Mendaki bukan hanya untuk
menaklukkan (pembuktian) tetapi kadangpula karena untuk
menjalin silaturahim dengan kawan-kawan yang lain. Lama
tidak bersama dalam pendakian dengan kawan-kawan yang sudah seperti saudara menjadikan
alasan kenapa aku tidak perlu bertanya kemana dan akan berapa lama mendaki.
Apakah sudah sering mendaki gunung tersebut atau berpikir dengan
pertanyaan-pertanyaan yang tidak menjadi penting kalau sudah atas nama
perkawanan.
Mendaki Gunung Penanggungan di awal Bulan Mei 2009 sebenarnya sangat melelahkan
mengingat seminggu yang lalu aku baru selesai mendaki 4 puncak (Welirang,
Kembar 1, Kembar 2 dan Arjuno). Namun pendakian kali ini untuk me-restore kembali kemurnian nuraniku
karena pendakian ini bersama dengan Om Jawul-kawan sekaligus guru-dan pendaki yang baru akan memulai pendakian
pertamanya dimana sangat butuh berinteraksi dengan orang-orang yang telah banyak makan
asam garam gunung dan belantara.
Jadilah Sabtu malam, 2 Mei 2009 kami berduabelas orang melintasi rute Tamiajeng
menuju Puncak Penanggungan. Kemudian ketambahan 3 orang yang mengaku berasal
dari Sidoarjo.
Suasana cerah secerah hati kami. Kerinduan untuk berbincang di sebuah
perjalanan mendaki gunung tengah dilangsungkan. Om Jawul
bercerita
pendakian ke Penanggungan 3 minggu yang lalu. Hendy bercerita pendakian ke Arjuno 2 minggu yang lalu. Dan aku bercerita seminggu yang lalu mendaki 4
Puncak: Welirang, Kembar 1, Kembar 2 dan Arjuno. Serta yang lain juga turut
menyumbang cerita lainnya. Pendakian Penanggungan ini seakan tiada kehabisan kisah untuk diceritakan dan tentunya bagi kawan-kawan yang baru pertama mendaki situasi ini tentunya sangat mengasyikkan karena
dongeng gunung yang masih hangat disajikan secara cuma-cuma untuk mereka
nikmati.
Dua jam lebih kemudian sampailah kita di Gubuk. Lho kok lebih 2 jam? Ya perjalanan ini agak
lambat karena salah satu dari 3 kawan dari Sidoarjo yang baru bergabung adalah cewek. Tetapi itu bukan
masalah bagi kami.
Seusai melepas lelah di Gubuk, perjalanan dilanjutkan melewati medan menanjak
dan licin jadi rawan terpleset. Tidak lama kemudian sampailah
di Puncak Bayangan dimana terdapat puluhan pendaki lain yang telah tiba lebih
dulu. Kami juga menghabiskan waktu untuk beristirahat di Puncak Bayangan.
Perjalanan kembali
dilanjutkan bersama rombongan yang telah lebih dulu tiba di Puncak Bayangan. Melewati tanjakan tanah
berumput bencana itu terjadi. Di tengah duduk beristirahat Hendy kejatuhan batu
tepat di bagian belakang kepala yang tak ayal membuat Hendy kelimpungan menahan
rasa sakit. Ternyata kelompok lain yang
lebih dulu ke atas kurang baik dalam menjejakkan kaki di batu. Setelah Hendy
bisa melanjutkan perjalanan bencana berikutnya terjadi yakni Cherry kejatuhan batu yang
lebih besar tepat di pahanya. Sejak kejatuhan batu tersebut otomatis masa depan
Cherry suram sampai pulang ke rumah besok. Kenapa begitu, karena sejak
kejatuhan batu itu kaki Cherry mengalami trauma otot yang serius sehingga
mengakibatkan tidak bisa jalan normal dan ketika berjalan harus menahan rasa teramat
sakit.
Setelah 2 jam sejak Cherry kejatuhan batu akhirnya tiba di Puncak Penanggungan
sedangkan kawan yang lain telah tiba lebih dulu. Kami langsung mendirikan tenda
mengingat malam telah dapat separuh yang berarti hawa dingin akan semakin
menusuk. Melewatkan malam sebentar dengan makan malam dan berbincang sebentar
dengan kawan-kawan yang lain sebelum kantuk menyerang dan terlelaplah untuk
kemudian bangkit kembali sebelum matahari terbit tiba.
Minggu,
3 Mei 2009 kawan-kawan
menyambut terbitnya matahari dengan antusias. Beruntung cuaca lagi cerah.
Setelah mengabadikan momen dan sarapan kami pun bergegas packing untuk melakukan perjalanan
turun lewat Jalur Jolotundo.
Sebelum turun kami memutar dulu mengelilingi puncak. Perjalanan turun lewat
Jalur Jolontundo memang wajib waspada karena sangat curam dan licin sehingga
rawan terpleset jatuh. Untuk itu berkali-kali Om Jawul mengingatkan untuk selalu
waspada dan tidak terburu-buru apalagi lagi sampai turun dengan cara berlari.
sejam
lebih kemudian sampailah kami di Candi Sinta. Sebuah situs peninggalan masa lalu. Kami berlama-lama di Candi Putri. Dan kemudian berusaha mencapai Wisata Jolotundo secepat mungkin karena
siang sangat menyengat.
Dalam catatan ini patut kuberikan
apresiasi atas ketahanan Cherry selama perjalanan turun.
Meski terseok-seok menahan rasa sakit kaki akibat kejatuhan batu malam sebelumnya tetapi tidak mengurangi
semangat dan kemandirian dalam mendaki. Juga kawan-kawan yang lain yang kuyakini
akan menjadi pendaki masa depan dan nantinya akan menceritakan banyak kisah
pendakian hebat padaku ketika aku sudah tidak sanggup lagi melakukan pendakian
hebat.
Diceritakan oleh
Saiful Darwi "www.pendakirewel.blogspot.com"
Mereka yang ada dalam peristiwa ini: Om Djawoel, Hendy, Laksa, Cherry, Dio, Agung, Alfian, Aan Firash, Mashudi, Willy Kuswanto, Heru
Tidak ada komentar:
Posting Komentar