Apa sebenarnya yang mereka pikirkan
tentang menikmati alam, menikmati pendakian? Penulis merasa aneh jika dikatakan
bahwa model pendakian yang penulis lakukan tidak menikmati alam. Setahu penulis
dari pengalaman mendaki beberapa tahun ini: PENDAKIAN PENULISLAH YANG PALING
MENIKMATI ALAM!
Bayangkan, mereka yang berlama-lama
terpasung di dalam kegelapan belantara yang kemana mata melihat yang terlihat
hanyalah pohon, daun dan belukar. Kemudian cuma sebentar di puncak karena waktu
habis diperjalanan karena kebanyakan istirahat bahkan tidur. Sedikit sekali
mendapatkan kesan dari suasana alam.
Bandingkan dengan penulis berjalan dengan
tempo sedang namun jarang istirahat di dalam kegelapan belantara untuk mencapai
punggungan atau puncak bayangan yang indah atau segera tiba di puncak tertinggi
yang menawan dan berlama-lama menghabiskan waktu disana. Mengisi waktu dengan
memasak, foto, menulis puisi, mencatat curhatan hati, merenung dan sebagainya.
Bayangkan juga, mereka yang cuma tahu
bebatuan yang sama di sepanjang perjalanan dan tidak mencium harumnya belerang
puncak atau bekunya dingin puncak karena waktu habis diperjalanan yang
mengharuskan segera pulang ke rumah sebelum sampai ke puncak.
Bandingkan dengan penulis yang berjalan dengan
tempo sedang namun jarang istirahat untuk segera mencapai dan menghirup
pekatnya kabut puncak. Membelai bebatuan purba di titik ketinggian. Oh betapa
nikmatnya terpenjara dingin. Menikmati sirnanya cita-cita (ambisi). Untuk
beberapa waktu kehilangan keinginan (bahagia).
2 hari 1 malam waktu pendakian
Pendakianku
Hari pertama : di sebuah sunset merah
merona telah duduk di puncak bersama tenda dan segelas kopi
Malam Pertama : menikmati nyala lampu
kota di puncak atau bermain kartu. Atau berkelakar sambil menikmati cahaya
bulan dan kelap-kelip bintang (The sky on-off, on-off)
Hari Kedua : menunggu sunrise dari
sebuah punukan bukit atau dari pecahnya awan sambil berfotografi ria. Melawan
dingin pagi dengan pelukan sleeping bag. Ow betapa nikmatnya cara/hasil
pendakianku.
Pendakian lainnya dengan kondisi berbeda
Hari pertama : masih santai di jalur
pendakian kemudian malamnya camping di salah satu sudut jalur yang cukup luas.
Malam Pertama : tidur dengan pulas
karena kemalaman di jalan
Hari kedua : summit attact namun agak
kesiangan bangunnya karena menikmati alam alias bersantai ria dan sampai puncak
menjelas siang dan matahari sudah tidak enak untuk diajak berteman. Tak lama di
puncak, harus segera turun karena malam ini mama nunggu di rumah,
wkwkwkwkwkwkwkkk !!!!!!!!!
NB: Jangan tertipu oleh
kalimat, “Yang penting prosesnya, puncak hanyalah bonus.” Ngapain mendaki
gunung jika hanya menjadikan puncak bukan sebagai tujuan utama? Konteks kalimat
tersebut baru tepat ketika kita sudah berusaha optimal mulai dari persiapan
sampai upaya menggapai puncak hingga melampaui limit batas kemampuan kemudian
tiba-tiba bertemu teman atau pendaki lain yang butuh segera ditolong dan dibawa
turun ke basecamp. Perkataan, “Puncak tidak akan kemana”, baru tepat ketika
kita telah menunggu sampai waktu dan logistik tidak memungkinkan lagi karena
terjadi badai dan cuaca buruk lainnya yang unsafety bila dilakukan summit
attack!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar