Pernahkan meluangkan waktu sejenak untuk
menatap dan berpikir lama pada sebuah pemandangan, yakni pohon besar di pinggir
jalan protokol ibukota? Sebuah pohon yang rindang, berdaun hijau kehitaman
karena tempelan asap dan debu polusi. Batangnya terdapat tempelan tulisan dan
gambar iklan dan bekas tancapan pakunya masih terlihat di bagian batang lain,
namun tak mengurangi kekokohannya. Makhluk yang tangguh dan mengagumkan bagi
yang mau berpikir. Tahan terik panas matahari dan baik hati meneduhkan jasad
manusia dari panas.
Pendaki mengagumi sebatang pohon. Kenapa?
Karena setiap pohon hidup sendiri dan mengurusi dirinya sendiri. Mereka bahkan
bermanfaat atau memberikan manfaat untuk menunjang kenyamanan manusia. Dari
hasil tanaman dan seluruh bagian dari pohon bermanfaat bagi manusia. Pohon
kelapa misalnya. Dari mulai batang, daun, dan buahnya dimanfaatkan oleh
manusia. Ada sebagian Pendaki merasakan hal ini, dan sebagai ungkapan rasa
syukurnya ia memberikan pakaian, sarung pada pohon ini. Dan kadang lama ia
duduk, juga berdiri di bawah dan/atau berdiri di samping pohon. Bahkan saking
besarnya ungkapan rasa terima kasihnya, ia sampai merendahkan kepalanya (bersujud)
pada pohon tersebut.
Anehnya Pendaki lain yang tidak mengerti
tentang apa yang ia rasakan menuduh bahwa ia menyembah pohon. Ia tidak ‘bersujud’
kepada pohon karena meminta sesuatu. Ia merasakan manfaat besar dari pohon
tersebut, oleh karenanya ia ‘bersujud’ syukur terhadap pohon tersebut.
Dahulu, leluhur Pendaki yang dituduh sebagai
animisme melakukan hal serupa. Menciptakan semacam peraturan yang tidak
tertulis bahwa barang siapa akan menebang pohon mesti membuat sesajen. Terutama
pohon-pohon besar. Kenapa? Karena para leluhur Pendaki merasakan manfaat adanya
pohon-pohon rindang. Selain membuat udara tambah segar juga akar-akarnya mampu
menyimpan air. Tidak heran di setiap pohon besar yang rindang sering ditemukan
mata air. Banyak Pendaki lain yang memanfaatkan air dari mata air tersebut.
Akarnya juga memeiliki kekuatan menahan tebing agar tidak longsor. Menyadari
bahwa keberadaan pohon memberikan manfaat pada manusia dan juga membuat tanah
tidak longsor, para leluhur Pendaki mempersulit orang untuk menebang pohon. Ini
yang selama ini Pendaki lain anggap menyembah pohon. Betul jika dikatakan laku
fisiknya menyembah, tetapi yang diminta adalah agar pohon dapat hidup dengan
subur.
Kasih sayang Pendaki terhadap pohon
dibuktikan oleh beberapa peneliti. Ada suatu penelitian yang menarik dilakukan penelti
asal Jepang, Masaru Emoto. Memang tidak meneliti pohon secara langsung. Yang
dilakukan oleh Masaru Emoto adalah meneliti tentang dampak doa, ucapan baik, dan
ucapan buruk pada air. Perlu dicatat bahwa sebagian besar pohon terdiri dari
air. Hasil penelitian terbukti bahwa molekul-molekul air dari sumber air yang
diberikan doa ucapan terima kasih menghasilkan bentuk kristal yang indah.
Jadi air memiliki kekuatan merekam segala
sesuatu yang dipikirkan manusia. Pikiran manusia bervibrasi dalam bentuk
gelombang. Getaran ini tertangkap dan direkam oleh air. Pohon yang sebagian
besar terdiri dari air sehingga tidak mengherankan ia mampu menangkap pikiran
orang yang akan menyakitinya.
Suatu alat khusus ditemukan oleh seorang
ahli untuk mendeteksi efek dari pikiran terhadap pohon. Dan ternyata dari hasil
penelitian membuktikan bahwa sebatang pohon bisa merasakan niat orang. Suatu
pohon didekati oleh orang yang tidak punya maksud apa-apa terhadap pohon.
Sebutkan sebagai orang pertama. Orang kedua adalah yang sayang terhadap pohon
tersebut. Terakhir adalah orang yang akan menebang pohon. Dari alat yang
ditempelkan pada batang pohon tersebut, terlihat efek dari ketiga orang yang
berbeda tujuannya. Yang paling ditakutkan pohon adalah efek dari orang yang
akan menebang pohon tersebut. Selain itu, pikiran ini adalah energi. Semua
energi mengandung getaran yang bervibrasi. So, tolong jangan
menyepelekan pikiran. Badan Pendaki 70 % terdiri dari air. Pikiran buruk Pendaki
akan melukai diri sendiri sebelum merusak orang lain..
Deforestasi semena-mena terjadi ketika
kearifan lokal tidak lagi dipahami. Nenek moyang Pendaki sadar dan tahu pesan
semesta. Pohon adalah sumber kehidupan manusia. Tanpa pohon, dijamin manusia
sengsara. Mulai tanaman musiman semacam padi saja-kemudian-kelapa (tanaman
tahunan), dll. Ketika penghormatan terhadap pohon dianggap penyembahan terhadap
berhala maka banyak pohon ditebang semena-mena. Akhirnya berbagai bencana seperti
banjir, tanah longsor dan kekeringan, serta yang paling mengerikan-climate
change-tidak dapat dihindarkan.
Kearifan leluhur mengajarkan kehidupan yang selaras dengan alam. Saling
memberi. Pendaki (manusia) memelihara pohon, dan pohon memberikan manfaat pada pendaki.
Wahai Pendaki lain, masih ragu atau tidak percaya?
Cobalah berjalan di siang hari
mengelilingi lautan pasir Bromo. Atau silahkan bertowaf (berkeliling dari
puncak macan, glenmore dan sejati, juga puncak barat) di Kaldera Raung yang
melingkupi 3 kabupaten (Banyuwangi, Jember dan Bondowoso). Rasakan betapa tiada
pohon terasa panas membakar jasad. Setelah itu pasti semua akan sepakat untuk
‘menyembah’ pohon.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar