Penuh kekhawatiran. Wajar. Tetapi
kenapa tidak dilakukan?
Sering kita dengar pertanyaan dari
khalayak umum dan juga dari yang notabene adalah pendaki, apakah tidak
berbahaya membawa bayi ke alam bebas seperti gunung dan belantara? Orang dewasa
saja banyak yang celaka ketika berkegiatan di gunung dan belantara, apalagi ini
bayi? Jawabannya ada dua, yaitu iya dan tidak (berbahaya). Dua-duanya benar.
Tergantung dari manajemen perjalanan yang diterapkan. Logika dan fakta
sederhananya adalah banyak bayi yang berada di dalam hutan atau di ketinggian
pegunungan yang tumbuh dan berkembang seperti bayi-bayi suku Tengger di
Pengunungan Tengger, bayi-bayi orang Tugutil di dalam belantara Taman Nasional Aketajawe-Lolobata,
bayi-bayi orang Kubu di Taman Nasional Bukit Duabelas, bayi-bayi suku Saluan di
pedalaman Sulawesi Tengah dan bayi-bayi lain di tempat serupa. Penanya tidak
puas dan akan mengejar dengan kalimat tetapi mereka (bayi-bayi) itu memang
dilahirkan disana, sementara anakmu dilahirkan di kota, pastinya tingkat
ketahanannya berbeda? Betul, bayi di kota dan di alam bebas memiliki tingkat
ketahanan yang berbeda namun bisa dikatakan tidak signifikan karena sama-sama
bayi dimanapun pasti kondisinya rentan terhadap bahaya lingkungan dan cuaca.
Kuncinya ada dalam manajemen perjalanan dan pengetahuan dimana orang tua sangat
tahu terhadap kondisi si bayi sehingga membantu menyiapkan apa saja kebutuhan
logistik yang diperlukan terutama bagi si bayi.
Pandangan sinis juga muncul dengan
mengatakan orang tua yang mengajak bayi berkegiatan di gunung dan belantara
adalah orang tua yang egois? Jawabannya pun benar di iya dan di tidak. Cobalah
berkontemplasi sebentar, bahwa orang tua yang meninggalkan bayi dan istrinya di
rumah untuk mendaki gunung dan belantara juga bisa dikatakan egois bila
mementingkan ego berpetualangnya dengan mengabaikan fakta bahwa kehadirannya di
rumah sangat dibutuhkan istri dan bayinya. Sebagaimana orang tua yang memaksa mengajak
istri dan bayinya ke gunung dan belantara karena mengejar anggapan/predikat
sebagai pendaki nomor wahid atau sebagai keluarga petualang tanpa memperhatikan
dan mencegah aspek bahaya yang akan dihadapi istri dan bayi. Artinya tidak ada
perbedaan dalam treatment pendakian
ketika mendaki dengan sesama orang dewasa dan ketika mendaki dengan membawa
istri dan bayi.
Lalu apa manfaatnya mengajak bayi
mendaki gunung dan belantara dan bagaimana pula manajemen pendakian yang aman
untuk di bayi?
Program ke gunung dan belantara
bersama bayi lebih bersasaran pada aktifitas sampingan dari perjalanan. Sasaran
trecking bukan sasaran jarak atau tempat, tetapi kegiatan apa yang bisa
dilakukan sepanjang jalan. Bird watching, mengenalkan daun dan ranting, belajar
mengenal bentuk alam (puncak, lembah, sungai, hutan), memperdengarkan
suara-suara serangga, monyet dan satwa lainnya atau main dengan menggunakan apa
adanya di hutan dan belantara.
Alam terbuka yang bernama gunung dan
belantara dengan segala kejujurannya akan mengajari si bayi, seperti mengajari
kita. Mengenalkan segarnya oksigen murni yang terhirup dan memenuhi rongga
paru. Menajamkan sentuhan panca indera si bayi terhadap dimensi ruang dan
waktu. Ketinggian dan gravitasi gunung akan memperkokoh jantung di bayi. Kita
yang mencintai suara-suara burung dan serangga pohon, pun demikian si bayi juga
menyukai telinganya terngiangi suara-suara alam. Kulit kita yang manja ketika
dihembus lembut angin lembah, pun demikian untuk kulit si bayi. Mata kita yang
semula minus di depan layar computer bisa kembali normal saat menikmati mentari
pagi keemasan dan hijaunya hutan, pun demikian mata bayi juga butuh pemandangan
indah ciptaanNYA. Dan untuk melatih kepekaan indera keenam juga tidak hanya
dibutuhkan orang dewasa, bayi pun perlu. Dan terpenting, melatih dan memiliki
mental baja adalah proses yang dimulai dari sejak bayi/dilahirkan. Mental
tangguh kita tidak ujug-ujug muncul
di usia 17-an atau malah baru tampil di usia 30-an.
Tidak ada hal yang prinsip antara
pendakian yang seluruhnya orang dewasa dan pendakian yang ada bayi di antara
pendaki. Perbedaannya hanya pada perubahan persiapan dan orientasi kita dalam
berkegiatan ketika membawa bayi. Juga dalam mempersiapkan peralatan, perbekalan
dan rencana kegiatan. Semua harus disesuaikan dengan keberadaan si anak. Meminjam
salah satu prinsip caving, yakni anggota terlemah adalah patokan standar
penelusuran. Maka dengan membawa bayi, kita bukanlah menjadi petualang yang
bertanding terhadap rintangan gunung dan belantara.
Sekarang kita menjadi pemandu dengan
segala tanggung jawabnya. Pemandu dengan irama jalan mengikuti yang terlemah.
Dalam membawa bayi ke gunung dan belantara, bayi secara fisik yang terlemah.
Perhatian mereka pun cepat berubah. Mereka yang akan mendikte irama jalan kita.
Kapan berhenti, kapan nangis, kapan kencing, kapan minum ASI.
Jangan harap bisa duduk tenang menikmati indahnya alam, begitu tiba di perkemahan. Semua cape, tetapi tetap harus ada untuk mengantar anak memegang bunga dan daun yang dilihatnya, buat makan, nyeduh susu, dan seribu macam kerjaan lainnya.
Beberapa esensial yang perlu diperhatikan dalam membawa bayi ke alam :
- Pakaian.
Berlapis yang bisa dikenakan dan dicopot sesuai suhu.
- Payung.
- Gendongan
anak yang memiliki sabuk pengaman dan kaki untuk berdiri tegak.
- Makanan,
dan alat masak. Bawa makanan dan minuman kesukaan bayi.
- Popok
dan pakaian ganti.
- Fly
sheet dan tali untuk secepatnya membuat shelter.
- Perlengkapan
navigasi.
- Obat-obatan.
Selamat ber-trails bersama si bayi
imut tapi tangguh.
1 komentar:
Sarannya dong untuk gunung yg ramah buat ngajak bayi dalam pendakian?
Posting Komentar