Selasa, 08 Oktober 2013

Pendaki dan Selingkuhannya

Satwa satu ini (pendaki) memang luar biasa. Dibilang cakep, wajah awut-awutan apalagi usai turun dari gunung. Dibilang romantis, ngomongnya to the point dan cenderung kasar (apalagi pendaki yang dari jawa timur ngomongnya CAK-CUK, CAK-CUK.. Pancen GWATHELI). Tetapi meskipun begitu ternyata mereka punya banyak cinta alias selingkuhan. Gila bener.

Nah, setelah para wanita korban perilaku pendaki ini melakukan penyelidikan akhirnya terungkaplah para selingkuhannya. Ini dia daftarnya:

1. Gunung, kecintaan yang tiada duanya.

2. Keril, besar dan seksi

3. Tenda, peneduh dan penentram jiwa

4. Trangia, selalu berada di dalam fikiran

5. Kompas, pengisi dan penunjuk hati terdalam

6. Kompor gas, menyalakan gelora asmara

7. Sepatu, teman melangkah

8. Sleeping bag, pemeluk sejati

9. Edelweis, yang paling sempurna dan abadi

9. dan lainnya

Astaga, pendaki itu memang ga waras, apa saja yang terkait pendakian gunung dianggap sebagai kekasih hatinya. By the way, tak apalah asal jangan sampai lihat Sapi atau Kambing di gunung terus dianggap kekasih. Wkwkwkwkwkwkwkk!
Apa ketidakwarasan ini efek dari kurang perhatian dan kasih-sayang wanita-wanita di dataran rendah pada para pendaki gunung ya?

Cara Mendaki yang Disebut Menikmati Alam

Seringkali penulis diprotes sebagai pendaki yang tidak menikmati alam (pendakian). Karena mendaki jarang istirahat lama. Terus berjalan dan berjalan. Bahkan muncullah berbagai kisah pemberontakan dan pembelotan dan juga penggerutuan terhadap kepemimpinan penulis dalam pendakian. Semua kritik dan protes tersebut mengatasnamakan MENIKMATI PENDAKIAN!!

Apa sebenarnya yang mereka pikirkan tentang menikmati alam, menikmati pendakian? Penulis merasa aneh jika dikatakan bahwa model pendakian yang penulis lakukan tidak menikmati alam. Setahu penulis dari pengalaman mendaki beberapa tahun ini: PENDAKIAN PENULISLAH YANG PALING MENIKMATI ALAM!

Bayangkan, mereka yang berlama-lama terpasung di dalam kegelapan belantara yang kemana mata melihat yang terlihat hanyalah pohon, daun dan belukar. Kemudian cuma sebentar di puncak karena waktu habis diperjalanan karena kebanyakan istirahat bahkan tidur. Sedikit sekali mendapatkan kesan dari suasana alam.

Bandingkan dengan penulis berjalan dengan tempo sedang namun jarang istirahat di dalam kegelapan belantara untuk mencapai punggungan atau puncak bayangan yang indah atau segera tiba di puncak tertinggi yang menawan dan berlama-lama menghabiskan waktu disana. Mengisi waktu dengan memasak, foto, menulis puisi, mencatat curhatan hati, merenung dan sebagainya.

Bayangkan juga, mereka yang cuma tahu bebatuan yang sama di sepanjang perjalanan dan tidak mencium harumnya belerang puncak atau bekunya dingin puncak karena waktu habis diperjalanan yang mengharuskan segera pulang ke rumah sebelum sampai ke puncak.

Bandingkan dengan penulis yang berjalan dengan tempo sedang namun jarang istirahat untuk segera mencapai dan menghirup pekatnya kabut puncak. Membelai bebatuan purba di titik ketinggian. Oh betapa nikmatnya terpenjara dingin. Menikmati sirnanya cita-cita (ambisi). Untuk beberapa waktu kehilangan keinginan (bahagia).

2 hari 1 malam waktu pendakian

Pendakianku

Hari pertama : di sebuah sunset merah merona telah duduk di puncak bersama tenda dan segelas kopi

Malam Pertama : menikmati nyala lampu kota di puncak atau bermain kartu. Atau berkelakar sambil menikmati cahaya bulan dan kelap-kelip bintang (The sky on-off, on-off)

Hari Kedua : menunggu sunrise dari sebuah punukan bukit atau dari pecahnya awan sambil berfotografi ria. Melawan dingin pagi dengan pelukan sleeping bag. Ow betapa nikmatnya cara/hasil pendakianku.

Pendakian lainnya dengan kondisi berbeda

Hari pertama : masih santai di jalur pendakian kemudian malamnya camping di salah satu sudut jalur yang cukup luas.

Malam Pertama : tidur dengan pulas karena kemalaman di jalan

Hari kedua : summit attact namun agak kesiangan bangunnya karena menikmati alam alias bersantai ria dan sampai puncak menjelas siang dan matahari sudah tidak enak untuk diajak berteman. Tak lama di puncak, harus segera turun karena malam ini mama nunggu di rumah, wkwkwkwkwkwkwkkk !!!!!!!!!
NB: Jangan tertipu oleh kalimat, “Yang penting prosesnya, puncak hanyalah bonus.” Ngapain mendaki gunung jika hanya menjadikan puncak bukan sebagai tujuan utama? Konteks kalimat tersebut baru tepat ketika kita sudah berusaha optimal mulai dari persiapan sampai upaya menggapai puncak hingga melampaui limit batas kemampuan kemudian tiba-tiba bertemu teman atau pendaki lain yang butuh segera ditolong dan dibawa turun ke basecamp. Perkataan, “Puncak tidak akan kemana”, baru tepat ketika kita telah menunggu sampai waktu dan logistik tidak memungkinkan lagi karena terjadi badai dan cuaca buruk lainnya yang unsafety bila dilakukan summit attack!

Senin, 07 Oktober 2013

Mendaki bukan Hobi Monoton namun penuh dengan Multiplier Effect

Hobi Mendaki gunung sering ditertawakan oleh musuh-musuh hobi ini sebagai kegiatan yang tidak banyak manfaat dan monoton (naik terus turun, apa enaknya?).

Tidak dapat dipungkiri secara kasat mata mendaki gunung adalah aktivitas naik kemudian selanjutnya turun. Tetapi jika dicermati dengan seksama ternyata mendaki gunung adalah kegiatan yang kompleks dan tidak pernah ada kata monoton apalagi menjemukan.

Lihatlah kamera-kamera yang dibawa pendaki (ada unsur fotografi). Juga buku-buku catatan perjalanan (ada unsur jurnalistik dan manajemen). Lihatlah beberapa orang yang menjadi sebuah tim (ada pembagian tugas dan kepemimpinan). Lihatlah fisik yang bugar dan sehat.

Tentunya lihatlah jiwa-jiwa yang rapuh di dataran rendah kemudian menjadi kuat dan angkuh terhadap kenyataan ketika telah selesai mencapai ketinggian. Persoalan-persoalan hidup teratasi karena inspirasi dari (pendakian) gunung.

Toksin-toksin (racun, penyakit) hancur lebur bersama kucuran keringat. Anak mami (manja) hilang, muncullah anak alam (mandiri).

Sang Pengecut bertransformasi menjadi Sang Petualang.

Dan tentunya nasionalisme sebagaimana disampaikan Soe hok Gie akan mengakar kuat karena nilai kearifan masyarakat lokal dan nilai kejantanan ketika mendaki berpadu, menggali mendalam nilai-nilai pancasila dan keindonesiaan-nusantara.
Masih menyakini atau terpengaruh oleh pernyataan kegemaran mendaki adalah hobi yang
monoton?

Perbandingan Input, proses, output dan outcomes: Sebuah komparasi manusia pra agama, agama dan paska agama (post-modern)

Manusia hari ini selalu menilai bahwa masanya adalah yang terbaik. Masa berbagai temuan dan ciptaan terlahir. Ribuan agama dan ajaran tersempurnakan. Dan masa depan ada dalam grand design yang jelas.

Mereka menganggap bahwa orang-orang lama (terdahulu) primitif, bodoh, dan sangat riskan (lucu). Melakukan hal-hal yang sia-sia dan tidak efisien. Seperti tinggal di gua, rumah pohon dan menyembah alam (animisme dan dinamisme). Manusia pra agama.

Tapi benarkah klaim manusia masa kini itu ?

Untuk mengetahuinya dengan mudah (sederhana) mari ikuti metode perbandingan input, proses, output dan outcomes saya dalam mendapatkan jawaban tersebut.

Praktisnya (bodoh-bodohanya) adalah orang-orang terdahulu kita klaim sebagai para penyembah pohon dan batu (klaim yang sangat dangkal tentunya). Orang-orang seperti ini dianggap terbelakang dan tidak mengenal diri dan Tuhannya. Pemilik keyakinan primitif. Sementara orang jaman pertengahan (dari masa kekinian) mulai mengenal agama (dogma) dan mengklaim mengenal diri dan Tuhannya. Dan orang terkini merasa lebih maju dalam mengenal banyak Tuhan dalam keesaannya (Uang, Jabatan selain namaNYA dalam Kitab Suci).

Lihatlah betapa munafiknya manusia-manusia jaman pertengahan dan masa kini.

Mereka mengklaim mengenal Tuhan dan dirinya tetapi mereka merusak alam dan mudah stres. Setiap berkala mereka melakukan penyembahan pada Tuhan yang mereka definisikan begitu indah dan spesifik namun setelah itu mereka membabat pohon, mengeruk tanah dan bebatuan (eksplorasi) serta membunuh manusia lainnya dengan cara tidak langsung seperti korupsi.

Bandingkan dengan manusia terdahulu, anggaplah mereka menyembah pohon dan batu, kemudian memuliakannya. Menjaganya dan memotongnya dengan prinsip sustainability (untuk keberlangsungan hidup anak-cucu. Membiarkan pohon tumbuh dan membesar. Dan hasilnya, tidak ada isu climate change (bencana dan ancaman alam) seperti jaman sekarang.

Tidak ada ketakutan dari manusia terdahulu bahwa alam akan membantai habis manusia. Karena manusia telah berhasil memuliakan alam dengan caranya.

Pantas saja Jin dari jaman awal dalam Babad Tanah Kadiri sampai menuduh agama dari gurun pasir tidak suka pohon maka pohon-pohon ditebang. Sejak beberapa abad kemunculan gurun pasir maka berapa hektar hutan Indonesia yang dibabat habis?

Pun tak jauh beda dengan agama yang lain.

Maka tidak salah jika muncul hipotesis bahwa manusia jika ingin selamat dari amukan alam harus kembali pada manusia telanjang (tak beragama formal). Semua keteraturan dibangun bersama dengan keselarasan alam (animisme dan dinamisme).

Ringkasan metode perbandingan Input, Proses, Output dan Outcomes dari manusia kekinian-pertengahan dibandingkan manusia primitif

Manusia Kekinian-Pertengahan                  

Jenis Manusia            : Manusia Beragama 

Input                           : Manusia yang akan menyembah Tuhannya           

Proses                         : Masuk ke Masjid, Gereja, Vihara, Pura                 

Output                        : Manusia yang telah menyembah Tuhannya           

Outcomes                   : Penebang Pohon, Penadah, Cukong nakal, Koruptor, Munafik

Manusia Primitif (Pra Agama)

Jenis Manusia            : Manusia Animisme&Dinamisme

Input                           : Manusia yang akan memuja alamnya

Proses                         : Memuliakan (puja)-bersimpuh pada pohon, bebatuan dan lainnya

Output                        : Penyembah Batu dan Pepohonan serta benda alam lainnya
Outcomes                   : Pohon (Alam) Lestari, Tidak ada longsor, Kejujuran, Kearifan Lokal

Siapa sebenarnya Tuhan pendaki gunung?

Saya kaget ketika berdiskusi tentang religi pendaki gunung. Kesimpulannya di luar dugaan saya. Dalam kondisi tertent ternyata pendaki gunung sangat religius tetapi tak berTuhan seperti Tuhannya agama Islam, Kristen, Katholik, Hindu, Budha, Konghucu atau nama-nama Tuhan agama yang lain. Ketika di gunung mereka tak mengenal Allah, Yesus, Budha, Brahma, Siwa, Hyang Widi Wasa dan nama-nama Tuhan lainnya.

Begini ceritanya. Malam itu tiba-tiba tanpa direncanakan sebelumnya beberapa teman-teman pendaki berkumpul di tempat tinggal saya yang berukuran 3 x 4 meter. Semirip gua Kiskendanya Sugriwa atau Gua Hiranya Muhammad SAW. Atau tidak jauhlah sama Gua Selarongnya Pangeran Diponegoro.

Obrolan kami seputar rencana destinasi pendakian tahun ini (2013) akhirnya sampai pada titik jenuh dan berbelok kepada kereligiusan kami sebagai pendaki gunung. Kami saling bercerita ‘rahasia besar’ Ketuhanan kami saat mendaki gunung.

Ketika di gunung kami tidak lagi mengenal Allah SWT. Saat summit attack kami tak lagi menyebut Tuhan Yesus Kristus. Budha, Hyang Widi Wasa. Di kala terpenjara dingin puncak gunung kami hanya menyebut:

1. Restoran Padang,

2. Hotel Bintang 5,

3. Pecel Madiun,

4. Soto Lamongan,

5. Selimut dan Kasur di kos-kosan/rumah,

6. Jus Alpokat yang segar,

7. Tukang pijit,

8. Sate Kambing, dan

9. Nama-nama Tuhan kami lainnya yang sangat kami rindukan!!

heheheheheee
Siapa Tuhan yang rekan-rekan sebut ketika kelaparan dan terpenjara beku-dingin di gunung?

Andaikan saya mati karena mendaki gunung

Mungkin suatu saat saya akan benar-benar dijemput Malaikat Maut (Berharap Tuhan sendiri yang langsung menjemput saya) saat melakukan pendakian.

Dan seandainya saya benar-benar mati karena mendaki gunung. Entah karena jantungan lihat pendaki wanita secantik dan seseksi Katy Perry, jatuh ke jurang, tersembur gas beracun, mati kedingingan karena lupa tidak membawa sleeping bag (SB) dan si gadis cantik enggan mentransfer kehangatan (saya lebih baik mati kedinginan dari pada dihangatkan sesama pria, hohoho). Yang jelas tentu saya tidak akan bisa bikin catatan/postingan di Group Penikmat Gunung dan Belantara (PGB) lagi. Tidak akan bisa menulis di www.pendakirewel.blogspot.com lagi. Tidak akan bisa meluncurkan tulisan terbaru lagi dari hasil pendakian dan pemikiran nyleneh dan nakal. Tidak akan bisa membalas komentar dimana pun akun saya berada. Nama saya tinggal jadi keranda: Lelaki Penuh Dosa (Lapendos), seorang pendaki yang meproklamirkan diri sebagai pendaki no. 1 (dosanya).

Saya tak tahu lagi bagamaina respon orang-orang yang mengenal saya baik di dunia maya maupun di dunia nyata. Saya tidak tahu bagaimana respon orang-orang yang tidak pernah tahu sama sekali dengan semua isu  yang saya usung dan saya yakini bahwa animisme dan dinamisme-lah yang melestarikan alam ini. Yang terbanyang oleh saya: Tangis ayah-ibu saya tercinta. Istri. Dan tawa ria orang-orang yang mengutuk saya seperti penadah/cukong hasil hutan ilegal, Pemegang KPH nakal, mungkin juga sesama pendaki yang mengutuk animisme dan dinamisme yang saya yakini sebagai keyakinan pelestari alam ini.
Ndilalah sampai kini saya masih hidup. Jadi bila tidak setuju dengan tulisan dan postingan saya sudah tentu saya bisa langsung merespon argumentasi debat Anda selama akses internet tersedia. Berperang. Berdiskusi. Tulisan/Potingan dibalas dengan tulisan/postingan. Tentunya dengan cara cerdas dan tujuan yang mulia: Mencari kebenaran dengan dialektika. Membuang jauh emosi dan kebencian jauh ke belakang. Bersenggama dengan data, pengalaman praktis dan kemudian menemukan bersama konstruk kebenaran adalah melebihi nikmatnya bersenggama dengan 72 bidadari surga (kayak pernah saja hehehee). Kenapa menulis, berposting ria dan berargumentasi di dunia maya? Jaman sekarang susah buat mengalokasikan waktu buat kopdar atau mengikuti seminar bersama orang yang sevisi dan sehati: PENIKMAT GUNUNG DAN BELANTARA hehehee

Gunung adalah alat Masturbasi yang paling Nikmat dan paling AMPUH

Tidak dapat dipungkiri bahwa pendaki gunung adalah manusia biasa. Normal terhadap dampak produksi hormon testosteron dan progesteron (sori kalau salah tulis, maklum saja bukan ahli biologi). Apalagi pendaki adalah pemilik energi yang berlimpah. Jadi wajar jika pendaki gunung juga rajin (hobi dan rutin) bermasturbasi agar tidak kacau sistem keseimbangan tubuh dan jiwanya.

Nah inilah alasan UTAMA DAN TERUTAMA kenapa pendaki gunung tak pernah bisa lepas dari gunung. KARENA GUNUNG ADALAH ALAT MASTURBASI YANG PALING NIKMAT. Melebihi lotion, sabun dan alat lainnya. Tidak hanya pada bagian tertentu (alat vital) tetapi juga seluruhnya. Tidak percaya? Inilah buktinya!

1. Gunung akan memasturbasi kepala pendaki dengan pikiran-pikiran yang jernih. Keindahannya akan memfilter segala kejumudan dan ketika turun otak pendaki adalah pikiran-pikiran yang segar, kreatif, terbuka dan out of the box.

2. Gunung akan memasturbasi punggungmu. Beban berat dan angin yang menerjang tubuhmu akan menguatkan dan menjadikanmu siap dan kokoh menghadapi kekejaman dunia dataran rendah dan hiruk-pikuk kota.

3. Gunung juga akan memasturbasi hatimu. Sensitivitas sosial yang sangat langka di negeri ini adalah milik pendaki gunung sebagai hasil bermasturbasi ria dengan alat bantu gunung.

4. Oleh gunung, jiwa pendaki akan dibuat menggelinjang sehingga tidak ada lagi kata besok (ditunda). Yang ada adalah kata 3 M (mulai dari diri sendiri, hal yang kecil dan SEKARANG). Fight!

5. Gunung pun tak pernah lelah mengocok kaki kuat pendaki untuk tak pernah kendor dari hijrah menuju kepada kebaikan, memberantas disparitas dan membawa perubahan positif.

6. Dan secara holistik gunung pun adalah alat masturbasi terbaik untuk menemukan siapa sejatinya diri manusia.
Sobat pendaki, bagian mana lagi yang telah dimasturbasikan gunung pada dirimu?

Berbagai jenis tipe dan ukuran Alat Vital Pendaki Gunung

Alat vital berukuran 18 cm, WOW! Itu ukuran yang diidam-idamkan lelaki dan tentunya perempuan. Ukuran garansi untuk sebuah kata: PUAS dan BANGGA!

Namun, ternyata ukuran alat vital pendaki gunung jauh melampaui angka 18. Mengagumkan. Tidak percaya?

Penelitian dengan metode pengumpulan datanya via wawancara langsung ketika pendaki tengah melakukan perjalanan turun dari puncak. Representasi dari beberapa pendaki gunung yang tersebar di gunung-gunung Indonesia saat diwawancara menghasilkan kesimpulan bahwa alat vital pendaki gunung lebih panjang dari ukuran idaman-18 cm.

Inilah hasil wawancara pendaki yang turun dari puncak gunung di Pos Perijinan ketika enumerator (petugas wawancara) menanyakan berapa ukuran alat vital mereka: Karena pendaki sudah kecapekan dan kelaparan akut tak bisa mendengar dengan jelas jenis dan ukuran apa yang ditanyakan jadi DIJAWAB PANJANG JALUR PENDAKIAN.

1. Pendaki yang dari Gunung Gede berteriak ukuran alat vitalnnya 9 Km

2. Pendaki yang dari Gunung Pangrango menjawab ukuran alat vitalnnya lebih dari 10 Km

3. Pendaki dari Gunung Sumbing berujar 7 Km tapi tegang (nanjak) terus tak pernah kasih ampun (tak ada bonus)

4. Dan yang paling mengejutkan adalah pendaki dari Argopuro yang semula melangkah lunglai namun ketika ditanya langsung membusungkan dada sembari berteriak lantang-alat vitalnya-“terpanjang di Jawa yaitu 34 Km, lurussssssss!

Apa model dan seberapa panjang alat vitalmu bro?

Wkkkkkkkk!!!!!!! Hihihihihihihiihhihihihiiii ^__^
Semoga ga garing ya sobat tulisan guyonannya dan mohon maaf bila kurang sopan.

BURUAN MENDAKI GUNUNG!

Mendaki gunung adalah hobi yang langka dan terbatas. Langka karena tidak banyak yang melakoni hobi ini dan terbatas karena gunung tidak menyajikan segala kebutuhan yang diperlukan manusia. Pendaki harus menyediakan sendiri kebutuhannya mulai dari tempat start pendakian. Apalagi mendaki gunung dengan durasi > 3 hari adalah suatu pengalaman langka untuk hari ini dan 10 tahun mendatang. Mengapa bisa begitu?

Pertama, dataran rendah tidak lagi bisa memenuhi kebutuhan (ketamakan) manusia. Hunian manusia dan area pertanian di dataran rendah semakin sempit sehingga manusia merambah dataran tinggi untuk membuat rumah dan membuka areal pertanian dan sebagainya. Akibatnya, titik start pendakian semakin tinggi (semakin mendekati puncak) dan BAGI PENDAKI ITU ADALAH AKHIR DARI HOBI PENDAKIAN.

Kedua, mendaki gunung identik dengan merambah hutan. Tetapi data menunjukkan bahwa kerusakan hutan Indonesia sangat luar biasa seperti kutipan dari sambutan Menteri Negara Lingkungan Hidup dalam Peringatan Hari Lingkungan Hidup Sedunia 5 Juni 2011,

“Laju kerusakan hutan masih lebih cepat dibandingkan dengan laju pemulihannya. Kerusakan hutan sekitar 1,1 juta hektar per tahun di Indonesia, sedangkan kemampuan pemulihan lahan yang telah rusak hanya sekitar 0,5 juta hektar per tahun atau laju kerusakan hutan adalah sekitar 2 persen per tahun.”

Artinya hutan di pegunungan akan semakin gundul. Apalagi ini diperparah oleh kenyataan bahwa tidak semua gunung berstatus Taman Hutan Rakyat (Tahura), Cagar Alam atau bahkan Taman Nasional (TN). Jadi tidak ada perlindungan legal untuk menjaga kelestarian hutan di gunung. Cobalah rekan-rekan mendaki gunung di Jawa Tengah maka akan mendapati beberapa gunung dengan kepemilikan hutan gunung yang minim.
Mungkin masih ada fakta lain lagi. Namun jelas kedua fakta di atas menyuratkan dan menyiratkan pada kita sebagai Penikmat Gunung dan Belantara untuk BURUAN MENDAKI GUNUNG karena 10 tahun lagi mungkin kegiatan mendaki gunung dengan jalan kaki selama > 3 hari dalam hutan yang rindang dan teduh akan berstatus ALMARHUM!

Jiwa dan Karma Lapendos

Kekasihku, karma darimu telah kujalani tanpa penyesalan ataupun dendam. Meskipun aku menyesal mengkhianatimu. Memang rangkaian kata maafmu telah engkau tulis di setiap pandangku. Tetapi aku tetap merasakan cengkeraman karma. Karma atas dosa-dosa ini sudutkan aku dalam lembah kenistaan. Meredupkan pancaran sinar aurora hatiku. Derakan aku dalam asing, walau ragaku di tengah keramaian para pecinta.

Kekasihku, sisi batinku pun remuk tak berbentuk, tak kuasa menahan hantaman karma ini. Dan aku yakin ia takkan berhenti sampai di situ. Mungkin sampai aku lenyap dan musnah.

Ya, tiga hari ini, tiga tahun ini, tiga abad ini, aku seekor kura-kura yang mengejar rusa.

“Tidak ada karma untukmu”, ucapmu.

Kholil Jibran berkata, “Engkau adalah arus sungai yang akan mencari laut di mana kekasihmu berada”.

Tetapi jika memang karma itu telah tercabut, mengapa ketika aku sampai di laut tiba-tiba aku kembali ke bukit. Berlari diantara bebatuan.

Aku juga seyakin Kholil Jibran bahwa aku adalah nyanyian terpenjara kebisuan. Merindukan hati kekasihku. Karena ketika angin surga menerpa dan berbicara padaku di hutan hijau, aku mendengar suara lagi, dan suara itu menangkapku, dan aku dibawanya kembali pada kegaguan.

Aku sepercaya Kholil Jibran bahwa aku adalah akar di bumi yang gelap, dan aku tumbuh menjadi setangkai bunga serta aroma wangiku menebar ke pojok-pojok musim semi untuk memeluk kekasihku, walau nantinya sebuah tangan merengkuhku. Aku kembali menjadi sebuah akar. Tumbuh di kegelapan bumi…………………….
!

Hei, jika aku adalah akar, aku dapat memindahkan prahara ke cabang-cabangnya. Dan jika aku adalah arus sungai, aku akan terus mengalir bahkan ketika sudah mencapai laut. Tentu saja, sangat bagus jika air itu dapat menguap ke angkasa dan karma ini pun usai sudah.

Kekasihku,
aku juga aroma dan sayap-sayap yang mengangkasa itu. Ciumlah, aromaku menyerbak ke penjuru langit dan sayap-sayapku melayang tepat di atas pundakmu.

Kekasihku, malaikat pemutus dunia telah datang. Ia menyebarkan aroma kematian sampai dadaku sesak tak mampu bernafas. Sayap-sayap
hitam-pekat-itu menyembul dari setiap selaksa larik tubuhnya.

O … Kekasihku, ia datang hendak merampas kekejaman yang berderai canda. Padahal engkau tahu aku telah lama memimpikan kekejaman itu.

O … Tidak, tidak Kekasihku. Jangan engkau lambaikan tangan tanda perpisahan. Kabahagiaan yang engkau damba berwujud kenistaan.

Bukan, bukan tempat itu Kekasihku. Di sana hanya ada bayangan tua. Ia pernah memberiku segelas anggur di meja.

Di puncak Mahameru, aromku lenyap di telan kabut. Sayap-sayapku patah digertak misteri gaib. Menyeramkan sekali. Meskipun aku telah makan dan minum di sana. Bahkan membangun kastil dengan menara-menara
pencakar langit. Namun bulu kudukku tetap tegak bukti ciutnya nyaliku.

“Lapendos!” Agaknya bayangan tua itu lelah membisu.

Dia memintaku untuk kembali. Namun aku tidak mau, dan sekarang orang-orang memanggilku si Gila.

“Gilalah, semakin engkau gila semakin cepat engkau mendekati puncak ketuhanan. Semakin engkau gila, semakin damai dan tenang jiwamu. Kegilaanmu akan menuntunmu pergi dari tempat kembali. Jauh ….. jauh … jauh dan semakin jauh.”

Sayangnya, aku tak mau sampai di puncak ketuhanan. Aku belum siap dalam damai dan belum mengenali tempatmu berpijak. Aku tak mau pergi jauh dari tempat kembali. Aku belum mau gila.

Dalam pelarian ini aku terus mencari. Sepanjang hidup kuhabiskan dalam pencarian. Mencari banyak hal, sehingga aku lupa dengan apa yang sudah kutemukan dan masih belum kudapatkan. Tak terlupakan banyaknya ilham yang menyertai dalam perjalananku memenuhi pahatan takdirku. Pernah aku terbang ke langit untuk meraih kitab kehidupanku yang mungkin terselip di balik gumpalan awan sehingga tak sampai ke bumi. Atau mungkin tercecer saat dibawa para malaikat menjadi bintang-bintang. Dan ketika aku terbangun dari mimpi ini aku terus menggali, berharap kitab kehidupanku telah terjatuh seribu tahun yang lalu dan sekarang terkubur di bumi. Tetapi, meski sudah tujuh lapis bumi kugali, hanya tanah, batu dan mutiara yang kutemukan.

Tuhanku, ketetapan-Mu untuk merahasiakan kitab kehidupan setiap jiwa yang bernafsu membuat hambamu yang lemah ini semakin takut. Dan akhirnya lupa bahwa di bumi ada cinta dan persahabatan. Ada memberi dan menerima. Ada sesuatu yang harus dipersembahkan kepada sesama.

Tuhanku, hambamu ini mendengar khabar bahwa manusia itu tempat salah dan lupa. Bahwa manusia itu hakikatnya adalah perwujudan kemunafikan. Tetapi mengapa Engkau menyiksa kami karenanya. Padahal benci, bohong dan kemunafikan adalah anugerah kebesaran-Mu.

Ya Allah, kesabaran yang Engkau ujikan, pengorbanan yang Engkau bebankan, aku telah tahu, bahwa untuk menggenggam baranya harus sampai hangus seluruh jiwa raga atau sampai nyawa dicabut. Tetapi Engkau telah mencabut nyawa semua penggenggam kesabaran dan pengorbanan. Lalu pada siapa aku akan meminta bagianku sebagai penggenggam berikutnya.

Aku malu, ternyata kesabaran dan pengorbanan yang kubanggakan pada akhirnya menyudutkan aku sebagai seorang pecundang. Bentuk dan wajah kepengecutanku semakin nyata memudarkan garis-garis rajutan jiwa seorang ksatria.

Tuhanku, wanita-wanita itu begitu membenci setiap pecundang, termasuk diriku. Mereka meneriaki dan melempariku dengan batu setiap kulewati jalanan kota, tempat mereka berkerumun. Kota kelahiranku telah sepakat untuk mengusirku menuju sepinya hutan, pegunungan yang lebih membosankan dari kuburan-kuburan itu. Dan akhirnya aku pun terkubur di dalamnya.

Kegemaran berpetualang adalah pilihan terbaik dalam hidupku

Apakah hidup?
Hidup adalah pilihan. Demikianlah doktrin yang ku terima dari salah satu guru kehidupanku, Mr Koen Irianto. Menjadi landasan kuat dalam mengarungi kehidupanku selanjutnya dan justifikasi dari masa laluku yang buram.

Aku terlahir dari keluarga sederhana yang sehari-hari menghabiskan waktunya di sawah dan ladang. Aku besar di desa yang jauh dari kota dengan segitiga alam yang sempurna yaitu perpaduan pertanian, kelautan dan perbukitan. Praktis, alam menjadi katalisator sempurna dalam perkembangan jasmaniah dan rohaniahku. Mielin-mielin yang terjalin kuat hingga sampai saat ini.

Kinerja Tuhan
Ramuan-ramuan Sang Pencipta begitu kompleks dan rumit. Meski demikian banyak tergambar keteraturan-keteraturan parsial yang ditunjukkan dari masing-masing pengalaman pribadi seseorang begitu unik namun bisa untuk digeneralisasi. Perulangan-perulangan peristiwa dan kejadian yang nyaris sama dan mirip siklus yang terus berputar membuatku bisa belajar untuk tidak menyesali luka yang digoreskan dan tergoreskan.

Pengalaman-pengamalan dari orang-orang terdahulu begitu penting bagiku. Pengalaman-pengalaman itu seakan-akan menjadi kunci keberhasilan dalam menghadapi takdir (skenario) Tuhan yang masih saja berselimut kabut misteri. Meski ratusan peramal terlahir. Walaupun mujarobat dan primbon terus direvisi. Kiranya sulit memastikan apa yang akan terjadi esok hari. Semua yang terbaca oleh pengintip kehendak Tuhan masih berupa sanepo-sanepo yang hampir tidak terpecahkan tujuan dan maksudnya.

Pilihan hidupku
Pilihan hidupku tidak jatuh pada parameter klasik yaitu kualitas dan kuantitas sandang, pangan dan papan. Akan tetapi pilihan hidupku tertuju pada gaya hidup (life style) melalui salah satu hobi atau kegemaran. Jamak diketahui gaya hidup memang dipengaruhi kualitas dan kuantitas sandang, pangan dan papan. Namun itu bukan faktor absolut (dominan) dan hanya tergantung dari persepsi keberhasilan hidup masing-masing individu.

Sudut pandangku mengatakan bahwa semua manusia diberi kesempatan yang sama yaitu dalam sehari rata-rata memiliki waktu 24 jam. Itu artinya tidak ada manusia yang menganggur dan tidak ada manusia yang selalu beraktivitas. Seluruh kejumudan akan menggeliat di suatu ketika pada saat semua kekuatan terkumpul. Semua kegiatan akan ditepis oleh lelah dan jenuh. Dan pada akhirnya kematian akan menepis cita-cita yang tidak akan pernah sampai.

Aku berkesimpulan bahwa agaknya gen kesederhanaan dari orang tua benar-benar akan terwariskan. Semua fungsi kemungkinan masih menunjukkan betapa sulitnya aku untuk bergelimang dalam kualitas dan kuantitas sandang, pangan dan papan. Namun ada satu yang sudah pasti akan berubah yaitu orientasi dalam menikmati hidup dan kehidupan. Merantau agaknya benar-benar menjadi katalisator dalam mentransformasi hidupku yang dulunya minim informasi menjadi seseorang dengan n (sejumlah-melimpah) informasi dan dengan mudah mendapatkan sekian informasi karena aku beruntung berada dalam ruang penuh aksesibilitas informasi.

Informasi ternyata sangat berpengaruh pada kepercayaan diri. Kepercayaan diri mempengaruhi dimensi ruang dan waktu serta Tuhan pun menjadi lebih lunak dalam menjatuhkanku dalam berbagai situasi dan kondisi. Meski tubuh terbanting namun jiwa seperti melayang tinggi karena hikmah jauh lebih nikmat dari sayatan-sayatan duri dan perihnya keringat yang membasahi lukanya.

Informasi yang paling menarik perhatianku adalah seputar kegiatan berkelana, mengembara, menjelajah, dan berpetualang dalam berbagai skala dan skenarionya.

Kepapaan memang sangat berpengaruh pada skala dan skenario petualangan. Namun seni berpetualang terletak pada dimensi ruang dan waktu yang terbatas. Hambatan dan rintanganlah yang melahirkan melodi. Keberuntungan dan hal-hal yang tidak diduga adalah irama selarasnya.

Beberapa tahun ini sebagian sumber daya yang kumiliki tersedot untuk petualangan. Pertengahan tahun 2009 saja aku telah mendaki 17 gunung. Awal tahun mendaki Gunung Ungaran dan Gunung Lawu. Bulan April mendaki 4 puncak yaitu Gunung Welirang, Gunung Kembar 1, Gunung Kembar 2, dan Gunung Arjuno. Bulan Mei ke Puncak Penanggungan, Puncak Raung, Puncak Ijen dan Puncak Merapi. Bulan Juli mendaki Gunung Gede, Gunung Pangrango, Gunung Salak 2, Gunung Ciremai, dan Gunung Wilis. Dan Bulan Agustus mendaki Gunung Arjuno dan Gunung Semeru. Itu pun belum termasuk petualangan yang lain seperti Arum Jeram dan kegiatan Camping.

Aku benar-benar beruntung, tahun 2009 kualitas dan kuantitas petualanganku tidak menurun. Padahal sebelumnya di tahun 2008 aku sudah pesimis apakah bisa sehebat petualangan tahun 2008 yang mampu mencapai puncak gunung hingga 18 puncak.

Aku menemukan jati diri dengan jalan berpetualang. Mungkin kalimat itu cukup representatif ketika muncul pertanyaan kenapa harus berbagi waktu dengan alam.

Aku keluar untuk menemukan apa yang bersemayam dalam diri. Aku bergegas pergi agar unsur-unsur pembentuk diri segera masuk ke dalam ragaku.

Petualangan menemukanku pada kawan-kawan petualangan yang sebagian menjadi guru, sebagian lagi menjadi teman diskusi dan sebagian lainnya mengambil apa yang sudah aku peroleh. Sungguh situasi yang sangat menyenangkan. Aku benar-benar tidak salah memilih kegemaran ini.

Kini yang mengganjal dalam hatiku adalah belum sempurnanya kegemaranku karena belum adanya karya sebagi bukti kecintaanku pada petualangan.

Beberapa bulan ini aku telah bekerja semampuku untuk mengkomunikasikan kegundahaanku terkait belum sempurnanya kegemaranku kepada kawan-kawan yang ku pikir akan sevisi dan semisi. Semoga dalam waktu dekat ini akan ada hasil yang signifikan meskipun tiada penyesalan ketika Tuhan berkehendak lain.

Saiful Darwi masih LaPenDos-Lelaki Penuh Dosa!