Zona nyaman adalah dambaan seluruh umat manusia. Karir yang jelas. Tempat kerja yang nyaman. Atasan yang baik hati. Gaji yang memadai. Setiap aspek resiko kehidupan ada jaminan asuransinya. Rekan kerja yang suportif dan kolaboratif. Sandang, pangan dan papan yang terjamin. Habis itu mati dan masuk surga.
Pernah mendengar istilah anti-kemapanan?
Pasti pemahaman yang ada adalah anti hidup mapan. Menjalani kehidupan yang jauh
dari kenyamanan. Padahal bukan itu artinya, anti-kemapanan tidak ada
kaitannya dengan kenyamanan dan kemapanan finansial. Apalagi kecukupan sandang,
pangan dan papan. Anti-kemapanan juga bukan karena kondisi seseorang
yang tidak mampu mencapai tingkat kesejahteraan tertentu dan mencari kebenaran
dengan cara membenci hal yang sudah mainstream
(pemikiran kritis berbasis negative
thinking).
Menurut tafsir para pendaki, anti-kemapanan
adalah suatu pandangan bahwa tidak ada sistem atau tradisi yang benar-benar
mapan di dunia ini. Semua selalu harus diperbaharui. Tradisi dan sistem yang
abadi adalah yang bisa melebur dalam siklus perubahan itu sendiri. Para filsuf gunung
dan belantara melihat anti-kemapanan
mirip dengan post-modernisme, yakni kritik terhadap modernisme yang dianggap
telah mapan. Post-modernisme menolak segala bentuk pembakuan aturan. Hal ini
disebabkan keyakinan bahwa pembakuan akan menghalangi inovasi dan perubahan
(revolusi).
Anti-kemapanan secara frontal dan ini
yang banyak dimaknai penganutnya, adalah sikap atau pemberontakan (rebel) atau juga rusuh (riot) terhadap hal-hal yang bersifat
materi atau kekayaan berlebih (glamouritas), tanpa perduli nasib orang-orang
minoritas atau orang miskin (vulnerable
group), sok pamer dan menginjak hak orang miskin karena mereka lebih kaya
dari orang-orang disekitarnya. Anti-kemapapan
juga penolakan terhadap penyalahgunaan kekuasaan dari para pemegang otoritas
(pemerintah, organisasi kemasyarakatan yang mapan). Hal inilah yang mendasari
munculnya slogan “Fuck the Authority”.
Anti kemapanan itu ada dan lahir untuk membuat hal-hal tersebut terlihat lebih alamiah,
sederhana (no rules) dan hidup apa
adanya saja meski tidak ada larangan punya apa saja.
Banyak pendaki pendaki yang pada
akhirnya menyimpulkan dan menganut definisi anti-kemapanan
sebagai sebuah ideologi akan kebebasan dan menolak dimapankan oleh sebuah
sistem, dikungkum oleh takhayul dan diikat oleh sebuah aturan tanpa siklus
perbaikan dan transparansi. Namun bukan berarti pendaki tak punya aturan,
disini pendaki bebas menentukan jalan hidupnya, bebas membuat aturan untuk diri
sendiri asal tak merampas hak individu lainnya dan kode etik yang ada.
Pendaki berhak mengatur hidupnya sendiri
tanpa harus diatur oleh orang lain dan aturan hidup pendaki tidak melanggar
atau merampas hak-hak hidup orang lain. Anti-kemapanan
menjadi siklus proses dimana pendaki menolak semua aturan, membebaskan diri
dari segala peraturan yang mengikat, dan bebas menentukan Jalan hidup.
Pendaki meluangkan waktu untuk
menjauh dari kota. Membuang jauh sikap ‘sok sibuk’, mengabaikan prinsip ‘waktu
luang begitu mahal’, dan menghapus paham ‘time
is money’ dengan berbagi waktu dengan alam. Disini pendaki ingin
menyelipkan semacam semangat kesetaraan di dalam kehidupan. Kehidupan yang
sering digunakan orang-orang kaya untuk memamerkan kemewahannya, juga harus
bisa menjadi ruang bagi rakyat jelata. Dan itu dicontohkan oleh pendaki ketika
menjauh dari kota.
Berikut ini beberapa contoh
bentuk anti-kemapanan yang diinisiasi
pendaki, rakyat dan tokoh yang bisa menjadi inspirasi dari bentuk perlawanan
terhadap penindasan, ketidakadilan, keabsurdan dan pemaksaan/pembakuan terhadap
kebenaran, sistem dan tradisi.
1. Pendaki
begitu sinis terhadap mereka yang tampil parlente di kota. Mereka yang berpenampilan
klimis untuk menutupi kebusukan hati. Penampilan untuk mengaburkan tindakan korupsi
dan manipulasi hasil pembangunan serta ketidakpedulian terhadap nasib rakyat
jelata. Dan pendaki pergi ke gunung dengan celana robek dan bolong serta
dipenuhi banyak emblem dari nama gunung dan organisasi serta tampil awur-awuran.
Di gunung para pendaki begitu akrab dengan masyarakatnya. Mengabarkan kebijakan
dan kemajuan bangsa. Menyemangati rakyat di kaki-kaki gunung meski kehidupan
mereka seharusnya bisa lebih sejahtera bila tidak ada garong-garong “koruptor” yang
menghisap dana pembangunan untuk wilayah pelosok. Para pendaki menyibukkan
waktu untuk menimba kearifan lokal untuk dibawa dan diterapkan di kota. Mentok penampilan
rapi pendaki dengan baju flannel dan seragam lapangan (PDL).
2. Pada
masa kolonialisme, rakyat yang terjajah memakai celana cingkrang hampir
menyentuh lutut sebagai bentuk perlawanan terhadap penjajah yang memakai celana
sampai mata kaki. Mereka yang pria banyak yang bertelanjang dada atau memakai
baju yang tidak dikancingkan untuk menunjukkan bahwa mereka masih punya jiwa, berbeda
dengan para penjajah dan para antek-anteknya yang rapi dengan baju-baju
berlapis yang menutup dada dan tak memberi ruang rongga hatinya untuk dimasuki
rasa kemanusiaan.
3. Di
India dan Afrika, Mahatma Gandhi menyerukan dan mengajarkan ahimsa (perlawanan
tanpa kekerasan) untuk mengusir penjajah dan mewujudkan kemandirian bangsa yang
sedang terjajah. Selain itu Gandhi juga mencontohkan satyagraha untuk mereka
yang ingin teguh dalam mencari kebenaran tanpa terjebak dalam kebenaran nisbi dan
tak berkompromi dengan pemilik kebenaran absolut (penjajah) sebagai sarana
ahimsa. Memerintah diri sendiri, mengatur keluarga sendiri dan memenuhi
keperluan sendiri untuk mewujudkan kemandirian melalui swadesi dan tentunya
suatu ketika pengklaim kebenaran, sistem dan tradisi baku harus diberi
pelajaran dengan hartal atau mogok nasional untuk menyadarkan mereka bahwa
kebenaran, sistem dan tradisi harus disepakati bersama akan pemaknaan dan
pengimplementasiannya dalam kehidupan bermasyarakat.
Jadi tetaplah kritis wahai para
pendaki!!! Jangan pernah berhenti untuk tidak merasa mapan. Karena anti
kemapanan itu adalah penyelamat kita dari sergapan ketertinggalan dan
keabsurdan.
Akankah ada suatu masa malah pendaki
yang akan melestarikan paham kemapanan?