Jumat, 19 Desember 2014

Mengajak Bayi Mendaki Gunung dan Merambah Belantara


Penuh kekhawatiran. Wajar. Tetapi kenapa tidak dilakukan?

 

Sering kita dengar pertanyaan dari khalayak umum dan juga dari yang notabene adalah pendaki, apakah tidak berbahaya membawa bayi ke alam bebas seperti gunung dan belantara? Orang dewasa saja banyak yang celaka ketika berkegiatan di gunung dan belantara, apalagi ini bayi? Jawabannya ada dua, yaitu iya dan tidak (berbahaya). Dua-duanya benar. Tergantung dari manajemen perjalanan yang diterapkan. Logika dan fakta sederhananya adalah banyak bayi yang berada di dalam hutan atau di ketinggian pegunungan yang tumbuh dan berkembang seperti bayi-bayi suku Tengger di Pengunungan Tengger, bayi-bayi orang Tugutil di dalam belantara Taman Nasional Aketajawe-Lolobata, bayi-bayi orang Kubu di Taman Nasional Bukit Duabelas, bayi-bayi suku Saluan di pedalaman Sulawesi Tengah dan bayi-bayi lain di tempat serupa. Penanya tidak puas dan akan mengejar dengan kalimat tetapi mereka (bayi-bayi) itu memang dilahirkan disana, sementara anakmu dilahirkan di kota, pastinya tingkat ketahanannya berbeda? Betul, bayi di kota dan di alam bebas memiliki tingkat ketahanan yang berbeda namun bisa dikatakan tidak signifikan karena sama-sama bayi dimanapun pasti kondisinya rentan terhadap bahaya lingkungan dan cuaca. Kuncinya ada dalam manajemen perjalanan dan pengetahuan dimana orang tua sangat tahu terhadap kondisi si bayi sehingga membantu menyiapkan apa saja kebutuhan logistik yang diperlukan terutama bagi si bayi.

 

Pandangan sinis juga muncul dengan mengatakan orang tua yang mengajak bayi berkegiatan di gunung dan belantara adalah orang tua yang egois? Jawabannya pun benar di iya dan di tidak. Cobalah berkontemplasi sebentar, bahwa orang tua yang meninggalkan bayi dan istrinya di rumah untuk mendaki gunung dan belantara juga bisa dikatakan egois bila mementingkan ego berpetualangnya dengan mengabaikan fakta bahwa kehadirannya di rumah sangat dibutuhkan istri dan bayinya. Sebagaimana orang tua yang memaksa mengajak istri dan bayinya ke gunung dan belantara karena mengejar anggapan/predikat sebagai pendaki nomor wahid atau sebagai keluarga petualang tanpa memperhatikan dan mencegah aspek bahaya yang akan dihadapi istri dan bayi. Artinya tidak ada perbedaan dalam treatment pendakian ketika mendaki dengan sesama orang dewasa dan ketika mendaki dengan membawa istri dan bayi.

 

Lalu apa manfaatnya mengajak bayi mendaki gunung dan belantara dan bagaimana pula manajemen pendakian yang aman untuk di bayi?

 

Program ke gunung dan belantara bersama bayi lebih bersasaran pada aktifitas sampingan dari perjalanan. Sasaran trecking bukan sasaran jarak atau tempat, tetapi kegiatan apa yang bisa dilakukan sepanjang jalan. Bird watching, mengenalkan daun dan ranting, belajar mengenal bentuk alam (puncak, lembah, sungai, hutan), memperdengarkan suara-suara serangga, monyet dan satwa lainnya atau main dengan menggunakan apa adanya di hutan dan belantara.

 

Alam terbuka yang bernama gunung dan belantara dengan segala kejujurannya akan mengajari si bayi, seperti mengajari kita. Mengenalkan segarnya oksigen murni yang terhirup dan memenuhi rongga paru. Menajamkan sentuhan panca indera si bayi terhadap dimensi ruang dan waktu. Ketinggian dan gravitasi gunung akan memperkokoh jantung di bayi. Kita yang mencintai suara-suara burung dan serangga pohon, pun demikian si bayi juga menyukai telinganya terngiangi suara-suara alam. Kulit kita yang manja ketika dihembus lembut angin lembah, pun demikian untuk kulit si bayi. Mata kita yang semula minus di depan layar computer bisa kembali normal saat menikmati mentari pagi keemasan dan hijaunya hutan, pun demikian mata bayi juga butuh pemandangan indah ciptaanNYA. Dan untuk melatih kepekaan indera keenam juga tidak hanya dibutuhkan orang dewasa, bayi pun perlu. Dan terpenting, melatih dan memiliki mental baja adalah proses yang dimulai dari sejak bayi/dilahirkan. Mental tangguh kita tidak ujug-ujug muncul di usia 17-an atau malah baru tampil di usia 30-an.

 

Tidak ada hal yang prinsip antara pendakian yang seluruhnya orang dewasa dan pendakian yang ada bayi di antara pendaki. Perbedaannya hanya pada perubahan persiapan dan orientasi kita dalam berkegiatan ketika membawa bayi. Juga dalam mempersiapkan peralatan, perbekalan dan rencana kegiatan. Semua harus disesuaikan dengan keberadaan si anak. Meminjam salah satu prinsip caving, yakni anggota terlemah adalah patokan standar penelusuran. Maka dengan membawa bayi, kita bukanlah menjadi petualang yang bertanding terhadap rintangan gunung dan belantara.

 

Sekarang kita menjadi pemandu dengan segala tanggung jawabnya. Pemandu dengan irama jalan mengikuti yang terlemah. Dalam membawa bayi ke gunung dan belantara, bayi secara fisik yang terlemah. Perhatian mereka pun cepat berubah. Mereka yang akan mendikte irama jalan kita. Kapan berhenti, kapan nangis, kapan kencing, kapan minum ASI.


Jangan harap bisa duduk tenang menikmati indahnya alam, begitu tiba di perkemahan. Semua cape, tetapi tetap harus ada untuk mengantar anak memegang bunga dan daun yang dilihatnya, buat makan, nyeduh susu, dan seribu macam kerjaan lainnya.


Beberapa esensial yang perlu diperhatikan dalam membawa bayi ke alam :

  1. Pakaian. Berlapis yang bisa dikenakan dan dicopot sesuai suhu.
  2. Payung.
  3. Gendongan anak yang memiliki sabuk pengaman dan kaki untuk berdiri tegak.
  4. Makanan, dan alat masak. Bawa makanan dan minuman kesukaan bayi.
  5. Popok dan pakaian ganti.
  6. Fly sheet dan tali untuk secepatnya membuat shelter.
  7. Perlengkapan navigasi.
  8. Obat-obatan.

Selamat ber-trails bersama si bayi imut tapi tangguh.

1 komentar:

Unknown mengatakan...

Sarannya dong untuk gunung yg ramah buat ngajak bayi dalam pendakian?