Senin, 02 Februari 2009

Kisah Pendakian Estafet 7 Gunung di Penghujung Tahun 2008 dan Awal Tahun 2009 Bersama LaPenDoS-LelakiPenuhDosananSunyi (Bagian 2)

Setelah melakukan pemanasan di Gunung Argopuro Jawa Timur maka mulailah pergerakan diarahkan ke target besar lainnya yaitu gunung-gunung di Jawa Tengah. Berikut ini cerita selanjutnya 'Kisah Pendakian Estafet 7 Gunung di Penghujung Tahun 2008 dan Awal Tahun 2009 Bersama LaPenDoS-LelakiPenuhDosananSunyi (Bagian 2)'.

GUNUNG SLAMET
Gunung Slamet merupakan gunung tertinggi di Jawa Tengah dan merupakan gunung tertinggi kedua di Pulau Jawa setelah Gunung Semeru dengan ketinggian 3.432 m dpl. Gunung Slamet merupakan target pendakiat estafet kedua dan didaki melalui jalur sebelah timur Bambangan. Kami bertiga mendaki bersama anak Mamira, Pecinta Alam dari FMIPA UNSOED Purwokerto yang sedang menempuh pengembaraan untuk menjadi Anggota Panuh (AP).

KISAH PENDAKIAN GUNUNG SLAMET VIA JALUR BAMBANGAN
Sabtu, 20 Desember 2008 pukul 16.30 WIB kami berangkat dari kampus UNSOED bersama PA Mamira yang berjumlah 12 orang. Kami sangat tertolong kebaikan PA Mamira sehingga kendala transportasi dapat teratasi. Kami ikut menumpang kendaraan carteran mereka. Pukul 18.30 WIB kami telah sampai di Bambangan. Kami beristirahat dan melengkapi sisa logistik yang masih kurang serta makan malam sebelum berangkat. Kami memulai perjalanan pukul 20.15 WIB dengan total rombongan 15 orang.
Perjalanan malam ini begitu menggoda dan menyenangkan setelah seharian santai di sekretariat Jagraweçya FE UNSOED. Namun suasana enjoy ini tidak berlangsung lama karena lambat laun perjalanan malam ini menjadi tidak nyaman. Hal in disebabkan medan yang belum terkenali sebelumnya, licin dan gelap serta alat penerangan yang tidak maksimal. Hujan pun turut menambah suasana menjadi semakin tidak kondusif. Kami pun terhenti sejenak untuk mengenakan jas hujan hingga sampai memasuki beberapa bagian dari hutan aku teringat kalau tas kecilku tertinggal di tempat berhenti untuk mengenakan jas hujan dimana harta bendaku tersimpan disana-Kamera, Harddisk eksternal, dompet dan beberapa benda penting lainnya. Kuminta Indra dan Hendy untuk berhenti. Indra menunggu sedangkan aku dan Hendy turun ke bawah mencari tas kecilku. Rupanya gelap membuatku sulit mengenali tempat semula dan karena khawatir Indra menunggu terlalu lama aku memutuskan kembali ke tempat Indra menunggu dan mendirikan tenda saja. Begitu pikirku yang terbaik menghadapi situasi seperti ini. Sesampai di tempat Indra menunggu ternyata teman-teman Mamira balik turun lagi karena mereka mengambil kesimpulan bahwa jalur yang sejak tadi dilalui keliru. Kami semua bergegas turun lagi dan dalam perjalanan turun itu tas kecilku tertemukan. Jam 23.00 WIB di suatu tempat yang cukup untuk mendirikan 3 tenda kamipun memutuskan berhenti dan bermalam.
Minggu, 21 Desember 2008 di sebuah pagi yang cerah dan tentunya juga karena Mas Rois mencerahkan kami melalui petunjuk jalur yang diberikannya pada kami. Mas Rois merupakan orang lokal dimana rumahnya tepat di depan Base Camp Slamet jalur Bambangan. Aku terkesan akan kepeduliannya pada para pendaki Gunung Slamet. Hanya butuh 6 jam seluruh anggota rombongan sampai di Pos 5: Sahyang Rangkah.
Pos 5: Sahyang Rangkah merupakan suatu tempat hentian yang sangat representatif untuk sekedar istirahat, memasak dan makan, mengambil air dan tentunya bermalam karena terdapat pondok yang bisa melindungi diri dari angin dan hujan. Setelah makan siang pukul 15.00 WIB aku dan Andik-salah satu anak Mamira-berangkat ke puncak untuk melihat sunset. Hanya butuh sekitar 2 jam untuk sampai di Puncak Slamet. Kami berdua mendapatkan sunset yang sangat sempurna namun tersiksa akibat terjangan angin dan dingin. Aku dan Andik mengalami gejala hipotermia karena tidak membawa jaket hangat. Aku hanya membawa jas hujan dan Andik membawa jaket tipis dan bersandal jepit. Tangan dan kaki Andik sudah tidak mampu lagi merasakan sentuhan. Hanya ngilu dan ngilu setiap terantuk batu dan kerikil sehingga perjalanan untuk turun menjadi sangat lama dan menyiksa karena harus menahan terjangan angin dan dingin. Tetapi akhirnya kami bisa sampai di Pos 5: Sahyang Rangkah dengan selamat dan sehat. Kesekian kalinya aku mendapat pelajaran untuk tidak pernah meremehkan gunung.
Senin, 22 Desember 2008 di sebuah pagi yang tidak kalah cerah dengan kemarin aku mendaki lagi bersama kawan yang lain ke Puncak Slamet. Setelah berpuas diri dengan matahari terbit di Pos 7 dan sambil menunggu kawan yang lain, aku bergegas menuju puncak. Di Pelawangan Indra terlihat duduk menelpon Gemblung. Kamipun mendaki bersama ke Puncak. Menembus angin dan kabut. Karena tidak ada teman yang mengetahui dimana letak puncak sejati maka aku pun turun dan berkeliling mencari puncak sejati. Dengan metode feeling aku menemukan tumpukan batu dengan sebuah In Memoriam Masrukhi dan kawan-kawan. Setelah memainkan kamera Canon-ku di beberapa objek aku pun bergegas balik ke tempat kawan-kawan berkumpul.
Kawan-kawan Mamira memutuskan turun setelah se-jam-an di puncak sedangkan aku, Indra dan Hendy masih duduk menikmati apa yang ada. Di area puncak Gunung Slamet aku merasa berada di pangkuan Ibuku. Memang begitulah suasana yang kurasakan setiap berada di gunung. Duduk di beberapa tempat seperti berada di pangkuan Ibuku. Sampai saat ini jika jiwaku butuh serapan energi maka hanya 2 tempat yang akan kutuju: pulang ke Rumah Lamongan (orang tua) dan atau mendaki gunung. Kedua tempat ini merupakan obat ketika aku merasa Sakaw!
Jalur pendakian Gunung Slamet melalui Bambangan sebenarnya jalur yang telah dikelola dengan baik dan banyak didaki. Hal ini terlihat dari penanda jalan yang cukup lengkap. Pendaki yang kurang cermat kemungkinan keliru di pertigaan persis di seberang Gapura Bambangan dan di ladang penduduk. Waktu yang dibutuhkan untuk turun juga cukup singkat kurang lebih 3-4 jam.
Sanjungan untuk Slamet

Aku menghirup udara dan jadilah aku hanya tinggal selongsong nafas
Kulit dan tulangku begitu bergantung dari udara yang bersemayam di belantaramu
Punggungku menjadi tegak meski berliter-liter beban di atasnya

Kyai Slamet begitu angkuh karenanya aku pun ikut angkuh
Meniru fitrah gunung yang angkuh
Kyai Slamet begitu misterius dengan jutaan simpanan
Aku pun menjadi sulit dikenali
Karena harapanku hanyalah menjadi penjaga pemilik harapan

Aku bersatu dalam pangkuan Ibuku, Gunung!
Dan mewarisi karakteristik purbanya yang penyayang!

GUNUNG MERBABU
Aku bertemu dengan Om Jawul dan kawan-kawan di Terminal Giwangan Yogyakarta setelah menempuh perjalanan Purwokerto-Yogyakarta via bus. Puncak Gunung Merbabu kami tempuh dari Thekelan (Kopeng/Salatiga) dan turun kembali lewat jalur selatan (Selo/Boyolali). Pemandangan yang sangat indah kami saksikan di sepanjang perjalanan tersebut di antaranya Gunung Merapi, Gunung Telomoyo, Gunung Ungaran. Gunung Merbabu ini membentuk garis deretan gunung berapi ke arah utara Merapi-Merbabu-Telomoyo-Ungaran.

KISAH PENDAKIAN GUNUNG MERBABU VIA THEKELAN  SELO
Bumi masih berputar baik secara rotasi maupun revolusi sehingga aku pun terus bergerak mengikuti fitrahku mencari jati diri dari jalan merambah hutan dan mendaki gunung.
Bertolak dari Purwokerto di sebuah sore menuju Yogyakarta sampai malam via bus ekonomi diantar kawan-kawan Jagraweçya FE UNSOED. Sesampai di Yogyakarta aku diamankan kawan dari pecinta alam Sastra UGM, Ipang! Oleh Ipang aku diajak mampir di Sekretariat Bersama Lembaga Eksekutif Mahasiswa FIB UGM, melewatkan malam bersama kawan-kawan di SEKBER dan kemudian istirahat di tempatnya Ipang. Pagi harinya aku meluncur kembali ke Terminal Giwangan menyusul Om Jawul dan kawan-kawan.
Kamis, 25 Desember 2008 Om Jawul mengusulkan untuk mencarter taksi saja agar cepat sampai ke Kopeng. Setelah bernegoasiasi akhirnya kami mendapatkan harga 236 ribu rupiah dan berangkat dengan Toyota Avansa dengan supir Bapak Supari jam 09.30 WIB. Sesampai di Kopeng kami meminta Bapak Supari untuk mengantar langsung ke Thekelan karena kami akan menghabiskan banyak waktu jika menunggu angkutan pedesaan. Jam 12.00 WIB kami telah sampai di Base Camp Thekelan (1.596 m dpl).
Setelah beristirahat dan makan siang kami mulai pendakian Gunung Merbabu ini pada pukul 14.00 WIB. Baru saja melewati ladang penduduk aku dan kawan-kawan langsung kesengsem dengan panorama alam yang ditawarkan Gunung Merbabu di sepanjang perjalanan ini.
Pos Pending (1.800 m dpl) ditunjukkan oleh sebuah bangunan berukuran 5 X 10 m tanpa dinding penutup. Depan pos ini merupakan tebing yang sangat dalam dan curam. Tiba di Pos Pending terdapat 2 jalur menyimpang ke kiri dan ke kanan. Kami mengabil jalur kiri dimana merupakan jalur tebing yang licin dan curam.
Hidupku tidak sempurna tanpa meluangkan waktu bersama belantara dan pegunungan. Menjadi pendaki yang santun, sederhana, sabar dan penuh etika. Menjadi pendaki nomer wahid. Aku belum pernah hidup seperti ini. Sebuah gejala pencerahan mulai menyergapku. Kutulis di sepanjang perjalanan pendakianku. Hidupku. Kerinduan akibat ketagihan. Ketagihan karena pernah mencoba. Dan berakhirlah kemalangan ini di sebuah gunung dengan daya mistik yang kuat. Gunung Merbabu!
Menjelang petang kita berada di sebuah punggungan Gunung Watu Tulis di bawah menara pemancar. Kami memutuskan bermalam di sebuah tempat yang kami rasa aman dari terjangan angin kencang.
Jumat, 26 Desember 2008 menjelang matahari terbit kami melanjutkan perjalanan sambil terus bersyukur karena kami diberikan pagi yang cerah.
Hari ini berturut-turut kami lalui Gunung Watu Tulis, Kawah Mati, Jembatan Setan, Puncak Syarif (Gunung Pregodalem) dan Puncak Gunung Kenteng Songo untuk kemudian bergegas turun menuju Selo. Dalam rangkaian perjalanan menuju puncak itu kami beristirahat lama di Geger Sapi (Persimpangan Puncak Syarif dan Puncak Gunung Kenteng Songo). Seluruh anggota Tim belum pernah ada yang mendaki ke Gunung Merbabu sebelumnya sehingga untuk menentukan arah yang benar ke Jalur Selo didasarkan pada informasi yang diunduh dari internet. Untuk memastikan arah selatan Om Jawul mengeluarkan Kompas penunjuk arah sehingga kita yakin terhadap arah jalur yang dipilih.
Sore hari kami telah sampai di Base Camp Selo dan melanjutkan perjalanan menuju Base Camp Merapi. Menjelang petang kita sudah ada di meja makan warung dekat dengan Polsek Selo. Bersyukurlah kita!

GUNUNG MERAPI
Merapi berasal dari dua kata "meru" yang artinya gunung, dan "api" yang berarti gunung berapi. Merapi adalah salah satu gunung berapi yang teraktif di dunia. Mendengar nama Merapi akan terbayang sesuatu yang mengerikan, gunung ini masih aktif mengeluarkan asap berbau belerang dan sesekali menyemburkan lahar panas. Kami mendaki dari Utara (Selo) wilayah Boyolali.

KISAH PENDAKIAN GUNUNG MERAPI VIA SELO
 Bagiku mendaki Gunung Merapi seperti melakukan rekreasi seperti biasa di akhir pekan. Suasana medan menantang dan panjang yang aku bayangkan ternyata seperti pepatah api jauh dari panggang. Apalagi setelah mengetahui bahwa hanya dalam tempo beberapa jam saja puncak sudah terdaki semakin membuatku kecewa dengan nama besar Gunung Merapi.
 Aku hanya membawa daypack yang berisi air dan roti beserta Bendera Merah Putih dan piranti lainnya. Untuk antisipasi turunnya hujan aku juga membawa jas hujan.
 Sabtu, 27 Desember 2008, dengan berjalan kaki di pukul 02.00 WIB dari Rumah Joglo kita disambut cuaca yang cukup bersahabat. Di depan dan di belakang terdapat rombongan lain yang juga dalam pendakian Gunung Merapi.
 Pendakian kali ini merupakan pendakian pertamaku ke Merapi. Kesan pertama ini sungguh membuatku merasa ditipu nama besar Gunung Merapi yang ternyata hanyalah gunung teraktif di dunia sesudahnya hanyalah tempat rekreasi saja.
 Pukul 04.30 WIB kita bersembunyi di salah satu batu besar di Pasar Bubrah untuk berlindung dari angin yang menusukkan pisau dingin. Di saat matahari terbit kami melakukan seremonial pengabadian momen dengan kamera yang kami bawa. Setelah itu kami bergegas ke Puncak Garuda setelah seorang guide memberikan penjelasan mengenai jalur yang benar menuju Puncak Garuda.
 Aku tidak sabar ingin melihat puncak Garuda sehingga aku tidak lagi memperhatikan speed kawan-kawan yang lain. Akhirnya aku sampai dengan metode feeling dan insting seorang pemuja puncak sejati. Setengah jam kemudian kawan-kawan yang lain berteriak memanggil. Kuakui pagi ini kabut sangat tebal. Semburan gas di area Puncak Garuda juga memperpendek jarak pandang kami. Dalam jangkauan puluhan meter di area puncak kawan-kawan yang lain tidak mampu melihat wujudku yang berdiri di Puncak Garuda. Kupandu kawan-kawan yang lain dengan teriakkan sehingga akhirnya sampai juga di Puncak Garuda. “Ah, lama benar kemana saja?” ucapku bercanda. Kutahu kawan-kawan sudah ngos-ngosan karena kemarin baru saja turun dari Gunung Merbabu.
 Aku dan kawan-kawan agak kecewa, Puncak Garuda tinggal separuh. Informasinya sih pecah ketika kemarin Gunung Merapi meletus.

NB: Tulisan ini murni pendapat pribadi



2 komentar:

Anonim mengatakan...

Kami Buana Survey Menyediakan Berbagai Macam Alat Survey, Radio Komunikasi, HT atau Handy Talky , GPS, Alat Ukur.
Hub kami di 021-7321129, 021-71458381, 021-71500714, 021-71601997. Website http://www.buanasurvey.net , email : csbuana03@yahoo.com

pendakirewel mengatakan...

terima kasih infonya... semoga nanti kita bisa saling bekerja sama