Selasa, 14 Oktober 2008

Rest in peace

Hari demi hari terus berganti. Seperti aliran sungai di sepanjang punggungan raung
ketika ku mendaki di senja itu. Senja Sandikala. Awal ihwal perjalanan para dedemit.
Terbukanya lembah para lelembut.

Sepanjang perjalanan itu aku terus mengucapkan sumpah serapah bahwa tiada yang dapat
menghentikan perjalanan ini. Kakiku telah mengeras. Pundakku telah membatu. Tenagaku
seperti gajah sewu. Aku lupa janji untuk pulang. Menemuimu yang menunggu.

Kedamaian telah kutemukan. Hanya punggungan dan tebing yang menyemarakkan lamunanku.
Hanya puncak dan puncak yang mampu membuatku menjadi lelaki. Kematian tidak terhiraukan.
Gejala sakit tidak terasakan. Aku menjadi lelaki rimba. Pecinta alam 'Sunyi". Puncak abadi.
Tempat para Dewa berkelakar.

Aku malu berada dalam hidup anti klimaks. Kebanggaanku ada pada cerita derita. Lembah sunyi.
Tempat yang tepat untuk meletakkan punggung ini. Tentunya pada rerumputan yang hijau.
Tebing hening. Tempat menanggalkan keraguan dan ketakutanku. Tentunya pada bebatuan putih.
Menahun. Purba.

Renungan Ramadan 1429 H

Bismillah!
Mengapa setiap kejadian selalu memberikan pelajaran bagi makhluk yang berpikir?
Karena makhluk yang berpikir adalah makhluk terbaik.

Allah SWT adalah Tuhan Yang Maha Teliti. Tiada satupun yang terlewat dari segala perhitunganNya.
Kesalahan besar bagi penganggap segala peristiwa adalah kumpulan serpihan-serpihan kejadian
yang berupa bentuk kebetulan. Pendapat yang diprakarsai penganut evolusi Darwin laknattullah 'alaih.

Mengapa hidupku seperti ini? Setiap detik waktu kuhabiskan dalam lamunan pencarian makna hidup.
Segala peristiwa yang bertautan beraturan maupun acak sungguh menggerakkan nurani untuk selalu beranalisis.
Tidak terhitung segala yang tiba kemudian beranjak terlupa sehingga tepatlah jika aku adalah lebih hina
dari keledai. Tak mampu mengambil hikmah perjalanan hidup.

Sudah menjadi iradahNya manusia akan selalu dijejali dengan permasalahan. Setiap dimensi ruang dan waktu
adalah manifestasi dari segala permasalahan dengan sudut pandang manusia masing-masing. Layaklah jika otak
ini begitu tumpul karena segala data yang tersaji tak mampu merangkum pengetahuan secara menyeluruh.
Aku tetap aku 25 tahun yang lalu (24 Desember 1982).

Ampunilah aku Tuhan!
Ramadan kali ini pun tak mampu mentransformasi kehambaanku dan kemanusiaanku. Hamba ini masih digelayuti
kecongkakan dan keangkuhan setiap melihat ciptaanMu yang lain. Mata ini begitu tajam menyaksikan itu semua.
Senyuman sinis selalu menghiasi wajah-wajah keseharianku. Sungguh aku adalah kawan sejati Iblis laknattullah 'alaih.
Kabar yang beredar. Aroma yang berembus. Bisikan yang menyalakan hasrat. Semua keinderaan melahirkan persepsi
negatif terhadap segala persoalan. Yang dermawan tak lebih baik dari si kikir. Yang berilmu tak berubah jauh
dari pada yang sedikit wawasannya.

Suatu ketika aku membaca dan aku pun terenyuh oleh realita bacaan itu.
Pada waktu tertentu aku melihat dokumentasi dan hatiku hancur oleh kesewenangan takdir hidup.
Hari ini aku merasa geram dan jengkel terhadap segala yang menyertai perjalananku.
Ketamakan yang kubenci. Kekikiran yang selalu kucaci. Menganugerahkan aku jiwa kepengecutan.
Pandir aku jadinya. Hanya mengkritik. Lebih sering mencemooh dan menggunjing atas tindakan seseorang.
Itu membuatku semakin jauh dari fitrah lahir batinku yang suci dan penuh tanggung jawab.
Aku heran dan terus bertanya apa gerangan ini!

No one in my mind

Aku menatap segala. Pikiran memproses. Ingatan merekam. Hati menyimpan.
Andai ada dan tiada membentuk scene tersendiri tentu aku akan berpaling padanya.
Andai benci dan cinta bersatu dalam aliansi kebebasan pasti aku akan bersamanya.
Dualisme kehidupan selalu berdiri sendiri-sendiri namun tidak pernah terpisahkan.
Mengikuti apa yang telah digariskan Tuhan.
Kebimbangan menggelayuti sehingga hanya pencarian dan pencarian saja yang mampu
mengobati.
Tulang-tulangku remuk. Otot dan sendiku terurai dari jalinan fungsinya.
Namun pencarian hanya bisa berhenti jika telah menemu.
Aku mencari sampai menemu.
Mencari sesuatu yang belum tersimpan dihatiku.
Mencari sesuatu yang belum terekam dalam ingatanku.
Mencari sesuatu yang belum terproses oleh pikiranku.
Dan mencari sesuatu yang belum pernah terlihat oleh mataku.
Namun bibirku telah menyebut-nyebut-Nya. Lidahku terus-terusan membanggakan-Nya.
Air liurku sampai kering tiada sisa.

Keridlaan-Nya. Tuhanku.

Nafsu

Memilih adalah ulah nafsu, karena nafsu
selalu menghendaki kepuasaan, kesenangan, kebanggaan, identitas diri, pembengkakan dari si
aku. Tentu saja kita dalam kehidupan ini mempunyai sesuatu, baik mempunyai orang lain
sebagai keluarga, sebagai isteri atau suami, sebagai anak-anak, sanak keluarga, sahabat atau
harta benda dan kedudukan. Akan tetapi, Mempunyai bukan dalam arti kata Memiliki
Mempunyai secara lahiriah, tidak memiliki secara batiniah. Batin haruslah bebas kalau kita
tidak ingin dilanda duka. Batin harus mengerti dengan penuh keyakinan bahwa sengala
sesuatu adalah milik Tuhan! Bahkan tubuh kita sendiri bukanlah milik kita, sekali waktu akan
rusak dan binasa.

God manifestation

God manifestation yang dimaksud adalah segala hal yang ada, yang menyentuh
panca indera, merupakan manifestasi dari Tuhan sehingga tiada kata lupa,
terabaikan, tidak bersyukur, dan tiada hari tanpa sanjungan kepada-Nya.
Merupakan suatu keniscayaan jika manusia tidak mendapatkan manifestasi Tuhan,
hanya saja tidak terpungkiri bahwa manusia memiliki selera dalam pencarian,
cita rasa dalam menikmati, dan seni dalam mendapatkan sesuatu.
Termasuk hamba yang hina dina ini. Pengalaman, teori, dan berbagai
mix development mengantarkan hamba pada kesimpulan bahwa alam adalah
manifestasi Tuhan yang paling kuat dan hanya petualanganlah yang bisa menyentuh-Nya.
Tentunya dengan hati yang bersih semata beribadah pada-Nya (ikhlashunniyah).

Perjalanan ke-27 Ramadan 1429 H di Penanggungan (Bagian 2)

Prolog
Puasa memasuki minggu kedua teman-teman pendaki dari Singojuruh Banyuwangi datang berkunjung.
Maksud dan tujuan kedatangan kawan-kawan tersebut selain bergantian saling mengunjungi juga untuk mencari beberapa
barang elektronik. Setelah tiga hari berkeliling pasar-pasar surabaya baik tradisional maupun yang modern akhirnya
kawan-kawan Banyuwangi mengutarakan maksud untuk kembali pulang. Agar kunjungan ini memiliki kesan mendalam
seperti ketika penulis datang berkunjung ke Banyuwangi, penulis menawarkan untuk mendaki gunung dengan komitmen
mempertahankan ibadah puasa meski dihantam haus hebat di gunung nanti. Kawan-kawan Banyuwangi menyambut dengan
antusias tetapi karena kesibukan atau hal lain yang penulis tidak ketahui kawan-kawan Banyuwangi tidak bersedia.

Cinta sejati identik dengan cinta buta. Pepatah mengatakan kalau sudah cinta empedu seperti madu dan derita adalah
kenikmatan tiada tara. Sampai-sampai kita mengenal istilah cinta tak bersyarat, cinta mati dan cinta gila.
Begitulah cinta penulis kepada gunung.

Kembali ke pendakian Penanggungan!
Setelah kita selesai menunaikan ibadah shalat Isya dan shalat Tarawih, berjalanlah kita setapak-demi setapak.
Sakit ringan yang bersemayam selama 2 hari ini membuat penampilan penulis tidak maksimal dan penulis yakin
kawan-kawan yang lain pasti merasa heran dengan keadaan yang tidak biasa ini, tapi sudahlah bisa bersama
dalam perumusan dan pencarian hikmah di tengah kawan-kawan terbaik penulis adalah anugerah Allah SWT no. 1.

Setelah mempertahankan dan menahan segala keputusasaan serta bergelut dengan tanjakan selama 5 jam sampailah
kita di puncak penanggungan. Alhamdulillah, penulis menyanjung Tuhan Maha Agung yang telah memberikan kesempatan
berharga nan langka. Mendaki di bulan puasa.

Harapan turunnya Lailatul Qadar di malam ini memenuhi hati. Perut terasa kaku dan sedikit kembung pertanda angin
datang memaksa. Kepala dengan tiba-tiba disergap pening meski tak tersampaikan oleh lidah sehingga tidak ada telinga
yang mendengar. Namun penulis tidak peduli. Terang malam ini seakan-akan penduduk langit sedang sibuk mempersiapkan
sesuatu yang Besar dan Agung. Hajat besar yang teramat menyibukkan sehingga terlihat beberapa bintang jatuh.
Ah, indah dan syahdu sekali malam ini. Kemudian dingin membuyarkan ketahanan tubuh yang lemah ini.

Hendik, Indra, Gunawan, Hidayat dan Duta menghabiskan malam di dalam gua sebelah utara. Sedangkan penulis dan kawan
yang lain mencoba mengukur diri dengan berjejer di alam terbuka, puncak Penanggungan. Kemudian dingin membuyarkan
harapan indah ini. Di pertiga malam terakhir Om Jawul entah menyendiri dimana yang kuketahui aku dibelenggu
oleh ketidakberdayaan. Alam sangat adil dan selalu jujur kepada semua yang mendatanginya. Itulah kenapa aku
selalu membanggakannya dalam setiap pembicaraanku.

Kuakui bahwa kesehatan dan keperkasaan ada dalam genggaman Allah SWT. Sekarang, kesehatan dan keperkasaan yang ku
banggakan di pendakian-pendakian terdahulu musnah. Aku benar-benar diuji. Semoga aku adalah makhluk teruji.

Perjalanan ke-27 Ramadan 1429 H di Penanggungan (Bagian 1)

Kegelisahan yang muncul di dalam hati merupakan suatu kewajaran dalam mengarungi variasi kehidupan.
Tidak terkecuali dalam melaksanakan ibadah puasa di bulan Ramadan 1429 H ini, ingin rasanya menghabiskan
satu kali waktu di sebuah tempat yang sunyi lagi tinggi-puncak sebuah gunung.

Pertengahan Ramadan, penulis menerima sebuah pesan singkat dari seorang guru sekaligus kawan pendaki,
Mr Mamad, yang menanyakan apakah ada rencana penulis untuk menghabiskan satu kali waktu di gunung saat Ramadan ini.
Membaca pesan singkat tersebut penulis menangkap ini adalah stimulus dari Mr Mamad untuk mengajak penulis ke
gunung di Ramadan ini sehingga penulis membalas dengan balik bertanya kapan Mr Mamad ada rencana ke gunung.
Ternyata Mr Mamad tidak ada rencana ke gunung di Ramadan kali ini.

Saya mengerti keadaan Mr Mamad. Beliau disibukkan oleh rutinitas bengkel elektronik, namun kerinduan dan kecintaan
pada gunung tidak pernah terlupakan oleh rutinitas tersebut yang tentunya di kala Ramadan ini sedang
puncak-puncaknya. Oleh karena itu beliau ingin mencoba mengobati kerinduan dan menawarkan cinta tersebut melalui
cerita dari kawan yang telah menghabiskan satu kali waktu di gunung saat Ramadan ini.

"Setiap pecinta pasti akan bercengkerama dengan yang dicintai meski hanya sekali.
Sang perindu tentu akan bertemu dengan yang dimaksud meski hanya dalam mimpi".

Prinsip hidup ini begitu mengemuka bagi penulis. Perjalanan hidup penulis yang seperempat abad ini dipenuhi dengan
kecintaan terhadap gunung dan kerinduan terhadapnya ketika berpisah untuk kembali pada rutinitas hidup.

Akhir Ramadan penulis menerima pesan singkat dari guru dan kawan mendaki-Sang Pengurai Hikmah, Om Jawul.
Sebenarnya waktu yang ditawarkan di pesan singkat itu agak sulit untuk penulis penuhi karena penulis
harus pulang kampung sehari atau dua hari sebelum lebaran. Maklum di rumah hanya ada Bapak dan Ibu saja
(kakak sudah berumah tangga) sehingga penulis khawatir kedua orang tua akan protes karena momen Ramadan tidak
banyak waktu dengan penulis.

Malam ke-28 direncanakan di puncak Penanggungan, namun karena penulis tahu kesibukan Om Jawul di Kantor PLN Mojosari
dan awal Ramadan penulis telah pulang selama 2 hari maka penulis pun setuju. Tetapi 2 hari berikutnya Om Jawul
mengirim pesan singkat lagi bahwa sebaiknya malam ke-27 dan saya pun setuju.

Hadist Nabi SAW
Dari Muawiyah bin Abu Sufyan RA dari Nabi SAW, beliau bersabda tentang malam Lailatul Qadar: "Lailatul Qadar
itu ialah pada malam 27". Diriwayatkan oleh Abu Daud, dan yang rajih adalah mauquf. Dan telah berselisih tentang
menetapkan malam Lailatul Qadar itu hingga 40 qaul yang dicatat dari Fathul-Bary (Tarjamah Bulughul Maram).

Malam Lailatul Qadar, adalah suatu malam di mana do'a-do'a kita pasti dikabulkan, dan ibadah pada malam itu pahalanya
sama dengan ibadah 1.000 bulan.

Penulis berpikir alangkah baiknya momen langka ini juga dialami kawan-kawan yang lain, baik dari alumni Semeru 2008
atau kawan-kawan yang lain. Penulis pun mengirim pesan singkat pada kawan-kawan tersebut yang tentunya nomor
handphone-nya tersimpan di phonebook penulis.

Jadilah komposisi lengkap skuad pendakian berjumlah 12 personil:Om Jawul, Pak Nur, Mas Wadi, Saiful (Penulis),
Umam, Anton, Santo, Gunawan, Hendik, Indra, Duta, dan Hidayat.

Hikmah perjalanan
Om Jawul selalu menekankan tentang peningkatan keimanan dalam setiap kali pendakian. Dalam perspektif Om Jawul
hanya perjalanan dan menghabiskan beberapa waktu di gununglah yang bisa memberikan rangkaian stimulus kuat untuk
tidak pernah lupa dan berhenti memberikan sanjungan kepada Sang Maha Pencipta. Manifestasi yang benar-benar sempurna
dalam persepsi Om Jawul hanya bisa ditemukan di sini (gunung) meskipun disadari bahwa secara umum semua ciptaan
Allah SWT baik yang di air, daratan dan udara adalah sempurna adanya namun itulah persepsi-bersifat khas (pribadi)
dan tidak bisa disalahkan.

Masih menurut Om Jawul, produk diri yang berupa hati yang baik-lembut, peka (sosial) namun tegar secara mandiri
dapat dibentuk di gunung. Rangkaian produksi (input-proses-output) dapat diupayakan sendiri (prinsip kemandirian).
Kemandirian yang dimaksud adalah bahwa sangat tidak mungkin mencapai puncak tanpa menggunakan langkah sendiri
sehingga kesan yang tercipta lebih mendalam karena proses mulai hulu hingga hilir dijalani sendiri tanpa bantuan
orang lain. Suatu nilai penghargaan terhadap diri sendiri yang jarang diperoleh melalui aktivitas lain.

Proporsi

Hidup dan nasib, bisa tampak berantakan, misterius, fantastis,
dan sporadis, namun setiap elemennya adalah subsistem
keteraturan dari sebuah desain holistik yang sempurna. Menerima
kehidupan berarti menerima kenyataan bahwa tak ada hal sekecil
apa pun terjadi karena kebetulan. Ini fakta penciptaan yang tak
terbantahkan (Edensor, Andrea Hirata).

Diinterpretasikan dari pemikiran agung
Harun Yahya

Itulah proporsi. Jika dilihat secara parsial maka dalam jumlah besar akan berada dalam
kekecewaan namun ketika kita memahami secara simultan maka akan terlahir kebijakan
dari buhul-buhul hati ini. Karena grand total dari proporsi adalah angka 1.

Suatu saat tercipta sebuah cerita tentang seseorang yang 0,9 sepanjang hidupnya penuh dengan
kekalutan. Namun di suatu saat yang berbeda terdapat hal yang berlainan dimana kehidupan
seseorang dengan 0,1 kekalutan. Ini prinsip keseimbangan, hukum kekekalan dua sisi yang
hanya dapat dipahami melalui prinsip proporsi.

Subsistem-subsistem inilah yang ada dalam keteraturan kehendak Tuhan sehingga prinsip
kebetulan benar-benar pemahaman yang sangat keliru karena proporsi setiap kejadian telah
ditentukan oleh Sang Pencipta Yang Maha Teliti.

Namun Tuhan menciptakan ambiguitas terhadap makna proporsi. Proporsi diciptakan menjadi
kata yang penuh dengan ribuan sayap sehingga setiap pribadi akan memiliki persepsi
proporsi yang berlain dengan pribadi yang lain.

Tangis bisa representasi dari sedih dan senang
Tawa pun bisa mewakili perasaan yang terguncang
Kegilaan pun ternyata adalah puncak-puncak pemahaman hidup sehingga definisi-definisi hidup
begitu mudah terlahir melalui teriakan-teriakan gila
Dan proporsi berada dalam barisan terdepan

Cara pandang yang berbeda terhadap proporsi akan menciptakan suatu tindakan yang berlainan
pada masing-masing individu. Meski sejatinya proporsi selalu bermakna positif dan penuh sifat
konstruktif. Namun seringkali disikapi dengan cara negatif dan desdruktif (cenderung merusak
diri dan orang lain).

proporsi hidupku:
1. Kesedihan : 0,15
2. Kebahagiaan : 0,65
3. Kesunyian : 0,1
4. Keramaian : 0,1
proporsi yang ideal