Kode
Etik Pertama, JANGAN MENINGGALKAN APAPUN KECUALI JEJAK (Leave nothing but foot print)
Kode Etik Kedua, JANGAN MENGAMBIL APAPUN KECUALI GAMBAR (Take nothing but pictures)
Kode Etik Ketiga, JANGAN MEMBUNUH APAPUN KECUALI WAKTU (Kill nothing but time)
Kode Etik Kedua, JANGAN MENGAMBIL APAPUN KECUALI GAMBAR (Take nothing but pictures)
Kode Etik Ketiga, JANGAN MEMBUNUH APAPUN KECUALI WAKTU (Kill nothing but time)
Bagi
saya, Pendaki Gunung yang getol memahami dan menerapkan secara buta ketiga kode
etik diatas, secara gamblang saya kelompokkan menjadi 3 tipe:
Pertama: Pendaki Lugu
Pendaki
Gunung dalam kelompok ini biasanya meyakini dan memahami pendakian dengan modal
patuh tanpa ilmu apalagi wawasan kritis. Sehingga tidak melihat ada masalah
pada ketiga kode etik diatas. Secara psikologis, sudah terpasang menara bawel
dalam dirinya: "Ini kan kode etik. Kesepakatan global. Jadi harus diikuti
100%. Dan saya wajib meyakininya tanpa keraguan sedikit pun". Tapi sikap
dan ekspresi kepatuhan kelompok ini biasanya hanya introvert-defensif. Tidak
menunjukkan aksi yang reaktif di medan sosial. Hanya diam secara fisik. Tapi
begitu yakin dalam hati. Dan biasanya pendaki dalam tipologi ini taat
menjalankan anjuran dan nasehat keliru dari seniornya. Anjuran dan ajakan untuk
menghabiskan sisa hidupnya, sisa hartanya, sisa tenaganya dan sisa-sisa yang
lain untuk membuat jejak, mengambil gambar dan menghabiskan waktu di Gunung.
Menjadi tua dan kesepian karena habis di Gunung dan Belantara. Dan setelah itu
merasa menjadi Pendaki Gunung paling suci mengalahkan para nabi, filsuf dan
Begawan!
Kedua: Pendaki Teroris
Kelompok
ini merupakan tipologi Pendaki gembar-gembor. Pendaki sorak-sorai. Pendaki yel-yel demonstran. Atau
kasarnya, dalam istilah saya: Pendaki preman jalanan. Hubungan mereka dengan
gunung dan belantara lebih bersifat afiliasi ideologi. Semangat GENG. Semangat
komunitas. Semangat kelompok. Bukan semangat terhadap "nilai-nilai yang
bersifat abstrak Universal."
Untuk melacak Pendaki Gunung kelompok ini sangat gampang. Biasanya mereka gemar menyatakan kalimat seperti ini:
Untuk melacak Pendaki Gunung kelompok ini sangat gampang. Biasanya mereka gemar menyatakan kalimat seperti ini:
"Ini
kode etik kami, kalian tidak punya kode etik ya?".
"Jangan
sekali-kali menghina kode etik kami".
"Pribadi
saya boleh anda hina, tapi jangan coba-coba kode etik saya".
"Selagi
Anda mengkritik kode etik kami, kami tidak akan tinggal diam".
Dan
sejenisnya.
Singkatnya, mereka gemar menggunakan kata-kata oposisi binner sambil mengacungkan tinju (baik tinju mental maupun tinju yang sebenarnya): "Ini kami. Itu kalian. Jangan coba cari-cari perkara dengan kami!"
Dalam kesehariannya, baik secara penghayatan batin, maupun konsistensi praktek ritualitas pendakian, rata-rata mereka biasanya juga tidak taat alias sering kencing sembarang, buang sampah seenaknya, dan mengambil edelweiss sebanyak-banyaknya. Tapi giliran ada pihak yang mengkritik kode etik, maka jangan harap mereka akan bisa tenang. Termasuk jika ada yang mengkritik ketiga kode etik diatas. Mereka akan langsung geram. Mereka siap bertarung apa saja. Baik secara online maupun offline. Mulai dari perang mulut, sampai adu tinju sangat gampang meledak. Dalam tinjauan saya, tipologi kelompok inilah yang berbakat untuk dipompa menjadi Pendaki teroris.
Ketiga: Pendaki Munafik
Yang
masuk kategori ini biasanya getol membela jika ada pihak yang mengkritik ketiga
kode etik tersebut. Meskipun ditunjukkan bahwa sikap intoleransi Pendaki
Gunung, aksi anarkisme-teror Pendaki Gunung di gelanggang sosial memang dipicu
(salah satunya) oleh ketiga kode etik diatas, tapi mereka tetap menolak bahwa
ketiga kode etik diatas tidak bersalah. Yang salah adalah orang lain yang
keliru menafsirkannya. Mereka sibuk untuk menafsirkan ketiga kode etik diatas,
meskipun sebenarnya kode etik itu tidak butuh penafsiran karena sudah tidak up to date. Karena teksnya jelas-jelas
mukham, denotatif. Bukan mutasyabihat-konotatif.
Tapi
mereka sibuk membela ketiga kode etik tersebut bahwa semua itu ada asbabun
nuzulnya. Ada latar kenapa ketiga kode etik itu disepakati secara global. Dan
dalil yang paling populer bagi mereka adalah, bahwa saat itu dan saat ini
posisi alam sedang terancam. Singkatnya, mereka bersikukuh membangun apologi.
Membangun pembelaan. Meskipun pembelaan itu hanya kreatifitas mereka dalam
berargumentasi, atau lebih tepatnya rasionaliasasi.
Tapi karena nafsu untuk membela, maka mereka tetap memulung dalil apa saja agar ketiga kode etik diatas bisa diakui oleh pihak lain, bahwa itu memang warisan leluhur para petualang yang layak diyakini kebenarannya. Bukan sebuah proyeksi primitif masyarakat pendaki dengan "stempel Global."
Secara garis besar, bagi saya itulah 3 kelompok Pendaki Gunung bila menyangkut ketiga kode etik diatas. Dan perlu digarisbawahi, ini adalah pendapat saya pribadi. Bukan fatwa apalagi sabda Nabi. Anda wajib untuk tidak percaya. Karena itu Anda boleh berbeda pendapat dengan saya. Mengapa begitu? Karena dalam pengamatan saya banyak yang mengagung-agungkan dan mendengung-dengungkan ketiga kode etik tersebut tetapi tetap saja sepanjang perjalanan tangannya mematahkan dahan dan daun, memakan buah arbei setiap ketemu, memaki-maki tumbuhan Jelantang bila tersengat, membunuh semut dan satwa kecil lainnya meski tanpa sadar, melongsorkan jalur, merusak shelter, dan membawa pulang batu, benda-benda, bunga Edelweiss, Cantigi dan lain-lain. Dan mereka lantang mengatakan kami hanya meninggalkan jejak, mengambil gambar dan membunuh waktu. Tai kucinglah!
So, apa yang Anda pikirkan?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar