan praktek langsung dari materi yang telah diperoleh pada masa persiapan sebelum berangkat.

Sekilas Medan Tempuh
Medan tempuh ini disiapkan oleh Tatag dan penulis. Medan tempuh yang kami (baca: satuan tugas) siapkan diawali dengan menuruni bukit menuju sungai musiman (ketika kemarau debit kecil dan bahkan tidak ada debit air yang mengalir). Di sungai ini terdapat tebing sungai yang cukup representatif karena memiliki ketinggian 20 meter dan aliran air yang cukup deras untuk dituruni peserta. Setelah selesai dengan susur sungai perjalanan dilanjutkan dengan mendaki perbukitan di sepanjang aliran sungai dan kembali menyeberangi sungai untuk mendaki bukit selanjutnya.

Variasi medan ini akan dikombinasikan dengan perjalanan di aspal agar medan yang ditempuh semakin variatif sebelum sampai di Pantai Serang pada hari ke-6. Pengalaman turun dari jembatan dengan tali akan menjadi salah satu maskot dalam pembaretan ini. Dan tentunya adalah pengalaman survival di salah satu area yang telah disiapkan akan sangat berkesan dan menjadikan perserta sebagai resimen mahasiswa yang tangguh.

Sekilas Pantai Serang
Pantai Serang masuk dalam wilayah Desa Serang Kecamatan Panggungrejo Kabupaten Blitar. Akses untuk sampai di Pantai Serang sangat mudah karena telah memiliki jalan beraspal yang bisa dilewati Bus. Oleh karenanya permasalahan transportasi tidak perlu dikhawatirkan. Pantai Serang memiliki view yang indah dan pasir putih yang luas. Namun yang penulis amati adalah sebuah batu karang yang digunakan untuk memancing oleh para penghobi memancing karena memiliki karakteristik yang unik dibandingkan pantai yang lain. Pertama, batu karang tersebut menjorok ke laut sehingga tali pancing bisa menjangkau ke air yang cukup dalam. Kedua, terdapat area yang luas dan terlindung dari angin sehingga pemancing bisa mendirikan tenda untuk beristirahat jika ingin memancing beberapa hari.

Analisa Penulis
Pembaretan selama 7 hari tentunya sangat berat bagi peserta dan panitia. Namun, demi mendapatkan anggota yang benar-benar teruji fisik, mental dan skill-nya maka lamanya waktu tidak menjadi persoalan serius. Setelah menjalani rutinitas yang sangat padat dengan kondisi alam yang tidak bersahabat (perubahan cuaca yang fluktuatif-panas.hujan deras dan angin kencang) maka sampailah pada malam yang dinantikan panitia yaitu prosesi pembaretan peserta.

Diawali dengan kegiatan Caraka Malam (atau Jurit Malam) dengan sandi 'MENWA 802' maka berjalan secara sendiri-sendiri peserta pembaretan dengan variasi medan: menyeberangi sungai, menyusuri pantai, mendaki bukit dan sampai di sebuah tempat seperti altar yang luas di atas tebing Pantai Serang.

Dengan kelihaian Satgas (baca: Panitia) maka satu peserta secara tidak sadar telah membocorkan pesan rahasia yang harus disampaikan kepada target. Sebuah kesalahan fatal.

Celaka tiga belas, peserta pun harus membayar mahal kesalahan fatal tersebut. Skenario selanjutnya adalah memasukkan soul dan feel kemenwaan pada para peserta di sebuah malam gulita di Pasir Pantai Serang. Kami para Satgas begitu bangga dengan ketahanan fisik dan mental dari para peserta ketika melewati momen yang paling meneganggkan: menunjukkan Sakti, Bukti dan Bakti.

Setelah lebih dari sejam menunjukkan Sakti, Bukti dan Bakti, para peserta dan satgas begitu terharu dengan perjuangan mereka sampai air mata tidak terasa jatuh membasahi pipi dan bumi. Para peserta kemudian direcovery sebelum mengikuti upacara pembaretan. Selamat datang di Satuan Resimen Mahasiswa 802 Institut Teknologi Sepuluh Nopember (ITS) Surabaya. MENWA ITS JAYA. VIVATT!!

Jumat, 06 Februari 2009

Kisah Pendakian Estafet 7 Gunung di Penghujung Tahun 2008 dan Awal Tahun 2009 Bersama LaPenDoS-LelakiPenuhDosananSunyi (Bagian 3)

Bagian ketiga dari kisah ini merupakan cerita pamungkas yang menguraikan catatan perjalanan di Gunung Sumbing, Sindoro, Ungaran dan Lawu.

Usai mendaki di Gunung Merapi bersama Om Jawul dan kawan-kawan
, aku melanjutkan pendakian ke gunung berikutnya yaitu Gunung Sumbing. Sedangkan Om Jawul dan kawan-kawan balik ke Jawa Timur karena telah ditunggu rutinitas yang telah memberikan kompromi selama empat hari ini.

Usai berpisah dari Om Jawul dan kawan-kawan aku merasa agak kebingungan karena benar-benar buta transportasi untuk menuju ke Gunung Sumbing
. Pun sesungguhnya aku juga tidak tahu apakah harus mendaki Gunung Sumbing atau Gunung Sindoro. Setelah berganti 3 jenis transportasi sampailah aku di terminal Magelang. Oleh Kondektur Bus aku ditanya mau mendaki Gunung Sumbing dulu atau Gunung Sindoro. Karena tidak ada referensi sebelumnya maka aku bilang terserah mau diturunkan di gunung yang mana. Dan turunlah aku di depan gapura yang bertulisan Dusun Garung di waktu maghrib.

Inilah cerita selengkapnya sisa pendakian estafet 7 gunung itu
. Mohon koreksinya jika terdapat kekeliruan yang yang bersifat teknis maupun berupa persepsi penulis. Terimakasih!GUNUNG SUMBINGGunung Sumbing adalah gunung tertinggi ke dua di Jawa Tengah dengan ketinggian mencapai 3.371 meter di atas permukaan laut. Gunung ini berhadapan dengan Gunung Sindoro yang dikenal sebagai gunung kembar. Jalan menuju ke puncak pun terjal dan penuh liku namun belum mampu menggelincirkan semangatku. Sebuah petualangan yang sangat menarik dan menakjubkan.
KISAH PENDAKIAN GUNUNG SUMBING VIA GARUNG
1.   Dari Selo Boyolali aku harus berganti transportasi sampai 4 kali untuk bisa sampai di Dusun Garung Kabupaten Wonosobo. Mula-mula kendaraan terbuka, angkutan pedesaan, minibus dan bus. Petang hari aku baru tiba di pintu gerbang Dusun Garung. Setelah mengosongkan memory card Kamera Digital dengan memakai komputer kawannya Ghani aku meluncur dan sampai di Base Camp Sumbing tepat pukul 20.00 WIB.
2.  Di Base Camp Sumbing (HP. 086 868 611 446) aku disambut beberapa pemuda lokal yang menjaga Base Camp dan mengurusi administrasi pendakian Gunung Sumbing. Setelah menyelesaikan administrasi pendakian aku berkenalan dengan P. Khalid dan kawan-kawan dari Semarang yang akan mendaki esok pagi serta 2 orang dari Solo-P. Bambang ‘Tole’ dan Toni-yang nanti akan menjadi kawan pendakianku di Gunung Sindoro. Aku pun ikut bergabung dengan kawan-kawan dari Semarang.
3.  Sekilas mengenai Base Camp Sumbing. Base Camp ini merupakan Base Camp termewah dan terlengkap yang pernah aku datangi. Terdapat 2 kamar mandi, 4 WC dan tempat istirahat yang luas, bersih dan tertata membuatku kagum. Disini kita juga bisa menitipkan kendaraan baik roda 2 maupun roda 4 dengan aman.
4.  Minggu, 28 Desember 2008 kami mendapatkan pagi yang cerah dengan selimut kabut di puncak Sumbing dan begitu juga yang terlihat di puncak Sindoro. Bumi ini indah dengan permukaan yang bervariasi.
5.   Seusai sarapan kami bergegas melalui jalan yang telah tertata. Kami memilih Jalur Lama. Berturut-turut diawali jalan beraspal kemudian jalan berbatu dan jalan menanjak beralaskan tanah. Terengah-engah kami selingi dengan canda tawa dari kawan-kawan Semarang yang sangat ramah dan kocak. Beberapa jam saja kami telah melewati hutan remaja dan kemudian tertatih-tatih sampai di pertemuan jalur lama dan jalur baru (PESTAN). Kami berhenti agak lama dan melanjutkan perjalanan sampai di Pasar Watu pukul 12.00 WIB dan menghabiskan waktu sampai pukul 14.30 WIB. Dengan tambahan tenaga hasil dari makan siang kami sampai di puncak Sumbing pukul 16.00 WIB dan menikmati sore ini sampai pukul 17.00 WIB untuk kemudian turun ke kawah dan mendirikan tenda tepat di samping makam Eyang Makukuhan.
Kilomater I
Di awali dengan memasuki Gapura Dusun Garung dimana merupakan tempat berhentinya angkutan umum (bus) sampai perempatan jalan Dusun Garung. Jalan yang kutemui sudah diaspal sehingga bisa ditempuh kendaraan pribadi dan tersedia jasa ojek jika mau ngojek. Jarak Base Camp Sumbing dari Gapura Dusun Sumbing sekitar 300 meter.
Kilomater II dan III Jalur Lama
KM II dan KM III dari Masjid Al Mansyur (dekat Sekretariat Stick. Pala) belok ke kiri menanjak kurang lebih sejauh 200 meter kemudian jalur lebih landai melewati ladang pertanian sampai di perbatasan hutan di kawasan Bosweisen yang merupakan batas KM III. Kondisi jalan telah tertata diawali bebatuan tertata kemudian tanah merah tertata dan berpasir. KM II dan III merupakan jalur yang melewati ladang petani sehingga menyajikan pemandangan indah sistem pertanian terassering.
Kilomater IV Jalur Lama
KM IV dari perbatasan hutan dengan ladang petani disebut kawasan Bosweisen sampai di kawasan Genus. Kondisi jalan tanah liat dan tanah merah berpasir. Musim penghujan ini banyak pepohonan kecil dan rerumputan. Di KM IV ini jalurnya tidak terlalu menanjak.
Kilomater V Jalur Lama
KM V dimulai dari tanjakan yang cukup tajam di Bukit Genus sampai Sedelupak Roto kondisi jalannya tanah merah dan berpasir. Secara keseluruhan jalur di KM V ini merupakan tanjakan yang cukup tajam.
Kilomater VI
KM VI dimulai dari kawasan Sedelupak Roto kemudian memasuki kawasan PESTAN (2.437 m dpl). Di kawasan ini bertemunya jalur lama dan jalur baru. PESTAN merupakan kawasan yang hampir keseluruhannya rerumputan dan hanya ada beberapa pepohonan kecil. Kondisi jalannya tanah merah berpasir. Di PESTAN badainya cukup besar dan berbahaya. Namun aku kemarin bertemu dengan pendaki yang mendirikan tenda. Kemudian pendaki sampai di jalan yang penuh dengan batu di depannya di sebuah dinding batu yang berdiri. Kawasan ini disebut Pasar Watu. Untuk menuju ke puncak pendaki harus mengambil jalan ke kiri menurun karena yang lurus dan menanjak adalah jalan buntu kemudian pendaki berjalan di bawah dinding batu yang memanjang sampai di wilayah Watu Kotak (2.763 m dpl). Kondisi jalannya tanah merah berbatu. Watu Kotak merupakan batas KM VI.
Kilomater VII
KM VII dari Watu Kotak mendaki melewati jalan yang penuh batuan kecil dan cukup licin sampai di Tanah Putih kemudian mendaki lagi sampai di Puncak Buntu. Untuk menuju ke Kawah Sumbing, 100 meter sebelum puncak buntu pendaki harus mengambil jalan ke kiri mendatar dan menuruni jalur yang berada tepat di bawah Puncak Buntu.
Setelah menuruni turunan yang cukup curam dan pendaki harus berhati-hati maka pendaki akan sampai di aliran air kawah dimana jika pendaki mengambil ke kiri akan menuju Segoro Wedi dan jika mengambil ke arah kanan menanjak kemudian mendatar mengikuti kepulan asap kawah maka pendaki akan sampai di makan Eyang Makukuhan.
6.  Angin yang menerjang dan lelah seusai seharian berjalan membuatku tidak bertahan lama untuk saling berbagi pengalaman dengan Mas Gesang. Kami hanya mengobrol sekitar 2 jam. Malam ini aku tidur dengan nyenyak dan di tengah malam kawan-kawan Semarang memulai acara Suroannya dengan khusyu’ dan khidmat.
7.  Pagi ini angin membangunkanku dari lelap. Sebenarnya aku malas untuk bangun namun angin membalikkan tendaku dan memasakku keluar untuk melipat tenda. Kawan-kawan Semarang juga melakukan hal yang sama untuk bisa segera memulai perjalanan pulang.
8.  Pukul 10.00 WIB kami sampai di PESTAN dan beristirahat. Kami mengikuti Jalur Baru untuk turun karena di Pos II Gatakan terdapat aliran air sehingga kami dapat masak mie dan minum karena persediaan air kami hampir habis.
9.  Pukul 11.00 WIB kami sampai di Pos 2 Gatakan Jalur Baru dan memasak mie. Pukul 13.00 WIB kami telah sampai di Base Camp Sumbing dan beristirahat sebentar. Kawan-kawan Semarang pulang dan aku menuju Base Camp Sindoro untuk menyiapkan diri mendaki Gunung Sindoro.
Kilomater V Jalur Baru
KM V Jalur Baru dari kawasan PESTAN sampai di Pos II Gatakan (2.240 m dpl). Untuk mendapatkan Jalur Baru ambil arah ke kiri mengikuti turunan tajam dengan kondisi tanah merah berpasir yang cukup licin.
Kilomater IV Jalur Baru
KM IV Jalur Baru masih menuruni tanah merah berpasir yang cukup licin kemudian akan sampai di hutan remaja dan akan menemui Bangunan Pos II dan kemudian masuk kawasan Kedung.
Kilomater II dan III Jalur Baru
KM II dan III Jalur Baru melewati rute dengan tanah merah dan mengikuti rute ladang petani kemudian sampai di Jembatan II. Memaskui Hutan Bambu yang sekarang tinggal sedikit akan mendapati Jembatan I di ujungnya dan mengambil arah kanan (telah memasuki rumah-rumah penduduk) dan akhirnya bertemu dengan Jalur Lama untuk sampai ke arah Masjid Al Mansyur dan Base Camp Sumbing.

GUNUNG SINDOROPendakian ke Gunung Sindoro ditempuh melalui rute Kledung Temanggung Jawa Tengah. Dari Base Camp Sumbing sekitar 1 KM untuk sampai ke Base Camp Sindoro meski begitu sudah berlainan wilayah. Kalau Masecamp Sumbing masuk Kabupaten Wonosobo sedangkan Base Camp Sindoro masuk Kabupaten Temanggung.
KISAH PENDAKIAN GUNUNG SUNDORO VIA KLEDUNG
1.  Aku tiba pukul 16.00 WIB di Base Camp Sindoro (HP. 081328096081). Aku berkenalan dengan Mas Benny dari Pekalongan yang akan mendaki malam ini. Karena aku belum pernah ke Sindoro maka aku mengikuti skenario pendakian Mas Benny dan Team. Namun malam ini gerimis yang turun sejak sore tadi berubah menjadi hujan sehingga menunggu hujan reda aku berbincang-bincang dengan Mas Benny dan kawan-kawan.
2.  Aku heran dengan kawan-kawan Pekalongan ini. Mereka telah mendaki berkali-kali Gunung Sindoro namun tidak merasa jenuh dan bosan untuk mendaki lagi dalam mengisi liburan akhir tahun 2008. Sungguh jauh berbeda denganku yang gampang bosan sehingga malas mendaki gunung yang sama apalagi memakai skenario pendakian yang sama.
3.  Senin, 29 Desember 2008 pukul 21.00 WIB kami akhirnya meluncur menuju jalan-jalan yang telah bertahun-tahun digunakan untuk mendaki Gunung Sindoro. Baru beberapa puluh meter tiba-tiba 2 kawan dari Solo turut bergabung dan karena ada tas yang tertinggal di Base Camp maka aku menunggu kawan Solo tersebut mengambil tas. Kami berjalan di belakang tertinggal dari kawan-kawan Pekalongan namun aku dan kawan Solo santai saja.
4.  Ternyata 2 kawan Solo: P Bambang ‘Tole’ dan Toni juga sama-sama usai mendaki Gunung Sumbing dan setelah mengkonfrontasikan fakta dan peristiwa yang terjadi ternyata mereka yang berkenalan denganku di malam sesaat aku sampai di Base Camp Sumbing.
5.  Di sebuah Pos Bayangan sebelum sampai di Pos I hujan turun dengan lebat sehingga kami cukup tergesa-gesa mendirikan tenda. Malam ini kami tidur kurang nyenyak karena tenda kami tembus oleh embun dan air hujan. Aku nimbrung di tenda kawan Pekalongan.
6.  Selasa, 30 Desember 2008 pukul 07.30 WIB kami melanjutkan perjalanan. Ternyata 2 kawan dari Solo bertemu dengan kawan-kawan Solo lainnya yang masih santai dengan pagi yang teduh. Akhirnya dan P. Bambang ‘Tole’ jalan duluan dan berjanji menunggu kawan-kawan Solo yang lain di Pos 3.
7.  Di Pos 3 kami menunggu kawan-kawan Solo sedangkan kawan-kawan Pekalongan melanjutkan perjalanan lebih dulu. Beberapa lama menunggu akhirnya kawan-kawan Solo sampai dan kini komposisi kawan-kawan Solo lengkap untuk melanjutkan pendakian ini.
8.  Melihat beberapa kawan BTSLOPALA kecapekan kuputuskan untuk terus berjalan dengan 2 kawan BTSLOPALA yang masih terus bersemangat melaju. Mendekati area puncak aku bertemu dengan kawan-kawan Pekalongan yang ternyata telah sampai di puncak lebih dulu. Mereka bilang tidak kuat bertahan lama di puncak. Cuaca tidak mendukung. Persediaan air juga habis dan untuk mengambil air di Kawah Mati juga dihadapkan medan terjal dan licin ditambah kencangnya angin. Berikut ini ringkasan jalur tempuhnya:
1) Perjalanan dari base camp ke Pos I (±1,5 jam)
Pos I merupakan pos yang terbuat dari kayu dan masih di Ladang Baru. Pendakian kemarin di Pos I terdapat warung yang menyediakan minuman (kopi dan teh) dan makanan nasi serta gorengan (kue-kue juga ada) .
2)  Pos I ke Pos II (±1jam)
Pos I ke Pos II berpindah punggungan jadi sebelum sampai Pos II kurang lebih perjalanan seperempat jam dari Pos I ambil jalur kanan yang sedikit agak turun melewati lembah.
3)  Pos II ke Pos III (±1,5 jam)
Jalur ini agak menanjak. Sampai di Pos III berarti separuh perjalanan menuju puncak telah terlewati. Pendakian kemarin di Pos III terdapat warung yang menyediakan minuman (kopi dan teh) dan makanan nasi serta gorengan (kue-kue juga ada).
4)  Pos III ke Pos IV atau Batu Tatah (±1,5 jam)
Rute Batu Tatah merupakan rute terbuka yang terdiri dari batu-batu besar dan lumayan melelahkan. Karena angin yang cukup kencang maka alangkah baiknya tidak mendirikan tenda disini.
5)  Pos IV ke Padang Edelweis (±1,5 jam)
Sebelum sampai di Padang Edelweis, pendaki melewati Hutan Lamtoro yang merupakan perbatasan dengan Padang Edelweis. Padang Edelweis merupakan wilayah puncak dan diyakini merupakan kawasan Pasang Edelweis terluas di semua gunung namun dari pengamatanku masih kalah dengan Padang Edelweis di Gunung Argopuro.
6)  Padang Edelweis ke Puncak (±1 jam)
Disajikan pemandangan indahnya Padang Edelweis menuju Puncak Gunung Sindoro.
7)  Mengelilingi Puncak (sekehendak hati pendaki bisa lama bisa cepat tergantung mood)
Pendaki dapat menikmati Puncak Sindoro dengan memutari puncak baik dari sisi kiri maupun sisi kanan tidak ada masalah. Di puncak pendaki dapat menikmati eksotika alun-alun Puncak Sindoro dan Kawah Mati. Keindahan Pegunungan Dieng juga dapat dilihat dengan jelas. Jika pendaki berani maka pendaki dapat turun ke lubang kawah mati dan berenang sampai puas.
9.   Pukul 16.00 WIB aku sampai di Puncak Sindoro dengan disambut kabut super tebal dan angin super kencang. Pantas saja kawan-kawan Pekalongan segera turun karena tidak tahan dengan cuaca yang tidak bersahabat ini. Namun aku masih menguatkan diri untuk mengabadikan beberapa momen dan beberapa tempat sebelum mencari tempat berlindung dari angin dan kabut sambil menunggu kawan-kawan Solo tiba.
10. Aku bertemu dengan kelompok Sragen dan salah satu dari mereka mau kuajak mengambil air di Kawah Mati. Perjalanan ini mengingatkan pendakian spektakulerku di awal Bulan Nopember lalu di Gunung Raung. Bukannya takut akan medan yang mencekam ini sebaliknya aku semakin bergairah dan terbayarlah segala harta benda dan tenaga serta waktu yang kukorbankan demi misi ini. Sesampai di Kawah Mati jarak pandang hanya sekitar 3 meter saja. Tetapi aku yakin Kawah Mati aman untukku.
11. Setelah mengisi 3 botol ukuran satu setengah liter aku bergegas kembali ke puncak dan tidak berapa lama kemudian 2 kawan BTSLOPALA tiba. Kami memutuskan untuk bermalam saja karena waktu petang telah tiba. Dan benar saja belum tenda selesai didirikan semua angin kencang dan hujan deras mengguyur kami sehingga kami hanya bisa mendirikan 2 tenda dari 3 tenda yang direncanakan. Tenda ketiga memang berdiri namun tidak bisa ditinggali. Kami tidak kuat dengan kondisi cuaca yang sangat tidak bersahabat ini. Lebih dari separuh malam kami tidak mampu berbuat apa-apa selain memegangi tenda agar tidak kabur atau menata jatuhnya air agar tidak masuk atau merembes. Dan tetap saja air masuk ke tendaku Coleman Pack 1 ku. Sedih!
12. Rabo, 31 Desember 2008 pukul 07.30 WIB aku dan kawan-kawan BTSLOPALA bergegas turun. Data Statistik menunjukkan bahwa menjelang siang hujan suka turun jadi kami berpacu dengan mendung. Pukul 12.00 WIB aku dan P. Bambang Tole tiba di Base Camp Sindoro dan sejam kemudian hujan turun dengan deras. Aku mengkhawatirkan kondisi kawan-kawan BTSLOPALA yang masih tertinggal di belakang.
13. Dan memang benar, kawan-kawan BTSLOPALA basah kuyup diguyur hujan deras ini. Tetapi syukur semua baik-baik saja.

GUNUNG UNGARAN
Gunung Ungaran sarat dengan cerita Jaman Perjuangan Tempo Dulu dan Jaman Perjuangan kawan-kawan Pecinta Alam. Mas Gesang memiliki banyak cerita dan pengalaman hidup di Gunung Ungaran ini yang membuatku kagum dan semakin membuka mataku bahwa selama ini aku berada dalam Fase Jahiliyah dari sekian tahapan kecintaanku terhadap gunung-belantara.
Di tahun baru ini ribuan manusia memadati area di sekitar perkampungan hingga perkemahan sampai puncak Gunung Ungaran untuk menjadi saksi pergantian tahun Masehi. Semangat ini yang mengundangku untuk menyatroni tempat ini disela-sela pendakian 7 gunung di penghujung tahun 2008 dan awal tahun 2009.
KISAH PENDAKIAN GUNUNG UNGARAN
Aku tiba di Base Camp terakhir Ungaran pukul 00.00 WIB bersama dengan Mas Gesang dan P. Bambang ‘Tole’ setelah melalui perjalanan panjang dari Base Camp Gunung Sindoro Kledung Temanggung. Aku benar-benar mendapatkan pencerahan tentang arti persahabatan dari kedua kawan yang baru kukenal belum sampai seminggu ini dari hasil pendakianku di Gunung Sumbing dan Gunung Sindoro.
Di tempat yang dipenuhi ribuan manusia ini kami disambut Mas Power dengan gaya yang khas memberikan referensi baru bagiku. Apalagi cerita kehebatan petualangan Mas Gesang dan Mas Power membuatku semakin terinspirasi. Kiprah mereka bagi perkembangan area Ungaran dan penduduknya menunjukkan aku masih jauh dari kata pecinta alam. Kami pun mendirikan tenda di pukul 02.00 WIB setelah ngopi di warung.
Pukul 04.00 WIB mas Gesang membangunkanku karena kita sudah janjian untuk mendaki Gunung Ungaran di waktu itu. Sedangkan P. Bambang ‘Tole’ harus cabut balik ke Semarang karena ternyata dia harus masuk kerja di Tahun Baru ini.
Baru seperempat jam aku dan Mas Gesang berjalan kusadari kalau MP3-ku terjatuh dan hilang. Tetapi aku tidak berhenti atau balik mencari. Kami terus berjalan meresapi apa yang bisa kami rasakan. Terapi unsur hara bagi tubuhku yang semakin susut akibat petualangan ini (Pendakian Estafet 7 Gunung).
Kami tidak langsung mendaki ke Puncak Gunung Ungaran tetapi mampir dulu ke Desa Promasan dimana beberapa tahun yang lalu merupakan (seperti) rumah Mas Gesang dan kawan-kawan yang tergabung dalam GSU. Ternyata di Promasan juga tidak kalah ramai dengan Base Camp tempat aku mendirikan tenda. Dan yang lebih mengejutkanku ternyata Mas Gesang sudah sangat dikenal sebagaimana ceritanya padahal dia telah lama tidak ke Promasan lagi setelah menempuh petualangan di Kalimantan dan kemudian berkeluarga serta terus berupaya sekuat tenaga menciptakan keluarga idaman.
Banyak juga kawan-kawan lama yang lagi acara tahun baruan di Promasan dan salah satunya adalah Mas Aan atau biasa dipanggil Mas Nyonyo karena dulu pernah dikejar Anjing yang namanya Nyonyo. Bisa-bisa aja nama itu muncul e e e.
Pertemuan dengan kawan lama selalu dipenuhi dengan antusiasme dan canda tawa serta cerita. Kemudian kulihat keharuan ketika Mas Gesang ketemu dengan Nenek dan Kakek yang menganggap Mas Gesang seperti Cucu sendiri. Berarti dulu Mas Gesang disayang karena sangat peduli dengan warga Promasan. Dan itu kudengar sendiri dari warga Promasan.
Nama Promasan ternyata berasal dari nama Candi Promasan. Desa ini adalah desa pemetik teh dan karena alamnya yang masih bagus tentara menggunakan tempat ini untuk latihan juga. Setelah beramah-tamah pukul 08.00 WIB aku dan Mas Gesang mendaki ke Puncak Gunung Ungaran karena Mas Nyonyo tidak bersedia menemani mendaki karena harus menjaga anaknya yang mulai dikenalkan dengan alam.
Ternyata Gunung Ungaran kalau habis turun hujan sangat becek dan licin. Meski begitu hanya butuh waktu satu jam untuk sampai di puncak dari Desa Promasan dan tidak sampai setengah jam untuk turun. Memang aku dan Mas Gesang hanya 10 menit menghabiskan waktu di Puncak. Kami balik ke Desa Promasan.
Di Desa Promasan di rumah Kakek dan Nenek kami sarapan dan tentu Mas Gesang ingin berlama-lama bersua dan mereka berdua. Kerinduan setelah sekian tahun lamanya tidak ketemu. Sampai-sampai cucu Kakek dan Nenek yang dulunya diajak main oleh Mas Gesang ternyata sudah berkeluarga. Fakta ini tentunya menyulut canda tawa yang sangat menyentuhku. Oh dimana kontribusiku pada alam dan warganya Tuhan!
Pukul 11.00 WIB aku dan Mas Gesang bergegas kembali ke Base Camp Ungaran tempat kami meninggalkan tenda. Tidak sampai sejam kemudian kami tiba dan ternyata telah sepi yang terlihat hanya Mas Nyonyo dan kawan-kawan penghuni basecamp.
Mas Nyonyo dan lainnya jalan kaki ke Pasar Jimbaran untuk mendapatkan kendaraan umum menuju ke Semarang. Sedangkan aku dan Mas Gesang serta anaknya Mas Nyonyo melaju ke Semarang dengan motor klasiknya Mas Gesang.
Berbagai kendala menghiasi perjalanan ke Semarang. Namun aku bersyukur akhirnya dapat silaturahmi ke rumah Mas Nyonyo dan Sekretariat (Rumah P. Khalid) serta mampir ke Rumah P. Lookman sebelum melanjutkan perjalanan ke Gunung Lawu.
Alhamdulillah!

GUNUNG LAWU
Gunung Lawu terletak di perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. Puncak tertinggi gunung Lawu (Puncak Argo Dumilah) berada pada ketingggian 3.265 m dpl. Kompleks Gunung Lawu ini memiliki luas 400 km2 dengan Kawah Candradimuka yang masih sering mengeluarkan uap air panas dan bau belerang. Terdapat dua buah Kawah tua di dekat puncak Gunung Lawu yakni Kawah Telaga Kuning and Kawah Telaga Lembung Selayur.
Banyak sekali tempat-tempat yang dikeramatkan oleh masyarakat sehingga tidak hanya anak muda, tetapi banyak orang tua yang mendaki gunung Lawu untuk berjiarah. Masyarakat Jawa percaya bahwa puncak gunung Lawu dahulunya adalah merupakan kerajaan yang pertama kali di pulau Jawa. Gunung Lawu ini sangat berarti bagi Masyarakat Jawa terutama mereka yang masih percaya dengan Dunia Gaib. Aku pernah mendengar cerita suatu ketika tempat-tempat keramat di Gunung Lawu ini diobrak-abrik oleh orang-orang yang tidak menyukainya, namun mereka mengalami celaka bahkan mati mengenaskan. Untuk itu sebagai pendaki yang tidak percaya dengan tempat-tempat keramat di gunung Lawu, aku tetap menghargai kepercayaan masyarakat setempat.
KISAH PENDAKIAN GUNUNG LAWU VIA CEMORO KANDANG à CEMORO SEWU
1.  Minggu, 4 Januari 2009. Akhirnya apa yang kuperkirakan itu terjadi juga. Gunung Lawu menantangku datang sendiri dan mendaki sendiri. Aku terima tantangan itu. Aku tiba di Cemoro Kandang tepat pukul 16.00 WIB setelah menempuh 2 jam perjalanan dari Terminal Kertonadi Solo ke Terminal Tawangmangu dan 1 jam perjalanan dari Terminal Tawangmangu ke Cemoro Kandang.
2.  Cuaca sedang tidak bersahabat. Mendung dan angin menguatkan pertanda ini. Ada 4 peziarah dari Solo mengajakku untuk berangkat malam namun aku ingin mendaki esok pagi saja. Aku merasa tidak enak badan. Mulai maghrib sampai fajar menyinsing hanya aku habiskan dalam kantong tidurku (sleeping bag).
3.  Sebenarnya Gunung Lawu sangat menantang andaikan jalur yang ada tidak dipermak sedemikian rupa sehingga sisa ketinggian pendakian hanya sampai 1.500 m dpl lagi karena ketinggian Cemoro Kandang sudah 1.830 m dpl dari ketinggian Gunung Lawu 3.265 m dpl. Kondisi ini diperparah dengan permak total jalur Cemoro Sewu sehingga suasana petualang terhenti oleh polesan tangan-tangan tidak memiliki jiwa petualang.
Gunung Lawu terletak di perbatasan Surakarta dan Magetan dengan ketinggian 3.265 m dpl. Suhu udara puncak mencapai ± 40 di waktu malam dan ± 50 di waktu pagi. Flora dan fauna yang masih bisa ditemui antara lain Manis Rejo, Kemlandingan Gunung, Cemoro Gunung, Pisang, Akasia, Harimau, Lutung, Babi Hutan dan lain-lain.
Beberapa ritual yang dipercaya peziarah adalah:
1)   Hargodalem
Tempat berziarah dan mohon kekuatan gaib pada Sunan Lawu (Brawijaya V)
2)   Sendang Drajat
Sumber mata air tertinggi untuk kebutuhan minum dan memasak para pendaki Puncak Lawu dan juga bisa mandi ritual bagi yang bermaksud meningkatkan pangkat/derajat.
3)   Pasar Dieng
Tempat permohonan kelancaran dalam berbisnis
4)   Guwo Segolo-golo/Sumur Jolotundo
Tempat permohonan untuk mempunyai kekuatan gaib dan kekuatan jasmani dan rohani
5)   Lumbung Selayur
Tempat permohonan petani untuk bercocok tanam
6)   Selo Pundutan
Berupa batu menurut keyakinan dapat meraih cita-cita seseorang dengan cara mengangkat batu tersebut
7)   Sendang Panguripan
Airnya dipercaya untuk memperlancar mengatasi masalah kehidupan
4.  Senin, 5 Januari 2009 pukul 07.00 WIB aku memulai langkah meninggalkan Base Camp Cemoro Kandang. Mendaki dengan keadaan tidak enak badan membuat langkahku lambat dan aku merasa pundak tidak seberat sebelumnya.
5.  Pukul 08.00 WIB aku sampai di Pos 1 dengan nama Taman Sari Bawah bertemu dengan sebuah warung kecil. Untuk menghargai pemilik warung aku mampir dan mengambil sebotol Sprite untuk mengeluarkan angin di tubuhku dan menghapus pahit di lidahku.
6.  Pukul 09.00 WIB aku sampai di Pos 2 dengan nama Taman Sari Atas. Selain bangunan berukuran lumayan panjang juga terdapat kayu batangan yang telah ditata sehingga siap sebagai tempat berdirinya tenda.
7. Perjalanan menuju Pos 3 cukup lama. Selain memang rutenya lebih jauh dibandingkan jarak antar pos lainnya, juga karena badanku semakin tidak nyaman, mataku terasa panas dan kepalaku agak pening sehingga aku menghabiskan banyak waktu untuk istirahat. Pukul 11.00 WIB akhirnya aku sampai di Pos 3 dengan nama Pos Penggik. Di Pos 3 ini aku menghabiskan waktu untuk memasak sekaligus istirahat memulihkan kondisi sambil menunggu hujan reda. Aku beruntung lebih dulu sampai di Pos 3 sebelum hujan turun. Dua jam akhirnya hujan reda dan pukul 14.00 WIB aku melanjutkan perjalanan.
8.  Pukul 15.00 WIB aku sampai di Pos 4 yang bernama Cokro Suryo dimana bangunannya agak rusak atapnya dan memiliki halaman yang sangat luas. Terdapat 2 In Memoriam yang terlihat olehku.
9. Pukul 15.40 WIB aku sampai di Pos 5 yang merupakan pertigaan antara Argodumilah dan Argodalem. Aku memutuskan ke Argodalem terlebih dahulu.
10. Pukul 16.00 WIB aku mencapai sebuah tempat dengan tugu penanda puncak yang bertuliskan nama salah satu kesatuan Tentara Nasional Indonesia (TNI). Banyak sesajen di sekeliling tugu tersebut tetapi aku tidak peduli.
11. Setelah puas melakukan ritual sebagaimana kulakukan setiap di sebuah puncak gunung aku beranjak ke sisi barat dimana terdapat tebing yang menghadap sebuah bukit sisi barat Gunung Lawu yang kelewati tadi. Tampak pemandangan menakjubkan. Sebuah sunset yang sempurna. Kemudian datang 3 kawan dari Tawangmangu dan kami berempat duduk menikmati pemandangan matahari tenggelam.
12. Malam ini cuaca sangat bersahabat. Langit cerah dan angin pun bertiup sewajarnya. Aku mendirikan tenda di area Sendang Drajat bersama kawan-kawan dari Tawangmangu. Beberapa waktu lamanya aku berapi unggun sampai kayu bakar ini habis yang kemudian membawaku beranjak ke pangkuan malam. Sendiri dalam tenda Coleman Pack 1-ku yang setia menemaniku dalam Pendakian Estafet 7 Gunung di Penghujung Tahun 2008 dan Awal 2009.
13. Selasa, 6 Januari 2009 Tuhan menganugerahkan sunrise yang begitu indah. Pagi ini kuisi dengan jalan-jalan ke Hargodalem dan sekitarnya. Di Hargodalem ada tempat yang menarik perhatianku yaitu tempat ritual dan rumah kaleng. Setelah mengabadikan beberapa tempat aku bergegas kembali ke tempat bermalamku.
14. Setelah berkemas aku dan kawan-kawan Karanganyar serta anak-anak SMA dari Yogyakarta memulai perjalanan pulang lewat jalur Cemoro Sewu pukul 08.00 WIB.
15. Jalur Cemoro Sewu menyajikan view Magetan. Terlihat jelas Telaga Sarangan dan wisma-wismanya. Aku terhibur dalam perjalanan turun ini.
Route Summary
SOLO - GUNUNG LAWU - CEMORO KANDANG
No. Rute Jarak Waktu
1. Solo - Tawangmangu (1305m ) 40 km 2 jam
2. Tawangmangu - Cemoro Kandang ( Pintu Masuk ) 1,5 km 30 menit
3. Cemoro Kandang – Pos 1 Taman Sari Bawah ( 2.300m ) 60 menit
4. Taman Sari Bawah - Pos 2 Taman Sari Atas ( 2.470m ) 45 menit
5. Taman Sari Atas - Pos 3 Pos Penggik ( 2.760m ) 105 menit
6. Pos Penggik - Pos 4 Cokro Suryo ( 3.025m ) 70 menit
7. Cokro Suryo - Pos 5 ( 3.150m ) 45 menit
8. Pos 5 - Argo Dalem ( 3.170m ) 15 menit
9. Pos 5 - Puncak Argo Dumilah ( 3.265m ) 45 menit
SOLO - GUNUNG LAWU - CEMORO SEWU
No. Rute Jarak
1. Solo - Tawangmangu 40 km
2. Tawangmangu - Cemoro Sewu ( Pintu Masuk ) 2 km
3. Cemoro Sewu - Pos 1 1,99 Km
4. Pos 1 - Pos 2 2,25 Km
5. Pos 2 - Pos 3 0,7 Km
6. Pos 3 - Pos 4 1,75 Km
7. Pos 4 - Pos 5 ( Sumur Jolotundo ) 0,2 Km
8. Pos 5 - Argo Dalem 0,2 Km
9. Argo Dalem - Puncak Argo Dumilah 0,2 Km

Warning:
Tulisan ini berisikan materi yang masih perlu disempurnakan lagi. Oleh karenanya bagi pihak-pihak yang merasa ada dalam cerita ini diharapkan memberikan koreksinya. Terima kasih.






Senin, 02 Februari 2009

Kisah Pendakian Estafet 7 Gunung di Penghujung Tahun 2008 dan Awal Tahun 2009 Bersama LaPenDoS-LelakiPenuhDosananSunyi (Bagian 2)

Setelah melakukan pemanasan di Gunung Argopuro Jawa Timur maka mulailah pergerakan diarahkan ke target besar lainnya yaitu gunung-gunung di Jawa Tengah. Berikut ini cerita selanjutnya 'Kisah Pendakian Estafet 7 Gunung di Penghujung Tahun 2008 dan Awal Tahun 2009 Bersama LaPenDoS-LelakiPenuhDosananSunyi (Bagian 2)'.

GUNUNG SLAMET
Gunung Slamet merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah dan merupakan gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru dengan ketinggian 3.432 m dpl. Gunung Slamet merupakan target pendakiat estafet kedua dan didaki melalui jalur sebelah timur Bambangan. Kami bertiga mendaki bersama anak Mamira, Pecinta Alam dari FMIPA UNSOED Purwokerto yang sedang menempuh pengembaraan untuk menjadi Anggota Panuh (AP).

KISAH PENDAKIAN GUNUNG SLAMET VIA JALUR BAMBANGAN
Sabtu, 20 Desember 2008 pukul 16.30 WIB kami berangkat dari kampus UNSOED bersama PA Mamira yang berjumlah 12 orang. Kami sangat tertolong kebaikan PA Mamira sehingga kendala transportasi dapat teratasi. Kami ikut menumpang kendaraan carteran mereka. Pukul 18.30 WIB kami telah sampai di Bambangan. Kami beristirahat dan melengkapi sisa logistik yang masih kurang serta makan malam sebelum berangkat. Kami memulai perjalanan pukul 20.15 WIB dengan total rombongan 15 orang.
Perjalanan malam ini begitu menggoda dan menyenangkan setelah seharian santai di sekretariat Jagraweçya FE UNSOED. Namun suasana enjoy ini tidak berlangsung lama karena lambat laun perjalanan malam ini menjadi tidak nyaman. Hal in disebabkan medan yang belum terkenali sebelumnya, licin dan gelap serta alat penerangan yang tidak maksimal. Hujan pun turut menambah suasana menjadi semakin tidak kondusif. Kami pun terhenti sejenak untuk mengenakan jas hujan hingga sampai memasuki beberapa bagian dari hutan aku teringat kalau tas kecilku tertinggal di tempat berhenti untuk mengenakan jas hujan dimana harta bendaku tersimpan disana-Kamera, Harddisk eksternal, dompet dan beberapa benda penting lainnya. Kuminta Indra dan Hendy untuk berhenti. Indra menunggu sedangkan aku dan Hendy turun ke bawah mencari tas kecilku. Rupanya gelap membuatku sulit mengenali tempat semula dan karena khawatir Indra menunggu terlalu lama aku memutuskan kembali ke tempat Indra menunggu dan mendirikan tenda saja. Begitu pikirku yang terbaik menghadapi situasi seperti ini. Sesampai di tempat Indra menunggu ternyata teman-teman Mamira balik turun lagi karena mereka mengambil kesimpulan bahwa jalur yang sejak tadi dilalui keliru. Kami semua bergegas turun lagi dan dalam perjalanan turun itu tas kecilku tertemukan. Jam 23.00 WIB di suatu tempat yang cukup untuk mendirikan 3 tenda kamipun memutuskan berhenti dan bermalam.
Minggu, 21 Desember 2008 di sebuah pagi yang cerah dan tentunya juga karena Mas Rois mencerahkan kami melalui petunjuk jalur yang diberikannya pada kami. Mas Rois merupakan orang lokal dimana rumahnya tepat di depan Base Camp Slamet jalur Bambangan. Aku terkesan akan kepeduliannya pada para pendaki Gunung Slamet. Hanya butuh 6 jam seluruh anggota rombongan sampai di Pos 5: Sahyang Rangkah.
Pos 5: Sahyang Rangkah merupakan suatu tempat hentian yang sangat representatif untuk sekedar istirahat, memasak dan makan, mengambil air dan tentunya bermalam karena terdapat pondok yang bisa melindungi diri dari angin dan hujan. Setelah makan siang pukul 15.00 WIB aku dan Andik-salah satu anak Mamira-berangkat ke puncak untuk melihat sunset. Hanya butuh sekitar 2 jam untuk sampai di Puncak Slamet. Kami berdua mendapatkan sunset yang sangat sempurna namun tersiksa akibat terjangan angin dan dingin. Aku dan Andik mengalami gejala hipotermia karena tidak membawa jaket hangat. Aku hanya membawa jas hujan dan Andik membawa jaket tipis dan bersandal jepit. Tangan dan kaki Andik sudah tidak mampu lagi merasakan sentuhan. Hanya ngilu dan ngilu setiap terantuk batu dan kerikil sehingga perjalanan untuk turun menjadi sangat lama dan menyiksa karena harus menahan terjangan angin dan dingin. Tetapi akhirnya kami bisa sampai di Pos 5: Sahyang Rangkah dengan selamat dan sehat. Kesekian kalinya aku mendapat pelajaran untuk tidak pernah meremehkan gunung.
Senin, 22 Desember 2008 di sebuah pagi yang tidak kalah cerah dengan kemarin aku mendaki lagi bersama kawan yang lain ke Puncak Slamet. Setelah berpuas diri dengan matahari terbit di Pos 7 dan sambil menunggu kawan yang lain, aku bergegas menuju puncak. Di Pelawangan Indra terlihat duduk menelpon Gemblung. Kamipun mendaki bersama ke Puncak. Menembus angin dan kabut. Karena tidak ada teman yang mengetahui dimana letak puncak sejati maka aku pun turun dan berkeliling mencari puncak sejati. Dengan metode feeling aku menemukan tumpukan batu dengan sebuah In Memoriam Masrukhi dan kawan-kawan. Setelah memainkan kamera Canon-ku di beberapa objek aku pun bergegas balik ke tempat kawan-kawan berkumpul.
Kawan-kawan Mamira memutuskan turun setelah se-jam-an di puncak sedangkan aku, Indra dan Hendy masih duduk menikmati apa yang ada. Di area puncak Gunung Slamet aku merasa berada di pangkuan Ibuku. Memang begitulah suasana yang kurasakan setiap berada di gunung. Duduk di beberapa tempat seperti berada di pangkuan Ibuku. Sampai saat ini jika jiwaku butuh serapan energi maka hanya 2 tempat yang akan kutuju: pulang ke Rumah Lamongan (orang tua) dan atau mendaki gunung. Kedua tempat ini merupakan obat ketika aku merasa Sakaw!
Jalur pendakian Gunung Slamet melalui Bambangan sebenarnya jalur yang telah dikelola dengan baik dan banyak didaki. Hal ini terlihat dari penanda jalan yang cukup lengkap. Pendaki yang kurang cermat kemungkinan keliru di pertigaan persis di seberang Gapura Bambangan dan di ladang penduduk. Waktu yang dibutuhkan untuk turun juga cukup singkat kurang lebih 3-4 jam.
Sanjungan untuk Slamet

Aku menghirup udara dan jadilah aku hanya tinggal selongsong nafas
Kulit dan tulangku begitu bergantung dari udara yang bersemayam di belantaramu
Punggungku menjadi tegak meski berliter-liter beban di atasnya

Kyai Slamet begitu angkuh karenanya aku pun ikut angkuh
Meniru fitrah gunung yang angkuh
Kyai Slamet begitu misterius dengan jutaan simpanan
Aku pun menjadi sulit dikenali
Karena harapanku hanyalah menjadi penjaga pemilik harapan

Aku bersatu dalam pangkuan Ibuku, Gunung!
Dan mewarisi karakteristik purbanya yang penyayang!

GUNUNG MERBABU
Aku bertemu dengan Om Jawul dan kawan-kawan di Terminal Giwangan Yogyakarta setelah menempuh perjalanan Purwokerto-Yogyakarta via bus. Puncak Gunung Merbabu kami tempuh dari Thekelan (Kopeng/Salatiga) dan turun kembali lewat jalur selatan (Selo/Boyolali). Pemandangan yang sangat indah kami saksikan di sepanjang perjalanan tersebut di antaranya Gunung Merapi, Gunung Telomoyo, Gunung Ungaran. Gunung Merbabu ini membentuk garis deretan gunung berapi ke arah utara Merapi-Merbabu-Telomoyo-Ungaran.

KISAH PENDAKIAN GUNUNG MERBABU VIA THEKELAN  SELO
Bumi masih berputar baik secara rotasi maupun revolusi sehingga aku pun terus bergerak mengikuti fitrahku mencari jati diri dari jalan merambah hutan dan mendaki gunung.
Bertolak dari Purwokerto di sebuah sore menuju Yogyakarta sampai malam via bus ekonomi diantar kawan-kawan Jagraweçya FE UNSOED. Sesampai di Yogyakarta aku diamankan kawan dari pecinta alam Sastra UGM, Ipang! Oleh Ipang aku diajak mampir di Sekretariat Bersama Lembaga Eksekutif Mahasiswa FIB UGM, melewatkan malam bersama kawan-kawan di SEKBER dan kemudian istirahat di tempatnya Ipang. Pagi harinya aku meluncur kembali ke Terminal Giwangan menyusul Om Jawul dan kawan-kawan.
Kamis, 25 Desember 2008 Om Jawul mengusulkan untuk mencarter taksi saja agar cepat sampai ke Kopeng. Setelah bernegoasiasi akhirnya kami mendapatkan harga 236 ribu rupiah dan berangkat dengan Toyota Avansa dengan supir Bapak Supari jam 09.30 WIB. Sesampai di Kopeng kami meminta Bapak Supari untuk mengantar langsung ke Thekelan karena kami akan menghabiskan banyak waktu jika menunggu angkutan pedesaan. Jam 12.00 WIB kami telah sampai di Base Camp Thekelan (1.596 m dpl).
Setelah beristirahat dan makan siang kami mulai pendakian Gunung Merbabu ini pada pukul 14.00 WIB. Baru saja melewati ladang penduduk aku dan kawan-kawan langsung kesengsem dengan panorama alam yang ditawarkan Gunung Merbabu di sepanjang perjalanan ini.
Pos Pending (1.800 m dpl) ditunjukkan oleh sebuah bangunan berukuran 5 X 10 m tanpa dinding penutup. Depan pos ini merupakan tebing yang sangat dalam dan curam. Tiba di Pos Pending terdapat 2 jalur menyimpang ke kiri dan ke kanan. Kami mengabil jalur kiri dimana merupakan jalur tebing yang licin dan curam.
Hidupku tidak sempurna tanpa meluangkan waktu bersama belantara dan pegunungan. Menjadi pendaki yang santun, sederhana, sabar dan penuh etika. Menjadi pendaki nomer wahid. Aku belum pernah hidup seperti ini. Sebuah gejala pencerahan mulai menyergapku. Kutulis di sepanjang perjalanan pendakianku. Hidupku. Kerinduan akibat ketagihan. Ketagihan karena pernah mencoba. Dan berakhirlah kemalangan ini di sebuah gunung dengan daya mistik yang kuat. Gunung Merbabu!
Menjelang petang kita berada di sebuah punggungan Gunung Watu Tulis di bawah menara pemancar. Kami memutuskan bermalam di sebuah tempat yang kami rasa aman dari terjangan angin kencang.
Jumat, 26 Desember 2008 menjelang matahari terbit kami melanjutkan perjalanan sambil terus bersyukur karena kami diberikan pagi yang cerah.
Hari ini berturut-turut kami lalui Gunung Watu Tulis, Kawah Mati, Jembatan Setan, Puncak Syarif (Gunung Pregodalem) dan Puncak Gunung Kenteng Songo untuk kemudian bergegas turun menuju Selo. Dalam rangkaian perjalanan menuju puncak itu kami beristirahat lama di Geger Sapi (Persimpangan Puncak Syarif dan Puncak Gunung Kenteng Songo). Seluruh anggota Tim belum pernah ada yang mendaki ke Gunung Merbabu sebelumnya sehingga untuk menentukan arah yang benar ke Jalur Selo didasarkan pada informasi yang diunduh dari internet. Untuk memastikan arah selatan Om Jawul mengeluarkan Kompas penunjuk arah sehingga kita yakin terhadap arah jalur yang dipilih.
Sore hari kami telah sampai di Base Camp Selo dan melanjutkan perjalanan menuju Base Camp Merapi. Menjelang petang kita sudah ada di meja makan warung dekat dengan Polsek Selo. Bersyukurlah kita!

GUNUNG MERAPI
Merapi berasal dari dua kata "meru" yang artinya gunung, dan "api" yang berarti gunung berapi. Merapi adalah salah satu gunung berapi yang teraktif di dunia. Mendengar nama Merapi akan terbayang sesuatu yang mengerikan, gunung ini masih aktif mengeluarkan asap berbau belerang dan sesekali menyemburkan lahar panas. Kami mendaki dari Utara (Selo) wilayah Boyolali.

KISAH PENDAKIAN GUNUNG MERAPI VIA SELO
 Bagiku mendaki Gunung Merapi seperti melakukan rekreasi seperti biasa di akhir pekan. Suasana medan menantang dan panjang yang aku bayangkan ternyata seperti pepatah api jauh dari panggang. Apalagi setelah mengetahui bahwa hanya dalam tempo beberapa jam saja puncak sudah terdaki semakin membuatku kecewa dengan nama besar Gunung Merapi.
 Aku hanya membawa daypack yang berisi air dan roti beserta Bendera Merah Putih dan piranti lainnya. Untuk antisipasi turunnya hujan aku juga membawa jas hujan.
 Sabtu, 27 Desember 2008, dengan berjalan kaki di pukul 02.00 WIB dari Rumah Joglo kita disambut cuaca yang cukup bersahabat. Di depan dan di belakang terdapat rombongan lain yang juga dalam pendakian Gunung Merapi.
 Pendakian kali ini merupakan pendakian pertamaku ke Merapi. Kesan pertama ini sungguh membuatku merasa ditipu nama besar Gunung Merapi yang ternyata hanyalah gunung teraktif di dunia sesudahnya hanyalah tempat rekreasi saja.
 Pukul 04.30 WIB kita bersembunyi di salah satu batu besar di Pasar Bubrah untuk berlindung dari angin yang menusukkan pisau dingin. Di saat matahari terbit kami melakukan seremonial pengabadian momen dengan kamera yang kami bawa. Setelah itu kami bergegas ke Puncak Garuda setelah seorang guide memberikan penjelasan mengenai jalur yang benar menuju Puncak Garuda.
 Aku tidak sabar ingin melihat puncak Garuda sehingga aku tidak lagi memperhatikan speed kawan-kawan yang lain. Akhirnya aku sampai dengan metode feeling dan insting seorang pemuja puncak sejati. Setengah jam kemudian kawan-kawan yang lain berteriak memanggil. Kuakui pagi ini kabut sangat tebal. Semburan gas di area Puncak Garuda juga memperpendek jarak pandang kami. Dalam jangkauan puluhan meter di area puncak kawan-kawan yang lain tidak mampu melihat wujudku yang berdiri di Puncak Garuda. Kupandu kawan-kawan yang lain dengan teriakkan sehingga akhirnya sampai juga di Puncak Garuda. “Ah, lama benar kemana saja?” ucapku bercanda. Kutahu kawan-kawan sudah ngos-ngosan karena kemarin baru saja turun dari Gunung Merbabu.
 Aku dan kawan-kawan agak kecewa, Puncak Garuda tinggal separuh. Informasinya sih pecah ketika kemarin Gunung Merapi meletus.

NB: Tulisan ini murni pendapat pribadi