Senin, 07 Oktober 2013

Jiwa dan Karma Lapendos

Kekasihku, karma darimu telah kujalani tanpa penyesalan ataupun dendam. Meskipun aku menyesal mengkhianatimu. Memang rangkaian kata maafmu telah engkau tulis di setiap pandangku. Tetapi aku tetap merasakan cengkeraman karma. Karma atas dosa-dosa ini sudutkan aku dalam lembah kenistaan. Meredupkan pancaran sinar aurora hatiku. Derakan aku dalam asing, walau ragaku di tengah keramaian para pecinta.

Kekasihku, sisi batinku pun remuk tak berbentuk, tak kuasa menahan hantaman karma ini. Dan aku yakin ia takkan berhenti sampai di situ. Mungkin sampai aku lenyap dan musnah.

Ya, tiga hari ini, tiga tahun ini, tiga abad ini, aku seekor kura-kura yang mengejar rusa.

“Tidak ada karma untukmu”, ucapmu.

Kholil Jibran berkata, “Engkau adalah arus sungai yang akan mencari laut di mana kekasihmu berada”.

Tetapi jika memang karma itu telah tercabut, mengapa ketika aku sampai di laut tiba-tiba aku kembali ke bukit. Berlari diantara bebatuan.

Aku juga seyakin Kholil Jibran bahwa aku adalah nyanyian terpenjara kebisuan. Merindukan hati kekasihku. Karena ketika angin surga menerpa dan berbicara padaku di hutan hijau, aku mendengar suara lagi, dan suara itu menangkapku, dan aku dibawanya kembali pada kegaguan.

Aku sepercaya Kholil Jibran bahwa aku adalah akar di bumi yang gelap, dan aku tumbuh menjadi setangkai bunga serta aroma wangiku menebar ke pojok-pojok musim semi untuk memeluk kekasihku, walau nantinya sebuah tangan merengkuhku. Aku kembali menjadi sebuah akar. Tumbuh di kegelapan bumi…………………….
!

Hei, jika aku adalah akar, aku dapat memindahkan prahara ke cabang-cabangnya. Dan jika aku adalah arus sungai, aku akan terus mengalir bahkan ketika sudah mencapai laut. Tentu saja, sangat bagus jika air itu dapat menguap ke angkasa dan karma ini pun usai sudah.

Kekasihku,
aku juga aroma dan sayap-sayap yang mengangkasa itu. Ciumlah, aromaku menyerbak ke penjuru langit dan sayap-sayapku melayang tepat di atas pundakmu.

Kekasihku, malaikat pemutus dunia telah datang. Ia menyebarkan aroma kematian sampai dadaku sesak tak mampu bernafas. Sayap-sayap
hitam-pekat-itu menyembul dari setiap selaksa larik tubuhnya.

O … Kekasihku, ia datang hendak merampas kekejaman yang berderai canda. Padahal engkau tahu aku telah lama memimpikan kekejaman itu.

O … Tidak, tidak Kekasihku. Jangan engkau lambaikan tangan tanda perpisahan. Kabahagiaan yang engkau damba berwujud kenistaan.

Bukan, bukan tempat itu Kekasihku. Di sana hanya ada bayangan tua. Ia pernah memberiku segelas anggur di meja.

Di puncak Mahameru, aromku lenyap di telan kabut. Sayap-sayapku patah digertak misteri gaib. Menyeramkan sekali. Meskipun aku telah makan dan minum di sana. Bahkan membangun kastil dengan menara-menara
pencakar langit. Namun bulu kudukku tetap tegak bukti ciutnya nyaliku.

“Lapendos!” Agaknya bayangan tua itu lelah membisu.

Dia memintaku untuk kembali. Namun aku tidak mau, dan sekarang orang-orang memanggilku si Gila.

“Gilalah, semakin engkau gila semakin cepat engkau mendekati puncak ketuhanan. Semakin engkau gila, semakin damai dan tenang jiwamu. Kegilaanmu akan menuntunmu pergi dari tempat kembali. Jauh ….. jauh … jauh dan semakin jauh.”

Sayangnya, aku tak mau sampai di puncak ketuhanan. Aku belum siap dalam damai dan belum mengenali tempatmu berpijak. Aku tak mau pergi jauh dari tempat kembali. Aku belum mau gila.

Dalam pelarian ini aku terus mencari. Sepanjang hidup kuhabiskan dalam pencarian. Mencari banyak hal, sehingga aku lupa dengan apa yang sudah kutemukan dan masih belum kudapatkan. Tak terlupakan banyaknya ilham yang menyertai dalam perjalananku memenuhi pahatan takdirku. Pernah aku terbang ke langit untuk meraih kitab kehidupanku yang mungkin terselip di balik gumpalan awan sehingga tak sampai ke bumi. Atau mungkin tercecer saat dibawa para malaikat menjadi bintang-bintang. Dan ketika aku terbangun dari mimpi ini aku terus menggali, berharap kitab kehidupanku telah terjatuh seribu tahun yang lalu dan sekarang terkubur di bumi. Tetapi, meski sudah tujuh lapis bumi kugali, hanya tanah, batu dan mutiara yang kutemukan.

Tuhanku, ketetapan-Mu untuk merahasiakan kitab kehidupan setiap jiwa yang bernafsu membuat hambamu yang lemah ini semakin takut. Dan akhirnya lupa bahwa di bumi ada cinta dan persahabatan. Ada memberi dan menerima. Ada sesuatu yang harus dipersembahkan kepada sesama.

Tuhanku, hambamu ini mendengar khabar bahwa manusia itu tempat salah dan lupa. Bahwa manusia itu hakikatnya adalah perwujudan kemunafikan. Tetapi mengapa Engkau menyiksa kami karenanya. Padahal benci, bohong dan kemunafikan adalah anugerah kebesaran-Mu.

Ya Allah, kesabaran yang Engkau ujikan, pengorbanan yang Engkau bebankan, aku telah tahu, bahwa untuk menggenggam baranya harus sampai hangus seluruh jiwa raga atau sampai nyawa dicabut. Tetapi Engkau telah mencabut nyawa semua penggenggam kesabaran dan pengorbanan. Lalu pada siapa aku akan meminta bagianku sebagai penggenggam berikutnya.

Aku malu, ternyata kesabaran dan pengorbanan yang kubanggakan pada akhirnya menyudutkan aku sebagai seorang pecundang. Bentuk dan wajah kepengecutanku semakin nyata memudarkan garis-garis rajutan jiwa seorang ksatria.

Tuhanku, wanita-wanita itu begitu membenci setiap pecundang, termasuk diriku. Mereka meneriaki dan melempariku dengan batu setiap kulewati jalanan kota, tempat mereka berkerumun. Kota kelahiranku telah sepakat untuk mengusirku menuju sepinya hutan, pegunungan yang lebih membosankan dari kuburan-kuburan itu. Dan akhirnya aku pun terkubur di dalamnya.

Tidak ada komentar: