Minggu, 08 Maret 2009

Diklat SAR Banyuwangi Independent II

Permulaan
Adalah kemuliaan ketika kita bisa melahirkan manusia-manusia yang memiliki kepedulian dan
skill ketika suatu bencana melanda. Oleh karenanya ketika aku mendapatkan undangan dari
Banyuwangi SAR Independent (BSI) untuk turut serta berpartisipasi dalam Kawah Candradimuka (Diklat) yang akan melahirkan manusia-manusia tanggap bencana hati ini sunguh berbahagia. Meski pemberitahuan tersebut hanya berselisih 3 jam dari jadwal keberangkatan kereta api (KA) ekonomi Sritanjung Surabaya-Banyuwangi namun itu sama sekali tidak menghalangiku untuk bisa meluncur bersamanya dengan persiapan maksimal.

Aku berangkat dari Stasiun Gubeng di Sabtu Sore, 28 Februari 2008 dan sampai pukul 22.00 WIB di Stasiun KA Temuguruh Sempu Banyuwangi.

Lokasi TKP (Tempat Kejadian Perkara) yang menjadi Kawah Candradimuka Diklat Banyuwangi SAR Independent adalah Mangaran yang masih berada di kaki Gunung Raung. Untuk sampai di tempat aku dijemput saudara alamku, Pepeng.

Apa yang terjadi?
Bagiku, diklat adalah salah katalisator utama merestrukturisasi segala potensi dan kekurangan diri. Hal ini disebabkan dua unsur utama yang ingin dicapai dalam kegiatan diklat adalah perubahan cara pandang-sikap (tidak kasat mata) dan kemampuan teknis (kasat mata). Oleh karena itu diklat harus didesain sedemikian rupa sehingga kedua unsur tersebut tercapai.

Perbincangan intens dengan Ketua Umum Banyuwang SAR Independent, saudara alam sekaligus guru alamku, Evil Face menginginkan proses diklat yang bersifat alamiah (bukan situasional). Mengalir namun terencana. Hidup dan fluktuatif.

Bagaimanapun tidak dapat dipungkiri bahwa operasi SAR/kegiatan SAR adalah reactive operation/reactive activity. Hal ini disebabkan kejadian bencana selalu bersifat dadakan (stealing) sehingga diklat SAR harus juga menganut filosofi 'bencana datang tanpa permisi'. Jadi sewaktu-waktu kita harus siap (standby).

Berdasarkan kenyataan bahwa bencana selalu datang secara mendadak meski bisa diprediksi maka konsep diklat ini ditekankan pada aspek responsif dan reaktif peserta diklat. Tidak ada pemberitahuan jadwal kegiatan secara menyeluruh/terperinci sehingga peserta diklat akan bertanya-tanya dalam hati kegiatan selanjutya. Aspek kewaspadaan juga ditekankan meliputi kewaspadaan diri, kawan, lingkungan, dan korban.

Prinsip "Jangan sampai yang nge-SAR malah di-SAR (baca: yang nyari malah dicari dan yang mau menyelamatkan malah diselamatkan)" menjadi doktrin. Suatu ironi bila hal ini terjadi pada tim SAR!

Agar tidak terjadi kesenjangan (gap) antara teori dan praktek maka peserta diberikan simulasi yang hampir menyerupai kondisi nyata ketika suatu operasi SAR dilakukan.

Simulasi?
Peserta diberikan simulasi bahwa telah hilang dua orang penjelajah di area tebing antara dua pegunungan yang kemungkinan tebing tersebut dibawahnya merupakan aliran sungai melihat dari karakteristik wilayah yang ada di Peta. Dengan informasi terbatas dan peralatan terbatas (serba limit) serta medan yang berat (hutan, hujan, terjal, tebing, sungai) para peserta bergerak untuk melakukan operasi SAR.

Tidak dapat dipungkiri bahwa kita panitia terlalu overestimate dengan memberikan medan yang terlalu berat. Maklum, para peserta adalah SISPALA (Siswa Pecinta Alam). Meski begitu para
peserta telah menunjukkan pertanda sebagai Penge-SAR sejati. Pantang menyerah meski diguyur hujan lebat. Tidak takut meski menuruni tebing curam. Dan tidak mengeluhkan fisik yang capek.
Sebuah permulaan yang baik!