Dalam petualangan ini yang dimaksud makhluk Tuhan yang paling ekstrem adalah kami:
1. Gunung Raung jalur Kalibaru
2. Saiful 'Sunyi'
3. Nyong 'Regas's'
4. Joyo 'Regas's'
Sebuah perjalanan adalah rangkaian pembuktian. Bukti diri, bukti alam dan bukti takdir Tuhan. Bukti diri terlihat dari penyelesaian masalah yang ditemui. Bukti alam ditunjukkan dari keragaman kendala. Dan bukti takdir Tuhan tersurat dari apa yang sama sekali tidak terduga sebelumnya.
Perjalanan mendaki Raung pada awal Nopember 2008 sangat mencerminkan rangkaian pembuktian tersebut. Ketiga bukti yang dipahami Pendaki ini menginspirasi tulisan ini.
#Raung, Makhluk Tuhan Yang Paling Ekstrem
Tidak dapat dipungkiri bahwa Gunung Raung merupakan salah satu gunung dengan tingkat kesulitan yang cukup tinggi untuk didaki. Apalagi sejak dibukanya jalur pendakian dari Kalibaru Banyuwangi semakin menasbihkan eksistensi Gunung Raung sebagai salah satu makhluk (baca: gunung) Tuhan yang paling ekstrem. Oleh karena itu masih terhitung sedikit pendaki Gunung Raung yang mencoba keragaman petualangan yang ditawarkan Gunung Raung dari jalur ini. Ambil contoh turun ke lautan pasir atau segoro wedi dan naik ke bibir sumur atau dapur magma kawah. Jangankan turun ke dapur magma kawah, untuk mencapai Puncak Sejati saja sudah benar-benar menguras tenaga, mental dan waktu serta logistik sehingga kebanggaan pendaki hanya pada menggapai Puncak Sejati (3344 m dpl). Dan ini wajar!
#Akulah Yang Paling Edan
Manusia adalah makhluk yang sulit untuk diukur. Apalagi mengukur mental seseorang maka akan ditemukan data dengan tingkat keragaman yang sangat mencolok. Namun untuk pencilan atas (up skewness) orang dengan tingkat keberanian tinggi sangat sedikit sekali ditemukan. Begitupun mental para pendaki, hanya beberapa pendaki saja yang berupaya terus mencari keragaman petualangan dalam melakukan kegiatan gunung-hutan. Meski tidak ada data pasti berapa pendaki yang pernah melakukan pendakian solo, memanjat dan menuruni tebing tanpa peralatan panjat dan sebagainya, namun yang jelas perbincangan dari mulut ke mulut mengenai aktivitas tersebut masih sedikit.
Pendakian ke Raung di awal bulan Nopember 2008 ini sebagai penebus kekecewaan penulis (Saiful 'Sunyi') karena berbarengan dengan kegiatan nguli sehingga tidak bisa mengikuti TWKM-Temu Wicara Kenal Medan PATAGA yang diselenggarakan tanggal 18 - 23 September 2008. Penulis tidak bisa melihat langsung situasi yang terjadi sebagai bahan pembelajaran dimana penulis sangat ingin mendapatkan referensi (baca: ilmu) dari para pendaki lain yang kabarnya adalah orang lama di kancah persilatan pendakian gunung-hutan. Celaka tiga belas, penulis hanya bisa melihat rekaman dan foto-foto dokumentasi serta cerita dari kegiatan itu, ihiks!
Skenario yang direncanakan dalam pendakian di awal bulan Nopember ini adalah mencapai Puncak Sejati pada hari kedua dan mendirikan tenda disana sebagai bukti terdapat peningkatan dibandingkan pendakian pertama penulis pada pertengahan bulan Mei 2008. Pendirian tenda di Puncak Sejati belum pernah dilakukan pendaki lain sehingga kesan yang diperoleh akan sangat mendalam dan merupakan memori indah ketika penulis pensiun dari aktivitas gunung-hutan pada saatnya nanti.
Sehari sebelumnya setelah menempuh perjalanan via KA Sritanjung bersama Joyo untuk menemui Nyong agar ikut bergabung, tanggal 1 Nopember 2008, di pagi hari pukul 07.30 WIB yang sendu kami bertiga telah melaju dengan kecepatan sedang dari Pos 1 menuju Pos 2. Di tengah perjalanan sempat bermain dengan puluhan Pacet 'Kopasus' yang mencoba memperlancar peredaran darah kami, tepat pukul 09.15 WIB kami sampai di Pos 2. Setelah mengkondisikan suasana, pukul 09.45 WIB kami meluncur ke Pos 3. Malang tak dapat ditolak, untung tak bisa diminta setelah melewati separuh perjalanan menuju Pos 3 hujan turun dengan deras, saat menjelang sampai di jalur pohon tumbang. Ijtihad kami mengatakan untuk menunggu hujan, siapa tahu segera reda. Namun yang terjadi hujan tidak juga berhenti. Diam basah, jalan pun juga basah (kami malas membuka tenda atau covernya dan memakai jas hujan hehehee). Dua pilihan yang sama-sama basah maka kami pun memutuskan berjalan dalam kondisi hujan ini. Tepat di sebuah Pos Bayangan sebelum mencapai Pos 3 ketahanan tubuh mulai kendor. Tubuh kami mulai menggigil kedinginan, bobot tas kami terus bertambah seiring air yang masuk ke dalamnya. Sempat terlintas untuk buat tenda di Pos ini namun penulis memutuskan untuk terus berjalan menuju Pos 3 karena gelap masih sangat lama. Tepat pukul 02.30 kami sampai di Pos 3 dan segera membuka tenda karena masih saja turun air langit ditambah kabut tebal yang menyelimuti suasana. Lekas-lekas seluruh pakaian yang basah kami tanggalkan dan mengurung diri di dalam tenda dengan celana dalam basah dan dalam dekapan sleeping bag (SB) serta menikmati segelas kopi hitam manis. Ah nikmatnya!
Pagi hari di tanggal 2 Nopember 2008 kami agak nyantai menunggu jemuran agar bisa diterima di kulit badan karena tidak mungkin bisa lekas kering. Pukul 08.00 WIB kami start menuju Pos 4, rute favoritku! Pukul 11.30 WIB kami sampai di Pos 4, karena gerimis kelihatannya berpotensi menjadi hujan maka cover tenda kami bentangkan sebagai tempat berteduh sementara kami istirahat sambil merebus air. Setelah mengkondisikan sampah di Pos 4 sisa dari TWKM, pukul 13.00 WIB kami meluncur melewati batas vegetasi menuju Kaldera Raung yang menyajikan tantangan bagi orang yang paling edan seperti aku, eh kami! Kami bertiga sudah sangat kesetanan!
Perjalanan ini begitu menyenangkan, meski dengan suasana mencekam-kabut tebal menutupi jarak pandang, dan rute maut-kami masih terus saja saling melempar canda-tawa dan bergantian mengambil gambar ekstrem. Semakin ekstrem semakin kami ceria! Apalagi ketika harus melewati salah satu titik terawan sebelum ke Puncak 17 dan menuruni turunan setelah puncak 17 hati ini semakin bersemangat. Jembatan Siratal Mustakim benar-benar tiada duanya!
Di sebuah aliran air hujan setelah menuruni lereng terjal kami menemukan air sehingga kami berupaya mengumpulkan air untuk pendaki-pendaki berikutnya yang kemungkinan besar kehabisan stok air. Cukup lama kami mengumpulkan air sekitar 10 botol Aqua ukuran 1500 mL dan aku sendiri menyempatkan diri membersihkan gigi dan membasahi muka untuk membuat kenangan bahwa ada orang yang gosok gigi dan cuci muka di Kaldera Raung, suatu cerita langka!
Akhirnya pukul 15.30 WIB kami mendirikan tenda di Puncak Tusuk Gigi-dimana dari sini cukup perjalanan 5 menit untuk sampai ke Puncak Sejati. Kami masih melihat situasi karena ini pertama kalinya Puncak Tusuk Gigi didirikan tenda jadi belum ada referensi mengenai tingkat kelayakan dan keamanan untuk dijadikan tempat bermalam, ih ngeri! Kami mengkhawatirkan kecepatan angin dan hujan lebat serta longsornya bebatuan! Dan memang benar, kabut tebal dan hujan mengguyur meski yang lama adalah gerimisnya dan itu cukup membuat kami khawatir.
3 Nopember 2009 menyajikan pagi yang penuh dengan kabut pekat. Seperempat jam di luar tenda sudah cukup untuk membuat jaket Nyong basah kuyup. Sinar matahari tak mampu menembus putih dan pekatnya kabut, meski begitu kami tetap memaksakan diri untuk melihat puncak sejati (pukul 06.00 WIB) dan tidak lama kemudian turun lagi masuk ke dalam tenda. Penulis yakin pada pagi ini awan lentikular adalah yang terlihat di Puncak Gunung Raung bila disaksikan dari pemukiman. Jenis awan yang mengindikasikan cuaca sedang tidak bersahabat. Untuk yang kedua kalinya kami ke Puncak Sejati lagi setelah kabut tidak setebal sejam yang lalu.
#Siapa Aku?
Kami menghabiskan waktu di Puncak Sejati dengan perbincangan mengenai skenario berikutnya yang kami inginkan. Pertama-tama ide yang muncul adalah membawa tenda ke Puncak Sejati karena ada tempat yang kalau diberikan sentuhan sedemikian rupa bisa cukup rata untuk tempat mendirikan satu tenda. Usai itu terus cabut pulang-turun gunung. Akhirnya kami balik dan ambil tenda di Puncak Tusuk Gigi dan memberikan sentuhan 'ketok magic' di sebuah tempat tepat di atas tebing Raung sebelah baratnya penanda Puncak Sejati yang dengan jelas kami bisa menyaksikan segoro wedi dan kepulan sumur kawah Raung dari situ. Tidak butuh waktu lama kerja bakti kami telah menghasilkan hamparan tempat yang luar biasa, berdirilah tenda sejarah ini! Keinginan berikutnya, ketika peresmian tempat camp telah selesai dengan nama JOSINYO-Joyo, Saiful dan Nyong, maka Joyo melakukan hal yang sungguh membuatku kagum dengan menuruni tebing tepat di bawah penanda Puncak Sejati untuk mendapatkan gambar tenda yang nangkring di sebuah tebing yang di tinggi dan curam.
Aku adalah aku dan ketika aku bukanlah aku maka ke-Aku-anku akan lenyap sehingga tidak ada namanya akar, dahan, ranting, dan daun beserta bunga dan biji (buah). Yang ada hanyalah pohon! Nyong menyibukkan diri dengan menyiapkan hamparan tempat pendirian tenda yang lain (untuk pendaki berikutnya yang datang dengan dua buah tenda) dan Joyo terus menganalisa kemungkinan adanya jalur menuju ke lautan pasir. Sedangkan aku terus tenggelam dalam nyamannya suasana Puncak Sejati yang begitu indah dan menakjubkan-langit terang, angin semilir, awan berarak dan sumur/dapur pabrik kawah yang terus mengepul-petunjuk adanya kontinyuitas kegiatan produksi magma!
Di sela-sela lamunanku, Joyo terus mengusik dengan permintaan untuk melihat jalur menuju lautan pasir. "Kalau ada ya syukur, tapi jika tidak ketemu ya kita balik lagi, piye?" pintanya yang terus kucuekin!
Setiap melihat ke bawah-lautan pasir, segara wedi-pikiranku mengatakan hanya hayalan saja untuk bisa sampai ke sana apalagi peralatan panjat tidak ada dan kondisi logistik sungguh memperihatinkan-tinggal satu setengah bungkus roti dan kopi susu untuk sekali sruput! Memang planning-nya hari ini kami pulang (skenario pendakian untuk logistik selama 3 hari). Andaikan jika beruntung bisa sampai ke lautan pasir, apakah yakin bisa pulang selamat. Terdapat banyak bahaya mengancam: hujan yang beresiko terjadi longsor besar-besaran, kepleset dan jatuh ke jurang bebatuan, tersedot pasir hidup, kena semburan gas beracun kawah dan kekahawatiran lain. Ah, ini ide gila!
Kulihat Nyong tenggelam dalam kegiatan menyiapkan tempat tenda yang lain. Kududuk dan memandang ke arah lautan pasir dan Kawah Raung. Tiba-tiba ku lihat wajah yang tersenyum ramah seakan ingin menyambut jika aku datang dan suara hatiku berkata, "Wahai Pria Paling Sunyi Di Muka Bumi, berangkatlah, kapan lagi engkau akan menemukan dirimu?".
Seketika aku bangkit, mengambil tas slempang eiger kecilku dan berseru kepada Nyong untuk meninggalkan kegiatannya untuk segera berangkat turun ke Kawah Raung dan kulihat Joyo tersenyum penuh arti keyakinan dan keberhasilan. Waktu itu menunjukkan pukul 10.00 WIB.
Masih lekat dalam ingatanku, aku berlari menyapu tebing dan melompati puncak demi puncak dan ketika antar puncak terputus maka kami menuruni tebing yang curam di satu sisi dan di sisi lain mendaki sampai ke puncak lagi untuk memastikan rute sudah benar. Begitu terus berulang-ulang sampai kami melihat aliran longsoran bebatuan yang kami yakini bisa menerima bobot tubuh kami ketika menuruninya dan tentunya mengantarkan kami ke Segoro Wedi!
Oh, akulah makhluk Tuhan yang paling edan, makhluk Tuhan yang paling ekstrem. Aku mengalahkan diriku sendiri. Aku menghancurkan pintu ketakutanku. Pecundang itu telah lenyap dari permukaan bumi dan kini ia sedang menikmati kejayaannya sebagai Pecinta Alam Sunyi Sejati yang tidak mempedulikan perih, linunya sendi, jaremnya kaki dan kramnya perut serta pusingnya kepala ketika menuruni jurang yang lebih dari 500 meter ini. Segoro Wedi, terima kasih telah menerima dan menyambut kedatangan kami.
#Hati dan Nurani: Kontemplasi
Dalam sebuah perbincangan mengenai berbagai hal, Cak Huda keukeuh dengan pendapatnya mengenai rumus hati dan nurani. Rupanya beliau tertarik dengan muara konsep sebelum meperoleh kebijaksanaan sejati maka kunci yang harus dipegang adalah hati dan nurani. Untuk mendapatkan hati dan nurani yang sempurna maka diperlukan agama, filsafat, watak, tabiat, prinsip, doktirn, dogma dan sebagainya. Akan tetapi kesemuanya itu tidak memberikan garansi akan dipetiknya buah berupa hati dan nurani yang sempurna (insan kamil).
Sebenarnya dikotomi hati dan nurani tidak diperlukan lagi kalau kesadaran telah menyatu dalam setiap pikiran, ucapan dan perbuatan. Namun dikotomi ini diperlukan semata-mata untuk memperjelas dan mempermudah pemahaman. Hati sangat berkaitan dengan kesadaran ke dalam. Artinya kesempurnaan kerajaan spiritual adalah tolok ukur kesadaran ke dalam. Sedangkan nurani berkaitan dengan kesadaran ke luar. Maksudnya terjaganya muamalah sehingga kedewasaan sosial tercapai. Teguh menampilkan keteladanan dalam berakhlak. Dengan kata lain kesuksesan kerajaan dunia dimana meski jasad memiliki dunia tetapi hati tidak terikat padanya dan jika tidak memiliki kerajaan dunia maka hati tidak lantas rindu dendam.
Oh, Ya Allah 'Azza wa jalla berikanlah kekuatan untuk mengamalkan pemahaman ini!
Pukul 12.30 WIB akhirnya kami telah berjalan riang di tengah lautan pasir/segoro wedi Raung. Setelah diri ini sujud syukur dan memasukkan nur sanjungan hati hanya kepada Allah subhanallahu ta'ala kami pun beranjak menuju bibir Sumur atau Pundan Kawah Raung dengan kepulan asapnya.
Maha Suci Allah dengan segala kehebatan-Nya. Di depan kami menganga sebuah sumur besar dengan jari-jari (r) lebih dari 200 m (estimasi). Dengan dasar sumur yang sulit untuk dilihat dengan mata biasa meluncur asap dan gas dengan kecepatan tinggi membuat gentar tubuh ini. Jepretan kamera tak mampu memberikan hasil gambar yang diinginkan dan akhirnya kami menancapkan bendera merah di bibir sumur kawah dan merekam tantangan untuk pendaki lain agar melihat kebesaran Tuhan ini. Real!
Oh, Ya Allah 'Azza wa jalla berikanlah kekuatan untuk mengamalkan pemahaman ini!
Pukul 12.30 WIB akhirnya kami telah berjalan riang di tengah lautan pasir/segoro wedi Raung. Setelah diri ini sujud syukur dan memasukkan nur sanjungan hati hanya kepada Allah subhanallahu ta'ala kami pun beranjak menuju bibir Sumur atau Pundan Kawah Raung dengan kepulan asapnya.
Maha Suci Allah dengan segala kehebatan-Nya. Di depan kami menganga sebuah sumur besar dengan jari-jari (r) lebih dari 200 m (estimasi). Dengan dasar sumur yang sulit untuk dilihat dengan mata biasa meluncur asap dan gas dengan kecepatan tinggi membuat gentar tubuh ini. Jepretan kamera tak mampu memberikan hasil gambar yang diinginkan dan akhirnya kami menancapkan bendera merah di bibir sumur kawah dan merekam tantangan untuk pendaki lain agar melihat kebesaran Tuhan ini. Real!
Bagaimana kisah kembali ke Puncak Sejati dan turun ke Pos 1?