Apakah hidup?
Hidup adalah pilihan. Demikianlah doktrin yang ku terima dari salah satu guru
kehidupanku, Mr Koen Irianto. Menjadi landasan kuat dalam mengarungi kehidupanku
selanjutnya dan justifikasi dari masa laluku yang buram.
Aku terlahir dari keluarga sederhana yang sehari-hari menghabiskan waktunya di
sawah dan ladang. Aku besar di desa yang jauh dari kota dengan segitiga alam
yang sempurna yaitu perpaduan pertanian, kelautan dan perbukitan. Praktis, alam
menjadi katalisator sempurna dalam perkembangan jasmaniah dan rohaniahku.
Mielin-mielin yang terjalin kuat hingga sampai saat ini.
Kinerja Tuhan
Ramuan-ramuan Sang Pencipta begitu kompleks dan rumit. Meski demikian banyak
tergambar keteraturan-keteraturan parsial yang ditunjukkan dari masing-masing
pengalaman pribadi seseorang begitu unik namun bisa untuk digeneralisasi.
Perulangan-perulangan peristiwa dan kejadian yang nyaris sama dan mirip siklus
yang terus berputar membuatku bisa belajar untuk tidak menyesali luka yang
digoreskan dan tergoreskan.
Pengalaman-pengamalan dari orang-orang terdahulu begitu penting bagiku.
Pengalaman-pengalaman itu seakan-akan menjadi kunci keberhasilan dalam
menghadapi takdir (skenario) Tuhan yang masih saja berselimut kabut misteri.
Meski ratusan peramal terlahir. Walaupun mujarobat dan primbon terus direvisi.
Kiranya sulit memastikan apa yang akan terjadi esok hari. Semua yang terbaca
oleh pengintip kehendak Tuhan masih berupa sanepo-sanepo yang hampir tidak
terpecahkan tujuan dan maksudnya.
Pilihan hidupku
Pilihan hidupku tidak jatuh pada parameter klasik yaitu kualitas dan kuantitas
sandang, pangan dan papan. Akan tetapi pilihan hidupku tertuju pada gaya hidup
(life style) melalui salah satu hobi atau kegemaran. Jamak diketahui gaya hidup
memang dipengaruhi kualitas dan kuantitas sandang, pangan dan papan. Namun itu
bukan faktor absolut (dominan) dan hanya tergantung dari persepsi keberhasilan
hidup masing-masing individu.
Sudut pandangku mengatakan bahwa semua manusia diberi kesempatan yang sama
yaitu dalam sehari rata-rata memiliki waktu 24 jam. Itu artinya tidak ada
manusia yang menganggur dan tidak ada manusia yang selalu beraktivitas. Seluruh
kejumudan akan menggeliat di suatu ketika pada saat semua kekuatan terkumpul.
Semua kegiatan akan ditepis oleh lelah dan jenuh. Dan pada akhirnya kematian
akan menepis cita-cita yang tidak akan pernah sampai.
Aku berkesimpulan bahwa agaknya gen kesederhanaan dari orang tua benar-benar
akan terwariskan. Semua fungsi kemungkinan masih menunjukkan betapa sulitnya
aku untuk bergelimang dalam kualitas dan kuantitas sandang, pangan dan papan.
Namun ada satu yang sudah pasti akan berubah yaitu orientasi dalam menikmati
hidup dan kehidupan. Merantau agaknya benar-benar menjadi katalisator dalam
mentransformasi hidupku yang dulunya minim informasi menjadi seseorang dengan n (sejumlah-melimpah)
informasi dan dengan mudah mendapatkan sekian informasi karena aku beruntung
berada dalam ruang penuh aksesibilitas informasi.
Informasi ternyata sangat berpengaruh pada kepercayaan diri. Kepercayaan diri
mempengaruhi dimensi ruang dan waktu serta Tuhan pun menjadi lebih lunak dalam
menjatuhkanku dalam berbagai situasi dan kondisi. Meski tubuh terbanting namun
jiwa seperti melayang tinggi karena hikmah jauh lebih nikmat dari
sayatan-sayatan duri dan perihnya keringat yang membasahi lukanya.
Informasi yang paling menarik perhatianku adalah seputar kegiatan berkelana,
mengembara, menjelajah, dan berpetualang dalam berbagai skala dan skenarionya.
Kepapaan memang sangat berpengaruh pada skala dan skenario petualangan. Namun
seni berpetualang terletak pada dimensi ruang dan waktu yang terbatas. Hambatan
dan rintanganlah yang melahirkan melodi. Keberuntungan dan hal-hal yang tidak
diduga adalah irama selarasnya.
Beberapa tahun ini sebagian sumber daya yang kumiliki tersedot untuk
petualangan. Pertengahan tahun 2009 saja aku telah mendaki 17 gunung. Awal
tahun mendaki Gunung Ungaran dan Gunung Lawu. Bulan April mendaki 4 puncak
yaitu Gunung Welirang, Gunung Kembar 1, Gunung Kembar 2, dan Gunung Arjuno.
Bulan Mei ke Puncak Penanggungan, Puncak Raung, Puncak Ijen dan Puncak Merapi.
Bulan Juli mendaki Gunung Gede, Gunung Pangrango, Gunung Salak 2, Gunung
Ciremai, dan Gunung Wilis. Dan Bulan Agustus mendaki Gunung Arjuno dan Gunung
Semeru. Itu pun belum termasuk petualangan yang lain seperti Arum Jeram dan
kegiatan Camping.
Aku benar-benar beruntung, tahun 2009 kualitas dan kuantitas petualanganku
tidak menurun. Padahal sebelumnya di tahun 2008 aku sudah pesimis apakah bisa
sehebat petualangan tahun 2008 yang mampu mencapai puncak gunung hingga 18
puncak.
Aku menemukan jati diri dengan jalan berpetualang. Mungkin kalimat itu cukup
representatif ketika muncul pertanyaan kenapa harus berbagi waktu dengan alam.
Aku keluar untuk menemukan apa yang bersemayam dalam diri. Aku bergegas pergi
agar unsur-unsur pembentuk diri segera masuk ke dalam ragaku.
Petualangan menemukanku pada kawan-kawan petualangan yang sebagian menjadi
guru, sebagian lagi menjadi teman diskusi dan sebagian lainnya mengambil apa
yang sudah aku peroleh. Sungguh situasi yang sangat menyenangkan. Aku
benar-benar tidak salah memilih kegemaran ini.
Kini yang mengganjal dalam hatiku adalah belum sempurnanya kegemaranku karena
belum adanya karya sebagi bukti kecintaanku pada petualangan.
Beberapa bulan ini aku telah bekerja semampuku untuk mengkomunikasikan
kegundahaanku terkait belum sempurnanya kegemaranku kepada kawan-kawan yang ku
pikir akan sevisi dan semisi. Semoga dalam waktu dekat ini akan ada hasil yang
signifikan meskipun tiada penyesalan ketika Tuhan berkehendak lain.
Saiful Darwi masih LaPenDos-Lelaki Penuh Dosa!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar